Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Di bandara itu cuma ada dua ekspresi, kalau enggak sedih ya senang”

(Difta Wandani)
Saat menulis draft tulisan ini, saya sedang menginap di ruang tunggu bandara Kuala Lumpur untuk menunggu penerbangan ke Singapura. Sambil mendengar Menjadi Manusia-nya Bangkutaman lewat ipod saya teringat sebuah ucapan teman saya, Difta, dalam sebuah obrolan singkat. Seperti quote di awal tulisan ini, dia bilang bahwa hanya ada dua ekspresi di bandara, kalau enggak sedih ya senang. Saya kurang setuju dengan pendapatnya. 
Menurut saya bandara, terminal, ataupun stasiun adalah sebuah “antara”. Tempat-tempat itu seperti bersinonim dengan kata “dari dan menuju ke”. Dan setiap manusia yang mengalaminya tak bisa memilih antara senang atau sedih. Mereka akan memilih untuk mencampur keduanya. Senang timbul karena manusia bergerak ke depan dan transportasi di tempat-tempat tersebut membawa manusia mengarungi perjalanan ke depan. Sedih karena dalam setiap kemajuan mereka pasti meninggalkan sesuatu yang akan mereka rindukan.

Keadaan seperti itu membuat saya lebih setuju menyamakan keadaan orang-orang di bandara dengan orang yang baru bangun pagi. Saat bangun pagi kita sadar kalau kita telah bangun, namun di satu sisi kita juga belum seratus  persen terbangun dari tidur kita. Saat bangun pagi kita sering bercerita tentang mimpi kita, “Gw tadi mimpi ketemu UFO di padang pasir” atau misalnya “Gw mimpi pergi ke Yunani sambil dengerin Syaharani”. Bandara adalah peralihan dari mimpi menuju keadaan terbangun. 
Disini beragam orang terangkum. Ras Kaukasian yang menenteng laptop di Coffee Bean atau Starbuck. Beberapa  orang Melayu yang memilih mengobrol di dalam Mc’D atau Taste of Asia. Dan tentu banyak TKI yang bersama saya lebih memilih tidur di ruang tunggu karena alasan murah. Saya yakin tak ada satupun dari mereka yang tertidur pulas, rumah adalah tempat yang paling indah untuk tidur. Apapun yang terkait dengan Bandara hanyalah peralihan “dari dan ke”. Bandara hanyalah sebuah tempat sementara, ia bukan rumah. 
Namun kesementaraan Bandara membuat setiap orang membutuhkannya untuk pergi ke rumah masing-masing. Bandara-lah yang mengantarkan mereka pada kehangatan rumah. Pun sebaliknya bandaralah yang membuat seseorang meninggalkan rumah, dan menuju ke rumah yang lain. Mungkin itu yang membuat Difta menyatakan pendapatnya. Ia merasa meninggalkan rumah dengan menuju rumah adalah sebuah antonim. Meninggalkan berarti sedih dan menuju rumah berarti senang. Nyatanya tidak mutlak seperti itu. 
Bandara mengajari bagaimana peralihan adalah sebuah pelajaran. Tak ada senang dan kesedihan mutlak disana. Yang ada hanya sebuah perapian akan kehangatan sebuah rumah. Lewat kesementaraannya Bandara menghadirkan keabadiaan mengenai kehidupan rumah yang setiap orang rindukan.     
*Untuk seseorang yang sedang saya rindukan saat di Bandara. Tulisan ini merupakan tulisan #4 dari proyek #31harimenulis

5 thoughts on “Bandara, Bukan Antara

  1. herwanayogi says:

    jadi kamu sedang di “bandara” ya wek? 🙂

    Like

  2. Ardi Wilda says:

    iya, tadi pagi saya di bandara mas yogi 😛

    Like

  3. jak jaki! says:

    nek wani ning terminal

    Like

  4. baiq nadia says:

    wah teman barunya awe yang mau njemput besok yaaa? kikikiki

    Like

  5. bandara, perjalanan serta sendiri adalah getaway favorite saya 😀

    Like

Leave a comment