Federer memilih pergi ke ruang konferensi pers Wimbledon lima menit setelah pertandingan perempat final antara dirinya dan Tsonga berakhir. Dari bahan yang saya baca ada dua opsi seorang pemain menghadiri konfrensi pers, pertama ia langsung hadir ketika pertandingan usai atau yang kedua ia hadir satu jam setelah pertandingan berakhir. Wajarnya sang pemain memilih opsi yang kedua, jelas alasannya karena faktor tenaga yang terkuras habis di pertandingan.
Rabu (29/6) lalu Federer memilih menghadiri konfrensi pers tepat lima menit setelah pertandingan usai. Tentu hal ini menjadi aneh sebab ia baru saja meladeni Jo-Wilfred Tsonga selama lima set. Dan ya kita semua mengetahuinya, Federer akhirnya kalah setelah unggul dua set terlebih dahulu. Wajar jika kemudian seorang wartawan bertanya, “After five minutes you are in the press room. Is it because you just want to get rid of everything and go away and forget about everything or not?.” Dan Federer menampiknya dengan mengatakan agar para wartawan tidak menunggu. Oh Federer sejak kapan dirimu begitu defensif.
Sikap defensif Federer sebenarnya aneh, mengingat ia biasanya lebih pendiam. Coba tengok pernyataan Tsonga mengenai kesulitan melawan Federer. “You know, is difficult to play against him (Federer) because you don’t know exactly what he’s thinking, what’s happen in his head.” Tak seperti Nadal yang berapi-api atau Djokovic si Joker yang bisa mengekspresikan kekesalan dan kebahagiaan di lapangan maka Federer lebih tertutup. Dari jawaban-jawaban di konfrensi pers tersebut terlihat sekali bagaimana Federer begitu defensif. Ia bahkan beberapa kali mengatakan, “I think I’m playing well”. Sebuah ungkapan yang sangat defensif untuk menyatakan kekalahan. Dan pertanyaan paling pamungkas dari pers pun muncul, “Does it feel like the end of an era?”
Bukan tanpa alasan pertanyaan itu muncul. Banyak faktor yang mendukung pertanyaan itu. Pertandingan ini seperti antiklimaks karier Federer yang menyilaukan di setengah dekade ke belakang. Maka wajar jika kemudian banyak orang menganggap bahwa Federer telah habis.
Sepuluh tahun silam, Federer muda berlutut sambil mengangkat raket Wilsonnya tinggi-tinggi setelah mengalahkan Pete Sampras. Di babak keempat Wimbledon 2001 semua mata tertuju pada Federer yang berhasil menghentikan sebuah era Pete Sampras. Jika saja Pete Sampras terus melaju dan mengangkat trofi Wimbledon tahun itu maka ia bakal mengoleksi trofi Wimbledon kedelapan kali. Sayang Federer mematikan kisah gemilang Sampras di Wimbledon. Dengan kekalahan itu Sampras tak pernah lagi menjuarai Wimbledon dan harus puas dengan koleksi tujuh trofi di kejuaraan tersebut.
Pertandingan itu kemudian dianggap sebagai tongkat estafet era Sampras ke Federer, tentu tanpa melupakan Agassi yang menyisakan sinarnya saat itu. Banyak orang juga menyamakan pertandingan ini dengan pertandingan final Wimbledon tahun 1988 antara Steffi Graf melawan Martina Navratilova. Kemenangan Graf di pertandingan itu juga menandakan berakhirnya era keemasan Navratilova. Wimbledon selalu menjadi kuburan bagi sebuah “era” keemasan petenis.
Sepuluh tahun setelah kemenangan monumentalnya atas Sampras kini Federer berusaha menyamai rekor memenangi Wimbledon sebanyak tujuh kali. Dua tahun terakhir Federer selalu dihantui oleh pertanyaan tersebut. Publik mungkin merasa Federer bisa melakukannya setelah ia berhasil memenangi gelar keenam Wimbledon di tahun 2009. Kemenangan ini menjadi begitu penting bagi Federer karena ia berhasil bangkit dari keterpurukannya di tahun 2008.
Pada 2008 Federer dipermalukan oleh Nadal lewat sebuah pertandingan final yang disebut-sebut sebagai pertandingan final Wimbledon terbaik sepanjang masa. “This is the greatest match I’ve ever seen,” tutur John McEnroe mengenai pertandingan itu. Selama hampir lima jam dua petenis terbaik dunia ini beradu pukul di Centre Court Wimbledon. Saat itu Federer jelas lebih diunggulkan karena bermain di lapangan rumput Wimbledon. Nadal tak punya sejarah panjang di Wimbledon, ia hanya jagoan tanah liat Roland Garros yang sedang menantang kaisar lapangan rumput. Sayangnya sejarah panjang Federer di Wimbledon berakhir sia-sia. Federer kalah dalam lima set dan Nadal menorehkan namanya untuk pertama kali di trofi Wimbledon. Air mata Federer saat memberi pidato di akhir pertandingan membuktikan kekalahan itu terlalu menyakitkan baginya.
Untungnya di tahun 2009 Federer berhasil bangkit dan meraih kembali trofi kebanggaan warga Britania itu ketika mengalahkan Roddick di final. Semua orang pun menganggap bahwa Federer belum berakhir. Maka menyamai rekor Sampras dengan menang tujuh kali Wimbledon tinggal menunggu waktu. Sayangnya Federer mengalami kemunduran prestasi secara teratur di tahun 2010 dan tahun ini. Di tahun ini ia bahkan baru mengoleksi sebuah gelar Grand Slam yakni Australia Terbuka. Sebuah hal yang aneh tentunya melihat koleksi gelar Grand Slamnya yang mentereng.
Tahun ini usaha untuk menyamai rekor Sampras pun berlanjut. Babak perempat final semestinya dilalui Federer dengan sangat mudah. Meski bukan pemain kacangan, Tsonga hanyalah unggulan ke dua belas di turnamen ini. Apalagi melihat fakta bahwa di dua set awal Federer berhasil memimpin dengan 6-3 dan 7-6. Saat saya mencermati live score pertandingan itu saya rasa Tsonga hanya bisa bermimpi untuk bisa mengalahkan petenis yang sudah memiliki dua putri tersebut.
Keyakinan saya didasari pada fakta bahwa Federer selalu menang jika sudah unggul set dalam sebuah Grand Slam. Ia mencatat rekor sempurna 178 kemenangan ketika ia lebih dulu unggul dua set. Namun Tsonga tetaplah anak bengal yang bisa menghancurkan rekor sempurna tersebut. Di tiga set terakhir Tsonga berhasil membalikkan keadaan dan mengubur impian Federer untuk menyamai rekor tujuh kemenangan Sampras di Wimbledon.
Mungkin rekor hanyalah catatan di atas kertas. Ditambah lagi bahwa setiap pemain tentu pernah mengalami pertandingan buruk, namun kekalahan ini menjadi sangat berarti bagi Federer. Kekalahan ini membuktikan stamina Federer tak lagi sempurna karena faktor usia, kekalahan ini juga bisa jadi membuang dirinya dari jajaran petenis elit yang kini diduduki Djokovic, Nadal dan Murray yang semakin hari semakin menjanjikan. Secara mental kekalahan ini juga sangat menyakitkan bagi Federer. Atlet dapat bangkit dari sebuah kekalahan, Federer pernah melakukannya dengan bangkit dari kekalahan melawan Nadal di Wimbledon 2008. Namun bangkit untuk kedua kali di usia yang tak lagi muda mungkin hanya Agassi yang bisa melakukannya.
Pada akhirnya kekalahan ini menjadi titik tolak penting bagi Federer, selain gagal merebut Wimbledon tahun ini, juga gagal menambah koleksi Grand Slamnya. Kini ia harus rela mengakui ia tak lagi dalam masa keemasannya. Jika boleh memilih mungkin ia akan memilih dikalahkan Djokovic yang tahun ini mencatat kemenangan lebih dari empat puluh kali tanpa terpecahkan.
Saya membayangkan bagaimana Sampras menyaksikan pertandingan ini. Sepuluh tahun lalu ia harus menyerahkan tongkat estafet kejayaannya pada Federer. Dan kini sepuluh tahun sejak kekalahan menyakitkannya di babak keempat Wimbledon sang penerus tongkat estafet mengalami hal serupa. Apa ini akhir dari sebuah era Federer? Hanya Federer dan Sampras yang dapat menjawabnya.
*gambar diambil dari sini. jujur ini tulisan latihan jadi jurnalis olahraga, semoga saya jadi jurnalis olahraga yang berbakti pada orang tua, bangsa dan negara -halah-*
saiki era ne michael phelps we', wkwkwkw
titisan bung titis je, sangar :p
LikeLike
ganteng dah federer, ane doain taun depan nyama kyk pete sampras we.
LikeLike
@roki: phelps? Richard Sambera lah, wkwkwk
@imam: kagak bakal bisa mam si federer nyamain sampras, udah ketuaan doi
LikeLike
sukses terus untuk roger federer.
LikeLike