“Sooner or later, every man looks in the mirror and sees his father.”
(David Granger, Editor in Chief Esquire)
Tadi sore saya jalan-jalan ke toko buku Times di Suria Sabah Kinabalu, Malaysia. Ada satu buku menarik yang saya temui disana. Saya lupa mencatat judul buku tersebut. Buku itu berisi kumpulan tulisan mengenai hubungan antara ayah dan anak yang diterbitkan oleh Esquire. Karena harganya mahal (75 ringgit, setara dengan dua ratus ribu rupiah) maka saya memutuskan membaca disana saja.
Buku itu pada intinya bercerita bahwa hubungan anak laki-laki dan ayahnya adalah hubungan yang paling kompleks. Anak laki-laki memang biasanya lebih dekat dengan sang ibu, namun tipe hubungan antara anak laki-laki dengan ibu dan ayah itu berbeda sekali. Hubungan antara anak laki-laki dan ibu timbul karena kasih sayang yang besar dan kontak batin yang kuat antara yang dikandung dan yang mengandung. Sementara hubungan dengan ayah adalah hubungan yang aneh dan sulit dideskripsikan.
Buku ini menyatakan kalau hubungan anak laki-laki dengan ayahnya adalah hubungan yang dilandasi dengan begitu banyak ekpektasi. David Granger si editor majalah pria terbesar itu menyatakan kalau seorang ayah pastilah memiliki ekpektasi kepada anaknya apapun bentuknya. Untuk mewujudkan ekspektasi itu maka ia memberi contoh apa yang harus dilakukan untuk menjadi seorang pria. Panutan paling nyata tentu saja dengan memberikan contoh bukan?
Maka jadilah sang ayah secara sadar ataupun tidak mengajari bagaimana menjadi seorang “pria”. Ia akan mengambil jarak dengan anak laki-lakinya. Karena hubungan pria dan pria tak sedekat antara ibu dengan anak perempuan misalnya. Penciptaan jarak disana pada dasarnya dibutuhkan untuk mendekatkan si anak dan si ayah. Karena lewat jarak lah si ayah mengajarkan bagaimana menjadi seorang pria yang benar.
Sayangnya karena jarak itu pula hubungan ini menjadi aneh. Si anak biasanya membenci apa yang dilakukan oleh ayahnya. Apa yang dilakukan sang ayah itu dianggap tidak keren menurut si anak. Padahal sang ayah dalam tarafnya yang paling klise biasanya beralasan melakukan itu demi anaknya. Ingat cerita klasik Ali Topan atau hubungan antara Emilio Estevez dan ayahnya di Breakfast Club? Semua terjadi karena jarak dan ekpektasi.
Yang menarik adalah ketika si tukang ngedit di Esquire, David Granger, menyatakan bahwa kebencian mendalam pada ayah pada akhirnya akan berbuah aneh beberapa tahun kemudian. Ketika sang anak beranjak besar ia secara tidak langsung akan mengikuti jejak ayahnya. Seperti ucapan di awal artikel ini, “Sooner or later, every man looks in the mirror and sees his father”.
Saya sedang merasakan betul hal ini. Dulu saya sering tidak suka dengan apa yang dilakukan bapak saya. Standar lah alasannya, karena saya menganggap apa yang dilakukan bapak saya tidak asyik. Sungguh sebuah alasan yang sangat remaja sekali. Tapi saya melakukan riset kecil dan banyak teman saya yang juga merasakan kalau mereka memandang bapak mereka tidak asyik.
Pada akhirnya David Granger benar. Seberapa pun usaha kita untuk menjauh atau menolak, anak laki-laki tetaplah reinkarnasi muda dari bapak kita masing-masing. Dan itu sangat menyesakkan rasanya. Jelas sesak rasanya sebab kita menjadi apa yang dulu kita protes. Itu seperti menghujat Harmoko untuk kemudian sepuluh tahun kemudian membuka departemen penerangan kembali.
Bahkan saya sering berpikir, “Gw mau anak gw jadi arsitek ah, pasti keren banget”. Usaha kesana pun sudah saya lakukan secara kecil-kecilan dengan membeli buku arsitek, mempelajari arsitek lebih dalam dan usaha-usaha kecil lain. Saya memang bercita-cita jadi arsitektur dan tak kesampaian akhirnya. Saya seperti berencana menjadikan anak saya sebagai saya versi muda nantinya. Seperti halnya bagaimana bapak saya sangat getol untuk menyuruh saya bergelut di bidang ekonomi dulu. Menyuruh saya masuk Fakultas Ekonomi saat saya SMA.
Itu hanya contoh kecil, banyak contoh-contoh lain yang mengingatkan bahwa sifat saya sekarang adalah sifat yang sebenarnya saya benci dari bapak saya. Sekarang saya melakukannya dan rasanya benar-benar aneh. Dengan membaca sedikit buku ini saya sadar kalau yang bisa dilakukan mungkin bukan mengutuk sifat yang sama dengan bapak saya. Tapi lebih pada berdamai dengan sifat-sifat itu. Artinya tak ada salahnya menjadi seperti bapak namun dalam taraf yang wajar. Sehingga bila saya berkaca nanti saya hanya akan melihat sifat baik dari bapak saya. Ah klise sekali saya ini, sama seperti bapak saya.
#ini merupakan tulisan kedua dari proyek #31harimenulis
“father n son” Yusuf Islam bgt y, hahaha 😀
LikeLike
setuju bgt wek…
LikeLike