Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Saya memilih jalan yang menurut orang berbahaya. Semacam membabat hutan dan menciptakan jalan setapak menuju tengah hutan yang akan saya jadikan rumah. Tentu saja banyak yang menyarankan saya untuk berjalan melalui jalan raya dan memilih salah satu rumah dari deretan perumahan yang saya lewati. Saya memilih membangun sendiri,”Mira Asriningtyas.
Menulis tentang LIR adalah sebuah pekerjaan berat bagi saya. Pertama, saya tak pernah sekalipun menulis tentang kuliner. Kedua, saya tak suka makan. Ketiga, dan ini yang paling esensial, LIR adalah tempat pelarian saya dari segala masalah, bisa jadi tulisan ini akan jatuh pada sebuah cerita personal, bukan pemberitaan. Untuk mengatasi masalah-masalah diatas saya kemudian mencoba membaca beberapa esai mengenai food journalism, dan hasilnya saya semakin bingung mau menulis apa. 
Sampai akhirnya saya sadar LIR adalah tentang kesederhanaan. Menulisnya pun bukan soal pamer referensi atau keahlian, tapi soal merasakan apa yang kita dapat disana. Dan di sebuah minggu pagi saya akhirnya berhasil menuliskan LIR (secara personal) dengan ditemani lagu “Jakarta” dari Luky Annash. 
Mooi Resto di LIR

Bukan tanpa alasan saya menulis tentang LIR. Sebagai orang yang impulsif saya sangat senang ketika melihat LIR untuk pertama kali. Saya ingat betul kata yang pertama saya ucapkan saat melihat LIR. Silakan tarik nafas anda, saya mengucap “Subhanallah,” saat pertama melihat LIR. Ucapan yang religius itu biasanya hanya saya gunakan untuk menyebut sesuatu yang keren, seperti saat saya pertama mendengar Blur, Mocca atau saat saya bertemu wanita impian saya. LIR berhasil membuat saya mengucap syukur lagi. 

LIR yang saya sebut dari tadi adalah sebuah “ruang” di Jalan Anggrek 1/33 Baciro, Yogyakarta. “Ruang” dipakai sebagai deskripsi karena ia memang menyediakan ruang berbagi untuk banyak hal. Setidaknya ada tiga ruang di tempat ini, pertama adalah “Mooi” yakni sebuah restoran yang membuat dokter mata saya akan percaya kalau saya tidak buta warna. Restoran ini didominasi oleh warna hijau dan putih yang menyegarkan. Ruang kedua adalah toko buku bernama “Lir”. Dan yang ketiga adalah “Summer and Spring Holiday Shop” yang berkonsentrasi pada penjualan pakaian. Tak ketinggalan sebuah ruang pameran kecil yang dinamakan “Space” bagi siapapun yang hendak menampilkan karya seni disana.
Jika anda merasa asing dengan kata “LIR” maka anda tak sendirian, saya pun sempat dibuat bingung dengan arti kata ini. Sang pemilik LIR yakni Mira Asriningtyas atau biasa saya sapa dengan Mbak Mira menjelaskan kata ini.  “Nama LIR sebenarnya kita ambil dari dua kata, pertama kata “lire” yang dalam bahasa Prancis berarti to read, sementara “lair” dalam Bahasa Inggris berarti hideaway place. Maka buat saya LIR berarti “A Hideaway to read,” tutur wanita berkacamata ini.
Cikal bakal lahirnya LIR sebenarnya mulai terjadi di pertengahan tahun 2008. Saat itu Mira bersama adiknya membuka sebuah kedai susu murni. Menurutnya hal ini karena ia dan adiknya adalah seorang peminum susu dalam taraf maniak. “Aku suka susu sama adikku, adikku bahkan bisa minum susu empat kali sehari,” ujarnya. Tak hanya itu kulkas rumahnya pun sering dipenuhi dengan produk-produk kepanjangan tangan susu semacam keju, yoghurt sampai eskrim. 
Milky Moo, kedai yang pertama didirikan Mira sebelum membuka Cups dan LIR


“Akhirnya aku sama adik inisiatif buat jualan susu dan homemade yoghurt pas hari Sabtu dan Minggu di garasi rumah kami yang deket Taman Bermain Kaliurang,” jelas Mira tentang kedai susunya yang bernama MilkyMoo. Ia kemudian menceritakan kalau adiknya juga sering membawa susu atau homemade yoghurt ke sekolah dan banyak teman-temannya yang tertarik. Teman-teman yang membeli pun menyarankan untuk membuka kedai susu di tempat yang lebih mudah mereka jangkau, bukan di Kaliurang yang notabene amat jauh dari sekolah. Sejalan dengan itu Mira pun bekerja di Yayasan Bagong Kussudiarja yang letaknya di Bantul (selatan kota Yogyakarta). Sehingga ia harus mencari kediaman yang lebih dekat dengan tempat kerjanya. 

Melihat dari dua faktor pendukung tersebut maka ia membuka sebuah tempat makan di dekat kantor radio Geronimo Yogyakarta yang ia namakan dengan Cups. “Waktu buat Cups ini impulsif banget, prosesnya cepat, disini lebih konsentrasi ke susu sama homemade yoghurt sekalian mendekatkan ke tempat kerjaku waktu itu,” tutur Mira. 
Saya sempat beberapa kali ke Cups, suasananya hampir sama dengan LIR sebenarnya. Hanya saja  Cups berada dalam sebuah ruangan tertutup sementara LIR cenderung lebih terbuka karena letaknya yang berada di teras rumah. Di Cups inilah titik tolak penting dalam menciptakan sebuah mimpi besar bernama LIR dimulai. Cups nampaknya menjadi sebuah laboratium penting penciptaan LIR di kemudian hari.
Kisah Cups tak seimut dindingnya yang digambar mangkok dan gelas kecil. Juga tak seindah pajangan kue-kue kecil disana. Cups juga tak serindang gambar pohon yang ada di dalam ruangannya. Kisah Cups adalah kisah tentang temaram lampu tempat makan ini di kala malam hari, teduh sekaligus penuh pertanyaan.
Cups lahir ketika Mira baru saja menyelesaikan kuliahnya. Lupakan cerita bombastis tentang merangkai mimpi. Ia tetaplah manusia biasa yang dihadapkan pada realita yang dihembuskan orang sekitarnya. Cups adalah mimpi kecil yang coba ia hidupkan menjadi realita, sayang tak semua orang memahaminya.
Cups, restoran yang dibuka Mira sebelum LIR

“Aku bikin Cups tepat setelah lulus kuliah, saat itu sambil kerja kantoran di Bagong, keluarga masih memaklumi karena masih ada kerja kantorannya itu. Tapi selesai kontrak di  Bagong mulai pada nanya kenapa kok enggak kerja. Buat orang-orang kan kadang mikir membuka usaha itu belum bisa dibilang kerja, kita masih menganggap kalo kerja itu ya kerja kantoran,” kata Mira.
Beberapa kesempatan bekerja kemudian ia tolak karena merasa tak cocok. Namun dunia memang tak seindah petualangan ala Lima Sekawan. Ia kemudian memutuskan untuk mengalah dengan keadaan, semoga istilah “mengalah dengan keadaan” ini cocok untuk menggambarkan hal tersebut. “Ending-nya aku gabung dengan MRA group di Jakarta karena berpikir masih nyambung dan bisa asyik disana.” MRA Group sendiri adalah sebuah perusahaan penerbitan yang membawahi beberapa majalah seperti MTV Trax, Cosmopolitan dan Esquire.  
Dan ya Jakarta tak pernah memberikan ruang akan sebuah rajutan impian yang kita idamkan. Kota ini hanya memberikan sebuah ruang bagi mereka yang menganggap mimpi telah mati. Tapi bagi orang yang masih punya mimpi Jakarta setidaknya bisa mengingatkan mereka akan mimpi yang hendak dicapainya. Mira agaknya mengalami titik tolak penting di kota ini yang sangat berpengaruh pada bagaimana LIR terbentuk nantinya.
“Akhirnya aku mutusin keluar dari pekerjaanku saat itu. Waktu itu yang paling berat jelasin ke keluarga tentang kenapa aku keluar dari pekerjaanku.” Ia kemudian sempat berdebat dengan salah satu keluarga besarnya mengenai itu. “Ada keluargaku yang udah sukses bilang kenapa sampe sekarang mimpinya belum terwujud? Bukankah saat ini sudah waktunya dia hidup bahagia? Dia selalu bilang ke aku untuk hidup  settle dulu baru nanti wujudin mimpi-mimpi, tapi kalau pekerjaan udah settle dan tiba ketika harus mewujudkan mimpi itu rasanya sulit banget, karena udah terbiasa tiap bulan dicekoki uang nah ini tiba-tiba memutuskan berhenti kan sulit. Aku kemudian bilang kalau aku mau mewujudkan mimpiku sekarang, bukan saat udah settle, apa salahnya mewujudkan mimpi itu sekarang?” ujar Mira menceritakan masa yang ia sebut sebagai masa-masa kacau.
Dan kini ketika saya mengucap “Subhanallah” di depan LIR maka impian Mira bisa jadi telah terwujud. Coba baca slogan LIR “Hidden in the heart of the city LIR is the perfect hideaway where fiction and reality mingle”. Inilah tempat ketika kita bisa percaya fiksi bisa menjadi sebuah realita. Ketika fiksi tak lagi sekedar mimpi.
LIR memang sebuah hideaway place buat saya. Letaknya agak masuk ke dalam di daerah Baciro. Tempatnya kecil  namun hangat. Warna hijau dan putih mendominasi tempat ini. Sekelilingnya banyak tanaman tumbuh dengan apik. Saat sore hari Mbak Mira sering menyirami tanaman ini dengan sebuah alat penyiram tanaman dari aluminium berbentuk lucu. Di  depan gerbangnya kita bisa menemui sebuah pohon yang digantungi gelas-gelas kecil menjelma menjadi ranting. Ibarat sebuah cerita fiksi, LIR seperti pohon besar yang dipakai tokoh dalam majalah Si Kuncung untuk bermain dan tertawa bersama. 
Tea Party ala Alice yang dihadirkan oleh Mooi Resto

Dari  tiga “ruang” di LIR, Mooi Restoran adalah tempat yang menarik perhatian saya. Mooi sendiri sebagai  sebuah restoran dibuat dengan sangat apik. Menu-menu disini adalah menu-menu yang dibuat berdasarkan makanan atau minuman yang ada di cerita fiksi. Sebut saja butterbeer yang menemani Harry Potter, Ratatouille-nya A Year in Provence atau menikmati tea party ala Alice. Lewat menu-menu ini kita boleh jadi percaya selalu ada tokoh Pangeran Kecil-nya Antoine de Saint-Exupery di diri kita. Menu-menu disini membuktikan manusia adalah homo ludens, makhluk yang senang bermain-main. Tumbuhnya kita sebenarnya hanya mengganti arena bermain kita ke arena yang lebih menantang. Seperti kata Qaris Tajudin di Tempo, wanita hanya mengganti boneka dengan dirinya sendiri dan laki-laki mengganti mobil-mobilan dengan mobil sungguhan. DI LIR kita diingatkan untuk mengambil kembali boneka dan mobil-mobilan kita.  
Di tiap makanan yang kita telan Mooi mengingatkan untuk terus percaya sisi “Pangeran Kecil” di diri kita. Coba lihat penjelasan dari menu “Mad Hatter Tea Party” berikut ini. “Join the Hare and the Hatter to  a mad tea party! Jump into the rabbit hole and discover the wonderful world of whimsicality. Daydream with your dearest friend!”. Secara tak sadar menu disini meengajak kita untuk menjelajah ke tempat-tempat yang lebih luas dari sekedar dunia yang kita hadapi sehari-hari.
Dalam sebuah sore yang cerah dan memancarkan sinar jingga khas matahari yang hendak bersembunyi saya berkesempatan mewawancarai Mira. Ditemani oleh pacarnya yakni Dito Yuwono ia menjawab pertanyaan saya sambil sesekali melayani pelanggan yang hadir disana, maaf bukan pelanggan tetapi teman lebih tepatnya, di tempat ini semua orang adalah teman. Dengan sogokan sebuah fruit salad gratisan saya mewawancarainya sampai lupa Sholat Maghrib, maafkan saya ya Allah. Berikut wawancara saya dengan Mira.
Saya (S): Bisa diceritakan bagaimana konsep LIR bisa muncul?
Mira (M): Sebenarnya LIR adalah mimpiku dari  kecil, sejak kecil aku senang baca. Bahkan saat skripsi aku ngambil tema enggak jauh-jauh dari tempat bacaan. Intinya di skripsi itu aku mau ngembangin sebuah New Bookstore Development Plan. Itu konsep toko buku baru yang berbeda, ada used book dan ada buku baru. Di situ juga rencananya nanti ada galeri (Space), ada toko bukunya (LIR) dan restoran yang dinamakan Mooi. Lagipula passionku selama tiga tahun terakhir ini masak. Jadi beginilah jadinya, ya LIR ini.
S: Kenapa harus ada konsep  toko buru baru? Memang ada apa dengan toko buku yang sekarang sampai harus ada konsep baru?
M: Rata-rata toko buku sekarang kan main aman, Lagipula enggak ada ruang yang sama dengan yang aku suka. Aku pribadi mikir kalau misalnya enggak ada yang sesuai yaudah bikin aja. Kaya misalnya aku sama Dito bikin Majalah Huff karena ngerasa enggak ada majalah yang sesuai keinginan yaudah bikin majalah sendiri aja.  
S: Kalau disuruh menyebut beberapa nama tempat, LIR ini inginnya menjadi seperti apa?   
M: Untuk bukunya kita pingin seperti Omunium Bandung, aku suka buku-buku disana. Untuk ruangnya kita pingin seperti Tobucil Bandung. Aksara juga sih, tapi mereka kan pemain yang besar sekali.
Dito (D): Seng ndue Aksara wes bingung guwak duit neng ngendi (Yang punya Aksara udah bingung mau buang duit dimana) (Tertawa)
S: Konsep baru apa yang sebenarnya ditawarkan oleh LIR sebagai toko buku?
M: Kita mengeluarkan buku per tema setiap bulannya. Misalnya bulan itu identik dengan apa, maka kita akan mengeluarkan tema yang sesuai dengan bulannya. Orang-orang yang kesini juga boleh baca di tempat, boleh baca di Mooi. Sambil makan atau ngeteh. Dan memang Mooi kan juga makanan-makanannya bersumber dari literatur bacaan.
S: Aku percaya setiap tempat pasti punya semangat pribadi karena background si pemilik mengenai sesuatu. Mooi mau memadukan antara cerita-cerita fiksi dengan makanan. Background bacaan Mbak Mira sendiri apa?
M: Ini panjang nih bakalan, lagipula katanya mau review kuliner kok nanya beginian (Tertawa)
S: (Tertawa) Ya penting lah Mbak, kan ini konsep utamanya. Aku juga jadi bisa tahu tempat ini sebenarnya punya semangat kaya apa?
M: (Tertawa) Oke oke. Awalnya banget emang dari kecil aku suka dibacain buku. quality time keluarga itu saat ibu pulang kerja terus aku dibacain Bobo sama Ibu. Selain Bobo juga dibacain cerita-cerita dongeng Dongeng Nusantara, semacam Dongeng dari Kalimantan, Dongeng dr Yogyakarta gitu. Tipikal dongeng-dongeng pengantar tidur gitu lah. Terus lanjut umur tiga tahun aku mulai penasaran sendiri sama buku-buku yang dibacain itu, rasanya kaya mau aku baca sendiri. Dari penasaran itu umur empat tahun aku udah baca buku sendiri. Dan tau sendiri akhirnya dari situ jadi keranjingan baca buku (Tertawa)
S: Saat bisa baca, buku-buku jenis apa yang Mbak baca dan senengin?
M: Waktu itu macam-macam sih ya tapi kebanyakan kaya buku-bukunya Enid Blyton terus juga Hans Christian Andersen. Aku juga enggak tahu kenapa Eropa sekali jatuhnya. Tapi ya waktu itu senangnya yang seperti itu. Terus juga keluarga dukung banget jadi kaya pas jadi juara kelas aku sering dibeliin buku sampe lima puluh buku. Dari situ makin senang baca akhirnya.
S: Itu kan waktu kecil. Terus saat mulai remaja mulai baca yang seperti apa?
M: Hmmm…Pas remaja ini aku udah enggak dibolehin lagi baca-baca yang model Enid Blyton atau cerita-cerita anak kecil, walau kadang ngumpet-ngumpet masih baca itu. Dikasihnya malah Saman yang isinya saru banget (Tertawa).  Kelas dua SMP aku udah baca Pram, Seno Gumira sama macem-macemnya Agus Noor gitu. Yang paling absurd aku baca Milan Kundera yang ah aku lupa judulnya, dan itu enggak selesai, enggak paham aku (Tertawa). Itu sebenarnya tuntutan Mama aku sih sampe suka yang gitu2.
S: Buset Mbak, SMP aja udah kenalan sama Kundera terus SMA Mbak baca apa?
M: Justru saat SMA aku baca yang realis-realis macem tulisan-tulisannya Umar Kayam. Tapi juga dicekokin Marx walopun nggak selesai juga (Tertawa).
S: Dari semua referensi itu apa yang kemudian Mbak dapet?
M: Aku jadi mikir kayanya aku balik-baliknya ke bacaan anak-anak lagi. Maksudnya aku lebih banyak menemukan makna di buku anak-anak. Tapi tentu aja kemudian aku enggak baca buku anak-anak dari perspektif anak-anak. Kaya misalnya buku favoritku Alice atau juga Little Princes aku lihat dari perspektif yang berbeda sekarang. Lagipula kalau dipikir kan kaya misalnya pengarangnya Little Princes si Antoine itu kan bisa membuat Little Prince yang isinya tentang anak-anak setelah dia nulis banyak buku. Dari situ kelihatan kalau buku anak-anak bukan sekedar main-main, butuh waktu panjang buat nulis itu. Artinya buku anak-anak bisa dimaknai dari perspektif lain, buat buku anak-anak kan juga sulit.
S: Mungkin buku anak-anak, fiksi dan cerita sureal itu yang sangat mempengaruhi LIR jadi begini ya Mbak?
M: Hmmmm…mungkin ya, enggak tahu deh (Tertawa).
S: Oke sekarang kita beralih ke Mooi sebagai restoran. Saat pertama tahu menunya diambil dari buku-buku fiksi terus terang aku bingung. Makanan di buku kan abstrak, kita enggak pernah tahu seperti apa bentuknya, kenapa Mbak tiba-tiba berinisiatif ngangkat makanan-makanan di fiksi untuk jadi menu disini?
M: Pertama perlu kita ketahuin kalau beberapa makanan emang deket banget sama buku. Makanan itu begitu dirayakan di buku. Kaya makanan-makanan di pesta tengah malamnya Enid Blyton. Di situ kan diceritain kalau kamu enggak diundang berarti kamu outcast banget. Aku senang gimana misalnya butterbeer begitu dirayakan di buku. Terus juga ginger ale yang dimakan sama sandwich di Lima Sekawan. Itu semua kan kaya nyata banget, kedekatan makanan di cerita fiksi emang begitu dirayakan (esai mengenai hal ini bisa dibaca disini)
S: Oke saya masih bingung (Tertawa)  bisa kasih contoh lain?
M: (Tertawa) Gini deh kaya Marcel Proust disitu dia nulis kalau Madeleine Cake aromanya mengingatkan dia pada rumah budenya, eh kok jadi kamu sekali ya (Tertawa). Iya digambarkan Madeleine Cake bentuknya seperti kerang terus aromanya lemon, dan itu mengingatkan dia akan rumah budenya. Terus aku coba Madeleine Cake di Baron Bistro Plaza Indonesia karena itu tempat satu-satunya yang ngejual itu. Dan ternyata itu gila banget, aku ngerasain sensasi yang benar-benar sama kaya yang digambarin di buku. Sejak itu aku mulai sadar kalau buku dan makanan itu dekat. Mungkin itu juga momen titik tolaknya ya yang buat sadar kalau buku dan makanan itu deket banget.
   
S: Tapi aku enggak pernah menemui momen saat makan dan bilang, “Ah gila ini rasanya seperti masakan bla bla bla di buku bla bla bla” yang mungkin terjadi rasa makanan justru mengingatkan pada sebuah tempat. Terus gimana bisa Mooi menghadirkan sensasi makananan dan mengingatkan pada sebuah bacaan di buku?
M: Dasarnya kan seperti yang aku bilang tadi karena sastra dan makanan itu emang deket. Bahkan di beberapa esai ada yang bahas tentang gimana makanan di sastra itu gambarin hubungan keluarga, kelas sosial dan semacem yang kaya gitu. Sederhananya kaya saat baca Eat, Pray, Love gimana dia gambarin Sphagetti dengan saus tomat yang bikin aku pingin banget makanan itu. Dari situ aku mulai penasaran seberapa banyak sebenarnya buku yang memasukkan makanan sebagai unsur penting dalam ceritanya. Aku coba googling tentang literature and food. Ternyata makanan di literatur itu jadi banyak banget artinya. Gila ya, aku malah enggak nyangka sebelumnya.
S: Terus gimana Mbak meramu makanan dalam novel menjadi sesuatu yang nyata? Karena di novel sendiri kan makanan itu udah jadi dan disajikan bukan dijelaskan cara pembuatannya
M: Nah ini yang bikin pusing (Tertawa). Aku kasih contoh aja kali ya biar gampang. Waktu aku nyari resep butterbeer misalnya. Aku coba googling dan ternyata ada lima puluh resep berbeda yang aku temui. Akhirnya satu-satu aku coba baca dan akhirnya milih sebuah versi Butterbeer di Harry Potter Theme Park Florida yang udah disetujui sama JK Rowling sebagai resep yang menggambarkan Butterbeer. Meski mungkin rasanya beda ya, tapi paling enggak buat penggemar Harry Potter enggak perlu jauh-jauh ke Florida buat ngicipin butterbeer, di Baciro aja udah ada (Tertawa). Itu kasusnya kalau aku nemu resepnya kalau enggak ya aku bakal coba resep dengan ngelihat gimana makanan itu di novel dan konteksnya. Seperti waktu aku bikin Mother Bear’s Porridge yang biasa dimakan Mama Bear aku bayangin sifat Mama Bear itu gimana untuk kemudian aku olah jadi sebuah makanan. Misalnya si Mama Bear kan orangnya lembut berarti dia suka pisang nih, rasanya juga harus manis ya semacam itu.
S: Ketika Mbak punya konsep yang kuat mengenai LIR ini tentu jadi penting dimana LIR itu berada, kan bisnis makanan soal taste and place, kenapa Mbak milih Baciro sebagai tempat LIR?
M: Kalau ini terinspirasi dari Buku A Year in Provence-nya Peter Mayle. Disitu kan diceritain tentang orang yang pindah ke daerah dingin dan sangat terpikat sama daerah sub-tropis. Aku pingin ngebawa suasana itu, makanya warna hijau putih dominan karena ini tropis dan seger banget aku ngerasanya. Di sini juga banyak angin, tetangganya ramah-ramah, jalanannya sepi dan aku ngerasa disini langitnya selalu biru. Aku seneng tempat ini.  
S: Maaf saya sedikit jadi stalker twitter mbak sebelum wawancara ini (Tertawa) dan ada satu tweet yang menarik perhatian saya. Mbak bilang, “Menata buku di LIR Shop. I’m glad i decided to live my passion and dream instead of choosing what’s ‘normal’.” Disitu normalnya pake tanda kutip mbak (Tertawa). Menurut Mbak emang kehidupan normal itu seperti apa? LIR ini sesuatu yang normal buat Mbak?
M: Wah tweetku sampe dicatet (Tertawa). Aku sebenarnya enggak betah dengan pendapat orang tentang aku harus gimana dan gimana. Aku senang bisa memperkejakan orang. Ngasih banyak pekerjaan ke banyak orang itu menyenangkan ketimbang dipekerjakan orang. Kalau soal uang aku rasa “cukup” aja udah cukup ya. Aku bisa nentuin hidupku sendiri, eh hari ini dolan (main) kemana ya itu udah cukup menyenangkan buatku. Karena enggak semua orang bisa punya kesempatan nentuin pilihannya sendiri bahkan untuk ada waktu main.
S: Aku ngerasa LIR jadi kaya mimpi yang udah terwujud buat Mbak Mira, terus ke depannya LIR bakal gimana Mbak?
M: Dari Cups aku belajar banyak hal. Intinya jangan gampang nyerah terhadap sesuatu. Waktu aku cerita soal Cups yang jalan satu setengah tahun, Mbak Neni Kedai Kebun Forum bilang, “Ojo gampang mutung ojo gampang bosen (Jangan gampang marah, jangan gampang bosen).” Terus aku juga ngobrol sama yang punya Tobucil Bandung dia bilang, “Satu setengah tahun itu masih seneng-seneng Mir, coba tunggu sampai lima tahun itu yang sebenarnya”. Dari dua pebisnis yang menurutku ngikutin kata hatinya itu aku belajar kalau dulu aku gampang menyerah. Ngebangun sesuatu kan butuh waktu. Dan LIR sabagai “ruang” pasti juga butuh banyak waktu untuk jadi lebih baik.
***
Perbincangan hangat kami berakhir ketika awan yang selalu biru di Baciro telah berubah menjadi hitam. Dari pengalaman-pengalaman saya di LIR dan perbincangan dengan Mbak Mira saya sadar LIR tak hanya sebuah “hideaway place to read” sesuai taglinenya. LIR bukan hideaway, tempat ini justru bukti bahwa kita terlena dengan realitas yang kita hadapi sehari-hari. Kita lupa hal-hal kecil yang kita anggap remeh temeh. 
Selama ini mungkin kita menganggap Enid Blyton, Hans Christian Andersen adalah penjual cerita indah masa lalu yang hanya ada di fiksi. Kita kemudian dihadapkan pada realita yang tanpa  terasa membunuh mimpi-mimpi kecil itu. Akhirnya realitas dan fiksi menjadi antitesis paling sempurna kehidupan orang dewasa. LIR mencoba mengetuk hati kita bahwa realitas sebenarnya adalah fiksi dan mimpi yanng coba kita hidupkan. Sayang kita tak pernah berani mencoba menciptakan realitas kita sendiri. Lewat Mooi yang memanjakan lidah dan LIR  yang mengisi otak kita lewat bacaan seperti sentilan kecil bahwa fiksi bukanlah antitesis dari realitas. Mengunjungi LIR bisa jadi membuat kita mulai membangun kembali mimpi-mimpi yang sebelumnya kita anggap hanya fiksi.   
Sambil menghabiskan fruit salad saya teringat apa yang dikatakan Mbak Mira. “If more people decide to  listen to their heart, follow their passion, and achieve their dream, i think it would be a merrier world.”  
*sila temui LIR Shop disini atau follow twitter mereka @LIRshop. Foto merupakan dokumentasi pribadi Mbak Mira. 
     

7 thoughts on “LIR: Membangun Mimpi Lewat Cerita Fiksi

  1. rocky says:

    paid posting gan? hihiihi:p

    Like

  2. awe you are rawkz… 😀
    waduh gak kalah duluan sama rocky

    Like

  3. Ardi Wilda says:

    @rocky: bukan gan, aku cen kerep merene, bayarane fruit salad aja, abis ini korbannya jejamuran, iki aku macak dadi penulis kuliner 😀
    @dwi: ayo main ke LIR *loh malah ngiklan* hehe

    Like

  4. mas awe, semoga komenku di twitter tidak menyinggungmu ya. but the food picts and suasana tempatnya udah ketangkep bgt. perlu sedikit diramu lagi aja penyajian tulisan kulinernya. 🙂
    -sasa-

    Like

  5. Ardi Wilda says:

    @sasa: kagak donk sa, malah oke, berikutnya pasti saya belajar lagi, haha..jejamuran!!! yeah yeah yeah 😛

    Like

  6. Arnindhita says:

    wiii nice 🙂

    Like

  7. I love to read this post, so complete, and so live.
    Wanna go there.
    Someday I will go there..

    Salam,
    Atthia

    Like

Leave a comment