Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Cen ngono we, seng neng omah e Daniel bakal nang Jakarta kabeh kok nek wes lulus, koe ojo sedih (Emang begitu we, kita semua yang di rumah Daniel juga bakal ke Jakarta kalau udah lulus, kamu jangan sedih),” Babal Hamdan.

Malam tadi saya berbincang dengan Iqbal alias Babal Hamdan via facebook. Awalnya saya hanya hendak pamit untuk pulang ke Jakarta sementara karena ada sebuah wawancara kerja dengan TV Lokal. Juga mengabarkan bahwa Bapak saya semakin mendesak saya pindah ke Jakarta. Saya harus mempercepat proses packing dan paket-paket barang. Otomatis dengan begitu akhir bulan ini dipastikan saya resmi meninggalkan Jogja setelah menunda kepulangan dua kali yakni pada tanggal 2 dan 15 Juni karena masih ada seminar dan urusan yang harus diselesaikan.
Sayang rencana pamitan yang awalnya biasa saja tiba-tiba menjadi perpisahan yang melankolis dan sedikit menjijikkan dengan Iqbal. Bukan hanya pada Iqbal sebenarnya, tapi pada Rumah Daniel. Ya Iqbal tinggal bersama Daniel dalam sebuah rumah sederhana di kawasan Sawit Sari. Di Rumah Daniel juga sering muncul beberapa lelaki lain kurang kerjaan seperti Andi, Yogi, Avis, bahkan Sandi yang entah sekarang dimana rimbanya. Meski belum lama menginjakkan kaki di rumah ini saya pasti akan menceritakan kisah Rumah Daniel pada anak saya kelak, rumah yang lucu dan penuh kenangan buat saya pribadi. 
Perkenalan saya dengan Rumah Daniel terjadi pada medio September-Oktober tahun 2010. Saat itu Rumah Daniel adalah markas bagi para fotografer, sutradara, desainer grafis sekaligus editor untuk program CSR sebuah produk susu balita. Andi yang merupakan project manager CSR ini selalu meminta kami untuk berkumpul di rumah ini. Wajar saja sebab semenjak pindah kos di bilangan Ring Road Utara, pria yang juga mahir karate ini memutuskan menetap di Rumah Daniel. Alasan lain karena hal ini menghemat biaya sebab Daniel sebagai fotografer, Iqbal sebagai desainer dan Avis selaku co-product manager juga menetap di rumah ini. Dengan berkumpul disini akan sangat efisien dan hemat tentunya. 
Berawal dari tuntutan pekerjaan itulah saya kerap berkunjung ke Rumah Daniel. Si pemilik rumah yakni Daniel sebenarnya juga teman kuliah satu angkatan saya, pun demikian dengan Babal Hamdan. Namun kami sebelumnya tak akrab karena memiliki kesibukan yang berbeda. Daniel dan Babal lebih senang bergelut di dunia wirausaha sementara saya saat itu sibuk dengan organisasi di kampus. Maka bisa dibilang pertemuan dengan rumah ini sekaligus juga mengakrabkan kami. Nyatanya rumah ini tak sekedar mengakrabkan, tapi juga membuat saya akan selalu mengingatnya. 
Rumah ini datang tepat waktu. Datang di masa akhir-akhir saya menjadi mahasiswa yang tak punya kerjaan apa-apa, datang saat saya putus dengan seseorang sehingga butuh hiburan, datang saat saya membutuhkan teman yang sangat menyenangkan. Rumah ini menghadirkan semua itu. Satu hal yang baru saya sadari kenapa rumah ini bisa menghadirkan itu semua adalah kenyataan bahwa di rumah ini kita bisa mengeluarkan naluri lelaki paling dasar, menikmati dunia sesuka hati. 
Mungkin anda bingung dengan istilah naluri lelaki, oke akan saya jelaskan. Anda tentu pernah melihat film atau sitkom yang tokohnya mahasiswa-mahasiswa kurang kerjaan berkumpul di sebuah rumah. Mereka kerap melakukan hal-hal aneh, lebih sering tak punya uang ketimbang mengantungi beberapa lembar rupiah. Kerjaannya hanya tertawa tak jelas dan selalu mengobrolkan wanita satu kampus yang menarik tapi tak peernah berani mendekati. Rumahnya lebih kotor dari politik yang dilakukan Nazaruddin (oke ini sok berat, lupakan). Nah itulah gambaran rumah ini bagi saya. Sebuah ruang yang memberikan kita hiburan pelepas penat yang mengasyikkan dan membebaskan. 
Setiap orang di rumah ini adalah lelaki-lelaki kurang kerjaan yang senang tertawa dan bermain tanpa kenal lelah. Kami punya beberapa istilah untuk menggambarkan kegiatan kami. Yakni dengan menambahkan awalan “Ng” atau huruf “N” di tiap nama kami. “NgAwe” (merujuk pada nama saya) adalah sebuah keadaan ketika kata-kata kotor meluncur deras dari mulut. “NgAndi” adalah keadaan ketika takut berada di rumah sendirian, percayalah meski mahir karate Andi tak pernah berani ditinggal sendirian di rumah. “NgHerwana” (merujuk pada Herwana Yogi) adalah keadaan ketika bosan dengan sepeda padahal baru sebulan dipakai. “NgAvis” adalah keadaan ketika marah-marah tanpa sebab. “NDaniel” adalah keadaan ketika sesuatu harus dilakukan dengan cepat alias impulsif, dia pernah membeli peralatan sepeda sampai ke pelosok Bantul hanya karena tiba-tiba melihat alat itu dijual murah di internet. Dan terakhir “NgIqbal” adalah keadaan ketika hidup kita hanya diisi oleh dua hal yakni skripsi dan pacaran. 
Kerjaan kami pun bisa dibilang sangat selo (senggang) dari mulai membongkar sepeda, menonton film horor dengan proyektor milik Avis (saya sudah pasti tertidur saat menonton), sampai memelihara kucing persia berumur lima bulan bernama Vanda. Semua kegiatan itu sungguh tak esensial, namun kami menikmati betul masa-masa itu. Sebab disitulah naluri lelaki kami untuk bermain-main terpenuhi. 
Beruntung saya bertemu dan sering menginap di Rumah Daniel pada masa-masa akhir kuliah. Ini seperti halte bersenang-senang yang mengasyikkan. Namun namanya halte tetap saja harus ditinggalkan. “Gini aja we, kita janji lima tahun lagi kita harus ketemu lagi di Rumah Daniel, 13 Juni 2016 kita nginep bareng di Rumah ini,” tulis Babal Hamdan sebelum mengakhiri obrolan kami di facebook. Sebuah ajakan yang membuat saya senang sekaligus sedih.  
Saya jadi ingat sebuah ucapan Daniel, “Andi wes pindah, ndilit eneh koe, Iqbal meh pendadaran njuk nang jakarta, garek aku ki, yo tak garap skripsi ki seng tenanan (Andi udah pindah, sebentar lagi kamu, Iqbal juga udah mau pendadaran terus ke Jakarta, tinggal aku sendiri ini, aku bakal buat skripsi yang beneran lah),” tutur Daniel disambut tawa kami. Meski tertawa, di dalam hati saya sedih mendengar itu, Rumah Daniel bakal punya tempat istimewa di hati saya. Terimakasih Niel, Bal, Ndi, Yog, Vis, dan kucing kami si Vanda. Percayalah saat menulis kalimat tadi mata saya berkaca-kaca. Kalian pasti meledek saya cengeng saat bertemu saya di Jogja hari Jumat nanti. Saya hanya mau bilang saya sayang kalian semua. Bajingan kopet kenapa harus bilang sayang sama kalian untuk menutup tulisan ini (Ah “NgAwe” saya kumat rupanya). 
Dibuat di kereta menuju Jakarta untuk wawancara kerja sambil mendengarkan “I Think Ur A Contra” dari Vampire Weekend.

3 thoughts on “Rumah Daniel

  1. mr crab says:

    rumahnya danil itu sebenarnya bernama “Chum Bucket” buka 24 jam

    Like

  2. Ardi Wilda says:

    omahmu didadekke apotik K24 ae sisan niel niel

    Like

  3. irham says:

    WC nya tanpa kunci, angker tenan

    Like

Leave a comment