Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Orang yang bisa melakukan sesuatu karena dia punya segala-galanya itu biasa banget, tapi orang yang enggak punya apa-apa terus bisa melakukan sesuatu itu luar biasa,” ujar Duta saat membuka lagu “Pasti Ku Bisa” di konser lima belas tahun Sheila On 7.

Saya menonton konser tersebut bersama Imam Solihin atau kadang disapa Mamsol oleh beberapa orang. “Gw bantuin cewek gw shooting dulu we, nanti gw usahain dah nemenin lo, gw juga pingin liat wawancara tuh kaya gimana,” ujarnya saat pertama saya ajak liputan sekaligus nonton konser ini. Beberapa menit sebelum konser berlangsung batang hidung pria jebolan SMA 47 Jakarta ini belum juga terlihat. “Dimane lo mam?” begitu bunyi pesan pendek saya kepadanya.”Dari rumah ini gw we, baru balik shooting,” balas Imam. 
Sekitar lima belas menit setelah kotak masuk di telepon selular saya terisi oleh pesan dari Imam, ia pun nongol di venue konser malam itu. Ia mengenakan jaket adidas bertuliskan “Hand of God” dengan mimik muka yang memancarkan kelelahan sangat. Perlu diketahui ia baru saja menyupiri kelompok Programa Siaran Televisi (PSTV) pacarnya ke Parangtritis. Jarak antara Parangtritis ke venue sendiri mencapai satu jam perjalanan. Maka wajar jika ia tampak kelelahan. “Eh we, gw minjem tiga ribu dong buat parkir, dompet gw ketinggalan di tempat cewek gw,” ujar Imam saat melihat saya. Setelah selesai dengan urusan parkir dan membeli tiket konser kami pun langsung masuk venue.
Sehari sebelumnya saya mengajak Imam bertemu Adam Sheila On 7 di lapangan futsal Liquid Jogja untuk melakukan wawancara. Sayang karena jadwal yang padat, bassist band sejuta kopi itu memilih untuk diwawancara setelah mereka konser keesokan harinya. Saya dan Imam pun tak punya tujuan jelas menghabiskan waktu kemana. Akhirnya kami memilih mengikuti kompetisi Angry Birds yang diadakan oleh Nokia di Ambarukmo Plaza (Amplas) Yogyakarta. “Si Dono (teman kontrakan Imam) dapet HP we, gara-gara ikut itu, mau ikutan lah gw,” ujarnya. Saya pun menemani bocah yang suka main futsal ini ke Ambarukmo Plaza. “Eh we lo sadar enggak kalo setiap kita ketemu tuh selalu jalan-jalan di Amplas men, gaul bet ini gaul,” kelakarnya. 
Tapi kelakar Imam sebenarnya benar adanya. Sekitar sebulan lalu saya memang pergi berdua dengan Imam ke pusat perbelanjaan paling besar di kota gudeg ini. Saya meminta dirinya menemani saya membeli sepatu. “Sip gan, santai aja, gw nganterin cewek gw balik dulu ye tapi,” katanya saat saya hubungi via telepon. Dan sepatu yang saya beli pun akhirnya adalah hasil dari pilihan Imam. 
Belakangan ini saya sering menghabiskan waktu dengan Imam. Namun ada satu benang merah yang selalu terjadi saat saya bersama dengan dirinya. Itu adalah saat dimana saya benar-benar sendiri dan sedang tidak punya teman untuk diajak jalan. Saat pembelian sepatu misalnya saya sedang galau akut karena habis putus. Liputan Sheila juga saya mengajak Imam karena saya sedikit grogi harus mewawancarai musisi yang sejak kecil lagu-lagunya saya dengarkan. Dan tak ada orang yang mau saya ajak saat itu. “Asu (Anjing) ye we kadang lo, ngajak gw kalo gak ada temen doank, tai lah lo,” kata Imam terpingka-pingkal saat saya ceritakan kalau itu alasan saya mengajak dia. 
Namun disitulah spesialnya Imam dimata saya. Ia seperti last man standing yang menolong diri saya. Ia orang yang selalu ada saat saya benar-benar butuhkan. Bahkan saat menonton White Shoes and The Couples Company beberapa hari lalu ia lebih memilih bersama saya dan teman kami Donad ketimbang berduaan dengan pacarnya. Bukan berarti ia tak sayang pacarnya, Imam ini saya yakin tipikal pria setia yang menjaga sampai titik darah penghabisan ceweknya. Namun ia sangat tahu mana porsi ketika ia dibutuhkan teman dan pacar. Sedikit keluar konteks, buat Intan jagalah Imam baik-baik atau kamu menyesal dunia akhirat Tan.  
“Mam, ayolah ke depan panggung, masak konser jongkok doang gan di lantai dua pula, ayo ke bawah men,” ajak saya semalam saat menyaksikan Sheila On 7. “Capek banget gw we, sumpah dah,” kilahnya. “Dua lagu lagi ke depan ye, harus mau lo men,” ujar saya sedikit memaksa. “Asu (Anjing) lah lo we, iye dah,” kata Imam menyerah. Dan kami pun turun ke bawah untuk mengisi malam itu. 
Saat itu Sheila sedang menyenandungkan lagu “Melompat lebih tinggi” ketika saya dan Imam berhasil merangsek ke deretan depan panggung. Saya, Imam dan Dono pun melompat kegirangan sambil berteriak-teriak layaknya anak SMA menyaksikan Pensi. Tapi dari situ saya sadar Imam punya energi untuk membuat orang lain semangat, mungkin itu yang membuat saya selalu menempatkan dia sebagai teman terakhir jika saya sedang benar-benar tak punya seorang teman. 
Setelah mewawancarai Adam di backstage kami pun berbincang sebentar di pelataran venue konser. “Gw grogi we, kaya terintimidasi gw sama sosok Adam, ya biasanya kan gw cuma liat di tv sama denger lagunya, eh ini ketemu langsung,” ujarnya polos. “Ya emang gitu Mam kalo wawancara, detik-detik awal pasti grogi, gw juga masih sering gitu kali, tapi ya kerjaan boy, gimana lagi?!” kata saya sedikit berbagi pengalaman. Senang rasanya bisa mengajarkan sesuatu pada Imam setelah begitu banyak yang diberikan Imam pada saya. Benar kata Duta, orang yang bisa melakukan sesuatu saat kita tak punya apa-apa itu luar biasa. Dan buat saya lebih luar biasa lagi adalah orang yang berhasil menemani kita saat kita tak punya apa-apa dan siapa-siapa, Imam melakukan pekerjaan mulia itu untuk saya.
   

2 thoughts on “Imam, Teman Terakhir

  1. donadpinandita says:

    Ternyata, Imam dan Mas Awe saling mengidolakan satu sama lain.. :p

    Like

  2. imam says:

    ah mas awe, terima kasih semuanya terutama buat semarnya.
    koe sido wisuda tgl 19 toh? aku melu yo we
    buat cerita ke anak cucu ntar.

    donad : of the record yo hahaha

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: