Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Hari ini saya datang ke kampus untuk menyelesaikan urusan administrasi terakhir saya sebagai mahasiswa. Mengembalikan toga, mengambil transkrip nilai dan membuat legalisir ijazah. Semua urusan itu menandakan saya sudah tak lagi punya ikatan apa-apa dengan kampus. Dengan ini saya bukan lagi mahasiswa. 
Saya kemudian melihat gedung baru kampus dengan sebuah pandangan aneh. Di depan gedung saya melihat beberapa orang berdiskusi. Ada yang menggunakan laptop, ada yang dengan catatan kecil, mereka berbincang seputar tugas mata kuliah sepertinya. Di depan kantor jurusan saya melihat beberapa adik kelas mengantri menemui dosen pembimbing. Raut muka mereka resah, wajar sekali sebab dosen pembimbing lebih sulit ditemui ketimbang menteri kata teman saya yang amat benci dengan dosen pembimbingnya. 
Langkah kaki saya kemudian menuju kantin. Di depan kantin poster-poster bertebaran soal seminar nasionalisme, unit kegiatan mahasiswa dan beragam seminar lain yang bicara soal kepemimpinan. Di kantin pula bertebaran mahasiswa dan mahasiswi dengan pakaian yang menarik, dosen yang bergaya sok asyik dan ibu kantin yang menanti pelanggannya. Suasana yang kerap saya temui saat saya kuliah dulu. Bedanya saya kini bukan bagian dari suasana itu, saya orang luar yang melihat semua itu. 
Pikiran saya kemudian melayang saat kuliah dulu. Otak yang dijejali dengan sembilan elemen jurnalismenya Kovach, organisasi yang mendukung hal-hal teknis dalam proses komunikasi, dan teman-teman yang tertawa di bawah rindangnya pohon kepel. 
Sedetik kemudian otak saya melompat pada para aktivis kampus yang setiap hari besar berdiri di bawah terik matahari meneriakkan slogan-slogan seperti anti kapitalisme, pendidikan berbasis kerakyatan, dan beragam slogan besar lainnya. Sebagai mahasiswa bodoh saya sama sekali tak mengerti teriakan mereka, yang saya tahu wajah mereka merah terbakar sinar matahari. Kutuklah saya yang tak pernah sekalipun turun ke jalan saat mahasiswa. “Gw cuma mau demo kalau negara ini jadi negara islam,” janji saya pada seorang teman. Dan bersyukurlah saya sebab negara ini tidak menjadi negara Islam sehingga saya tak perlu turun ke jalan. 
Saya memandang kampus ini dengan pandangan yang sangat aneh. Terlalu aneh bahkan, selain wujud fisik yang berubah saya juga tak menemukan sebuah kedekatan dengan kampus ini lagi. Itulah saat kita harus pergi meninggalkan semuanya. 
“Koe wes daftar neng ngendi we (Kamu sudah daftar dimana we?)?” tiba-tiba saya terkejut dengan sebuah pertanyaan dari adik kelas saya. “Daftar latihan motret underwater,” jawab saya sedikit ketus sambil melihat sebuah poster kegiatan memotret underwater yang diadakan anak selam UGM. “Tenanan iki (Beneran ini),” tanyanya lagi sedikit memaksa. “Aku yo tenanan (Aku jawabnya juga beneran),” jawab saya lagi lebih ketus. Dia pun pergi tunggang langgang karena mungkin merasa saya sedang tidak enak untuk diajak ngobrol. 
Saya tidak sedang membenci si adik kelas. Saya hanya merasa akan ada saat dimana ia akan tahu mengapa pertanyaannya begitu memuakkan. Bukan, bukan karena saya masih menganggur namun lebih karena kita berada di titik menertawakan apa yang telah kita lakukan sebelumnya. “Lego ki nek wes isoh guyu ndelok uripmu dewe le (Lega itu kalau kamu udah bisa ketawa melihat hidupmu sendiri),” kata ibu saya kalau melihat saya belum puas dengan segala sesuatu. 
Ibu saya mungkin benar. Karena ucapan ibu, saya jadi ingat sebuah film dari proyek payung memperingati sepuluh tahun reformasi. Ada satu segmen yang menarik dalam omnibus tersebut. Disitu diceritakan mengenai bekas seorang demonstran 1998. Kucing kalau saya tak salah ingat sebutannya. Ada satu adegan sehari-hari yang sangat menarik bagi saya di film itu. Yaitu saat ia membenarkan letak duduk anak balitanya saat ia pangku, kemudian scene bergeser pada saat si Kucing sepuluh tahun lalu dengan semangat menggelora menuntut reformasi. 
Pada akhirnya kita akan kembali dalam sebuah keadaan yang sangat biasa. Oleh permasalahan elementer seputar meneruskan hidup. Tak ada lagi gegap gempita ala mahasiswa, tak ada lagi deru teriakan ala aktivis, kita akhirnya hanya akan mendengar anak bayi kita di kamar sebelah. Saat berpikir mengenai itu tiba-tiba sebuah pesan pendek dari ibu saya masuk. “Wilda dimana? Kapan pindahan ke Jakarta? Wilda kalo mau nerusin kuliah lagi daftar aja,” tulis ibu saya singkat. Saya tersenyum membaca itu. 
Ibu saya sekali lagi mengingatkan dalam bahasa yang paling sederhana. Kapan pindah ke Jakarta adalah pertanyaan sopan untuk “Kapan lo balik ke kehidupan lo yang sebenarnya”. Untung dia ibu, yang meski tak pernah mengenyam bangku kuliah namun ia paham menjadi mahasiswa adalah soal hidup dalam mimpi. Mahasiswa punya banyak mimpi dan ibu saya membangunkan saya dari situ. Mimpi memang kunci tapi terus bermimpi dan lupa bangun adalah bencana, beruntung ibu saya paham hal itu. 
Saya sekali lagi memandang deretan gedung di kampus, semua berdiri gagah, tapi begitu semu. Saya sekali lagi menengok para mahasiswa, wajah mereka cerah, tanpa tahu berapa lama wajah itu akan bertahan. Saya sekali lagi melihat perjalanan saya di kampus sambil tersenyum. Dan malam ini saya sekali lagi membaca sebuah petikan puisi Gie, “Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa”.

3 thoughts on “Mahasiswa, Apa Yang Kamu Cari?

  1. Andrea says:

    We. Biasa orang beda-beda. Dan mungkin biasanya gue adalah freak dan wonderful dalam kamus lo, hehehe. Just saying, tapi kayanya lo cenderung nggak bisa melakukan hal-hal yang biasa dan dimengerti layaknya sejuta umat manusia…. Lo pasti melakukan hal-hal yang sangat tidak biasa. Bikin puisi sendiri! Yang Gie uda nggak cocok di lo! Hahahaha. Eh, ada lomba underwater photography di Wakatobi. Mau channel?

    Like

  2. nagara says:

    bangga lulus?he'eh?

    Like

  3. Ardi Wilda says:

    @andrea: haha afu malah bikin puisi, nir ekspektasi deh ini
    @aji kopet: bukopin ji bukopin, huakakakak

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: