Sebenarnya hari ini saya tak tahu harus menulis apa, namun tanggung jawab tetaplah tanggung jawab. Untuk itu saya memilih jalan menceritakan apa yang saya lakukan satu hari ini, sebab hanya ini yang ada di kepala saya untuk diceritakan. Mau menulis hal lain kesannya dipaksakan, mending menulis apa yang saya rasakan saja.
Hari ini saya dan Dina Camen kembali mengunjungi Singapore Biennale 2011. Bedanya, kemarin saya mengunjungi Singapore Art Museum (SAM) at 8Q maka hari ini saya bertandang ke Singapore Art Museum, National Museum of Singapore dan Old Kallang Airport. Sedikit keluar konteks, saya sangat kagum dengan fasilitas transportasi yang disediakan panitia Biennale. Panitia menyediakan bus gratis untuk menuju ke tempat-tempat yang jaraknya lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Ini jelas memudahkan para pelancong yang ingin menyaksikan pameran seni dua tahunan ini.
Old Kallang Airport adalah venue paling menarik menurut saya. Ini merupakan bekas bandara Singapura sebelum berpindah ke Changi Airport. Bandara ini sudah tak dipakai lebih dari lima puluh tahun. Pada Biennale tahun ini, tempat yang sempat jadi markas tentara Britania di dekade 50-an ini kembali difungsikan untuk memajang karya para seniman yang berpartisipasi di acara ini. Sebuah kesempatan berharga tentunya bisa mengunjungi tempat bersejarah tersebut.
Banyak karya yang ditampilkan di Old Kallang Airport, namun bagi saya ada dua karya yang membuat penasaran. Pertama adalah karya Song-Ming Ang (Singapura) berjudul Be True to Your School. Kedua datang dari seniman Inggris bernama Phil Collins (bukan Phil Collinns si penyanyi soundtrack Tarzan) yang membuat video tentang skinhead di Malaysia. Keduanya sangat menarik bagi saya, sayang karya Phil dibuat dengan begitu rigid dan rapi. Video Phil justru terlihat seperti video klip dengan visualisasi yang begitu tertata nan apik. Padahal saya berekpektasi bahwa video ini seliar film dokumenter tentang Metalhead yang sempat dibuat di negeri ini.
Adalah video karya Song-Ming Ang yang membuat saya sama sekali tidak menyesal jauh-jauh pergi ke bekas bandara negeri singa putih ini. Song membuat sebuah statement yang ia namakan dengan “Manifesto For Bad Music”. Ini adalah sebuah rangkaian proyek Song untuk merayakan lagu-lagu “buruk” (istilah buruk sebanarnya kurang tepat dalam kontesk ini) di kehidupan kita. Istilah “bad music” disini dibuat bukan sebagai antitesis musik bagus. Song justru merayakan “bad music” dengan cara yang amat unik dan jujur. Untuk mendukung statementnya tersebut Song membuat beberapa karya yang cukup sederhana namun unik. Sertidaknya ada dua Video dari Song yang membuat saya berdecak heran karena unik, adalah video berjudul “No Mans Band” dan “Be True to Your School” yang sangat apik bagi saya.
Kedua video itu bercerita tentang bagaimana Song menemui orang-orang tua yang dulu bersekolah di sekolah dasar yang sama untuk menyanyikan Mars SD mereka. Video “No Mans Band” menampilkan bagaimana masing-masing orang tersebut latihan dan mengingat-ngingat lirik mars SD mereka. Mereka kini telah menjelma menjadi orang tua dengan kehidupan yang berbeda-beda tentu saja sedikit sulit jika harus mengingat mars tersebut. Meski lupa dan sedikit malu mereka berusaha mengingat dan mengalunkan anthem saat mereka masih menjadi anak kecil lugu yang baru bisa baca tulis.
Di video “Be True to Your School”, Song merekam bagaimana orang-orang yang latihan tersebut bernyanyi di ruangan kelas saat mereka SD. Orang-orang tua itu dengan wajah yang tegang melafalkan Mars SD mereka di depan papan tulis kapur berwarna hijau. Wajah mereka tampak sedikit terbebani, mata mereka condong ke otak kanan karena berusaha mengingat-ngingat lirik.Bahkan salah satu dari mereka tampak begitu tegang dengan merapatkan kedua telapak tangan seperti pemain sepakbola yang sedang membuat pagar betis. Mereka seperti tak ingin salah saat menyanyikan mars sekolah dasar yang telah dilalui puluhan tahun silam. Wajah mereka meski sudah tua, seperti seorang anak SD yang takut disetrap oleh gurunya, begitu polos dan jujur.
Saya menjadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya ditakutkan oleh para manusia paruh baya tersebut saat menyanyikan mars SD mereka. Tak ada lagi ikatan dengan sekolah, pun tak ada hukuman apapun ketika mereka gagal menyanyikan lagu yang dulu kerap mereka nyanyikan dan ya mereka melakukan ini untuk senang-senang, mengapa mereka tegang? Disinilah karya Song menjadi menarik bagi saya. Ia berhasil merayakan istilah “bad music” dengan sangat baik.
Mari kita lihat statement Song, “Bad music is pure and virginal. Bad music makes good music look good. As such bad music is a companion of the highest order. It will always be there for you, forever and a day. We can always laugh with bad music, and unlike many friends, we can even laugh at it. It is not proud. It is not easily angered.”
Song benar, bad music adalah pengganggu di sekitar kita. Ia mengejawantahkan itu dalam Mars SD. Sesuatu yang mungkin dulu harus kita nyanyikan satu kali setiap minggu. Kita nyanyikan ketika kita upacara. Kita sudah pasti benci menyanyikannya. Tapi puluhan tahun setelah itu? Kita antusias mengulangi hal itu.
Disitulah titik pentingnya. Agaknya percuma kita menyumpah serapah “bad music” toh setiap diri kita punya guilty pleasure yang sering kita rayakan. Masalahnya mungkin bukan terletak pada bangga atau tidak tapi lebih kepada bagaimana kita menertawakan bad music sekaligus merayakan hal tersebut. Bukankah dalam setiap sesi karaoke misalnya, penggemar Radiohead bisa jadi memilih lagu Wali untuk dinyanyikan. Atau penggemar Bjork lebih senang bernyanyi lagu-lagu Manis Manja Grup saat berkaraoke ria.
Fenomena-fenomena seperti itu berhasil ditangkap Song dengan baik. Kita tahu itu memalukan, kita tahu itu tak bisa dibanggakan tapi kita merayakan bad music bukan? Jangan ragu merayakan bad music, tak ada yang salah dengan budaya ini. Tanpa mengenal yang bad bagaimana kita tahu yang good? Song sekali lagi benar, bad music makes good music look good.