Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Setiap anak laki-laki dan bapaknya selalu punya momen melodramatiknya sendiri. Melodramatik bukan berarti  diisi dengan tangisan bercucur air mata atau ucapan kasih sayang berlebihan. Momen melodramatik saya dengan bapak saya terjadi sangat simpel dan sederhana. Sesimpel memakai sendal jepit untuk dipakai ke warung bubur kacang hijau depan kos. Tapi hal kecil nan detail lebih ajeg ketimbang sebuah momen besar bagi saya, itu kenapa momen dramatik dengan bapak selalu saya ingat. 

Di Minggu  pagi yang cerah kami duduk berdua di ruang keluarga. Saya membaca Kompas Minggu dan ia seperti biasa mendengarkan “She Loves You” dan “Can’t Buy Me Love” dari The Beatles lewat mini kompo hitam kesayangannya. Setelah perbincangan sederhana seputar kehidupan sekolah dan rencana kuliah saya, ia tiba-tiba mengeluarkan sebuah kalimat aneh. “Kamu tau enggak, laki-laki itu termasuk kamu umurnya cuma sampe 24 tahun, abis  itu hidupnya buat keluarga, percaya sama bapak!” tuturnya dengan mimik agak serius.
Dia  kemudian menjelaskan kalau kehidupan laki-laki sebagai sosok yang bebas akan berakhir di umur 24 tahun. Karena setelah itu ia harus memikirkan menjadi kepala keluarga. Pun ketika ia belum berkeluarga ia sudah harus menyiapkan modal berkeluarga di usia itu. Saya hanya tertawa saat itu. Seperti ucapan omong kosong yang menurut saya sering dilontarkan bapak saya di Hari Minggu saat sedang Nge-Beatles.
Namun sejak dinyatakan lulus kuliah entah kenapa saya sering memikirkan perkataan itu. Mengutip ucapan Mas Cip di Jakartabeat.net selalu ada beda antara usia psikologis dan usia biologis. Perkataan bapak saya membuat usia psikologis saya jauh meninggalkan usia  biologis. Sebabnya sederhana, umur 24 tinggal sebentar lagi. Dan saya kehilangan kebebasan yang amat saya nikmati. Kadang saya sering mengutuk kenapa dulu saya membaca Kompas Minggu sambil mengobrol dengan bapak saya. Kenapa saya tidak membacanya di kamar atau di teras? Kenapa mini kompo bapak ada di  ruang keluarga? Tapi kebetulan adalah perkara suratan tangan, maka saya percaya kalimat dari bapak saya hanya tinggal tunggu waktu untuk dilontarkan. 
Hari  ini saya menginjak usia 23. Maka waktu bersenang-senang saya maksimal satu tahun lagi, setelah itu selamat datang “Ucapan Bapak”. Setiap ulang tahun saya biasanya mendengarkan “Don’t Look Back in Anger”-nya Oasis. Alasannya sederhana, sebab ada satu baris lirik yang cantik di lagu itu, “So I start a revolution from my bed”. Itu balutan baris yang amat sederhana menurut saya, revolusi dimulai dari anda bangun tidur, mengutip kata Lupus setiap pagi adalah hari baru dan setiap kokok ayam adalah alarm untuk menikmati hidup baru.   
Hari ini saya tak memulai setahun ke depan dengan lagunya si Gallagher bersaudara. Secara iseng saya menshuffel ipod dan pasrah lagu apa yang akan berkumandang di telinga ini. Dan berkumandanglah “We’re Going To The Starnya” Goodnight Electric. Seru rasanya ketika anda bahkan tidak tahu akan memulai sesuatu dengan apa. Tapi beruntunglah saya si anak-anak elektrik punya petuah penting di lagunya “Open your eyes, the day is calling you!”. 
Mungkin bapak saya benar, ia sebenarnya tak sedang menakuti saya. Ia yang terobsesi anaknya jadi ekonom handal ini hanya berharap saya terus membuka mata kalau saya tak bisa selamanya bersenang-senang, akan ada waktu ketika saya harus menyadari saya akan berada di posisinya. Terlalu cepat lebih baik bagi dirinya mungkin ketimbang terlalu lama. 
Dua puluh tiga dan saya masih berdiri disini saja. Ada beberapa rencana untuk menyelesaikan kebebasan selama setahun ini. Membuat sebuah buku, mengajak teman-teman untuk rajin menulis, dan lebih mensyukuri setiap kesempatan hidup yang saya dapatkan. Saya tahu ini usia yang tak lagi muda, tapi buat saya muda dan tua bukan dua hal yang bertentangan. Ia seperti orang menyeberang dan sebuah mobil, selalu akan ada yang mengalah. Dan mengalah untuk menyambut “Ucapan Bapak” adalah kekalahan sekaligus kemenangan terbesar sebagai anak laki-laki. Selamat datang 23 dan semoga saya bisa bersahabat denganmu. 

#ini merupakan tulisan pertama dalam proyek #31harimenulis. 

2 thoughts on “23 menuju 24

  1. dimpil says:

    podo ndes, aku yo wis ameh 24, tapi aku mengamini kata-kata Seringai “GENERASI MENOLAK TUA”, nikmati hari-hari seperti tembang dari WSTCC “masa remadja” wah lagu itu akan terus membawa kita dalam suasana muda.

    Nek SID ngomong kita muda, beda dan berbahaya.

    Like

  2. rocky says:

    rada menyesal baca tuliasan ini, asyem, hahah, tuo2 :p

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: