“Selamat bulan Sya’ban, selamat bulan Sya’ban,” kata seorang teman saya, Daniel, ketika saya sedang main Xbox di rumahnya. “Ngopo e koe Niel, kesurupan po (Kenapa kamu Niel, kesurupan)?” tanya saya sambil bermain game tenis di Xbox. “Barangsiapa yang mengucapkan selamat hari Syaban niscaya terhindar dari api neraka,” tutur Daniel membaca sebuah tweet di smartphonenya sambil tertawa. Mendengar itu serentak saya dan Iqbal yang berada dekat Daniel langsung berucap, “Selamat bulan Syaban, selamat bulan Syaban.” “Wah terbebas dari api neraka ini berarti kita,” kata Iqbal disambut derai tawa kami.
Kejadian tersebut kemudian menyadarkan saya sebentar lagi kita akan menuju bulan Ramadhan. Sebab Ramadhan akan hadir setelah bulan Syaban. Semenjak kecil dari mulai di TPA, keluarga, guru agama di sekolah saya diajari kalau ini bulan yang penuh rahmat, barokah dan segala macam kata ganti lain yang identik dengan nilai-nilai keagamaan. Menjadi bagian dari bulan itu akan menjadi sebuah kenikmatan yang menyenangkan. Sedikit menjadi tidak nikmat ketika harus mengisi buku agenda Ramadhan saat SD dulu, untungnya itu hanya masa lalu.
Tidak saya tidak sedang ingin menuliskan tentang Ramadhan. Saya justru tertarik dengan konsep religius yang terjadi belakangan ini. Kemarin saya menyaksikan di televisi puluhan anak kecil dirubah menjadi satria kecil pendakwah lewat acara sebuah televisi dengan konsep da’i cilik. Ya setiap anak kecil memang butuh pahlawan, anak kecil butuh yang membuat mereka mengucap, “Gw mau kaya dia”. Menciptakan idola cilik berjubah agama apakah sudah saatnya? Jika saya jadi anak kecil saya lebih memilih bermain tamiya dengan teman-teman TPA dan kalau menang berucap Alhamdulillah.
Saya juga muak dengan sinetron yang lebih banyak dakwahnya ketimbang ceritanya. Semua orang berpakaian muslim, bertindak-tanduk layaknya mempelajari agama adalah kunci semuanya. Tokohnya tipikal, yang satu baik laksana malaikat yang satu jahat laksana setan neraka yang paling laknat. Ayolah kita butuh hiburan bukan sebuah dakwah kacangan berkedok sinetron.
Kecemasan saya ditambah dengan beragam spanduk majelis ini majelis itu di jalan-jalan ibukota. Yang mengajak orang untuk berbondong-bondong ke lapangan untuk berdoa, menitikkan air mata atas nama Tuhannya, atau berteriak membela Tuhan. Benarkah Tuhan perlu dibela? Kumpulan tulisan Gusdur bahkan berjudul Tuhan tak Perlu Dibela, kita yang terlalu besar rasa merasa bahwa Tuhan patut dibela. Meneriakkan panji-panji Tuhan kemudian jadi jurus ampuh menuju jalan religius. Ya setiap orang punya caranya masing-masing menjadi orang religius. Tapi ketika Tuhan hanya dimaknai dengan baju putih-putih dan mengganti helm menjadi peci saat berkendara saya rasa Tuhan hanya akan menertawai anda. Tuhan memberi nyawa untuk dihargai bukan untuk anda hilangkan dengan memakai peci saat naik motor di jalan yang menurut anda religius.
Saya bukan anti agama apalagi tak beragama. Saya masih menjalankan agama saya dengan sewajarnya. Saya hanya malas dengan kita yang terlalu merasa bahwa agama adalah jalan keluar semuanya. Saya setuju dengan apa yang dikatakan Cak Nun, agama itu input, outputnya tidak mesti agama. Chris John beragama tapi ia tak lantas jadi pendeta, ia menelurkan agamanya lewat sebuah gelar juara dunia. Outputnya sederhana, sebuah kebaikan dan rasa sayang untuk semua. Buat saya Chris John itu sangat religius, ia memberi makan anak istrinya sampai mukanya remuk di ring tinju. Bosan sekali hidup ini kalau output semua orang adalah soal agama.
Layaknya Chris John, buat saya semua orang religius. Sebab setiap orang pasti memiliki momen religiusnya sendiri-sendiri. Saya punya momen religius yang sangat klise. Ketika sehabis maghrib mendengarkan bude saya belajar membaca Al Qur’an pada pembantunya. Tak ada majikan dan pembantu disana, mereka berdua duduk sejajar bersama menghadap Al Qur’an dalam sebuah meja. Terkadang bude saya terbata-bata dalam membaca dan sang pembantu membetulkannya. Tak ada teriakan lantang membela Tuhan disana, yang ada hanya seorang insan manusia yang berusaha mendekatkan dirinya pada sang pencipta, sesederhana itu.
Atau ketika seorang sepupu saya yang nakalnya minta ampun tiba-tiba menjadi seorang imam sholat bagi saudara-saudaranya. Saya tak perlu diceramahi setiap orang bisa berubah oleh seorang ustad yang hanya bisa berucap jamaah dan bertingkah konyol. Dengan kejadian itu saya sadar semua orang bisa berubah. Dua momen itu seperti panggilan kalau Tuhan itu nyata adanya, ia hadir di orang-orang sekitar kita.
Mungkin religius adalah soal bagaimana kita menyikapi sebuah keadaan yang mengingatkan kita pada kebesaran Tuhan, bukan sebuah momen ketika nama Tuhan selalu didengungkan. Jujur saya merasa lebih mendapat pencerahan ketika mendengarkan Simon and Garfunkel lamat-lamat atau ketika mendengarkan Andre Harihandoyo and Sonic People menjelang tidur ketimbang mendengarkan dakwah di televisi. Atau bahkan saya menemukan Tuhan ketika saya menyeruput jus sirsak saya, ya hidup sekedar menumpang minum jus, dengan berbagai rasa di dalamnya. Tuhan selalu punya cara agar kita merasakan kehadirannya.
Dakwah, pengajian ataupun ritual lain yang nantinya akan banyak terjadi di Bulan Ramadhan boleh jadi berusaha mendekatkan diri kita pada Tuhan. Tapi saya jadi ingat sebuah lirik lagu Simon and Garfunkel, “Jesus loves you more than you will know”. Tuhan sebenarnya selalu menempatkan hal-hal kecil untuk mengingatkan bahwa ia sayang pada umatnya. Kita memang harus selalu mengingatnya. Tapi ketika kita merasakan bahwa Tuhan selalu ada di sekitar kita, tak perlu lagi lah berbondong-bondong meneriakkan namanya dengan urat leher sampai terlihat sekedar untuk menyatakan cinta kita padanya. Tinggal kita menghargai bagaimana pertanda-pertanda Tuhan pada kejadian-kejadian kecil di sekitar kita.
Bisa jadi Tuhan juga sedih kalau pujian dan penghargaan kepadanya hanya jatuh pada sebuah ritual dan topeng semata. Ketika tangisan setelah sholat hanya jadi adegan klise di televisi, ketika tidak percaya Tuhan jadi cara bergabung dengan para hipster, atau ketika puasa Senin Kamis jadi cara baru tampil religius di pergaulan dan ketika bulan Ramadhan hanya diisi oleh dai-dai karbitan dan pelawak pengisi sahur lantas apa arti religius sebenarnya? Masing-masing dari kita pasti memiliki jawabannya.
*dibuat tepat saat bangun pagi sambil mendengarkan Pillow St-nya Andre Harihandoyo and Sonic People dari Amanda (nama Ipod saya) .
“Saya tak perlu diceramahi setiap orang bisa berubah oleh seorang ustad yang hanya bisa berucap jamaah dan bertingkah konyol.” <--- Hahaha aku yo sengit karo ustad siji iki, kakehan gimmick.
LikeLike
Apik ki we', piye nek tak kopi trus tak sebar ke Jamaah Salahudin? hhe
Religius.
LikeLike
ini harus diluruskan ini, ini islam liberal ini, wakakak :p ketua rohis je mas bro
LikeLike
@mas wid: bagus jamaah *loh
@dimpil: mengko aku dikiro kafir
@roki: ketua rohis *jinguk ijek inget ae cah, hahafu*
LikeLike