Kekaguman saya pada dunia arsitektur membawa saya mengenali beberapa nama arsitek. Romo Mangun tetap idola utama selain Silaban yang terlibat dalam proyek Gelora Bung Karno dan dari generasi kini seorang Yori Antar. Ketiga orang tersebut mengajari aspek pokok arsitektur. Seperti dikatakan Avianti Armand, sebagai manusia kita terlalu sombong ingin menghadirkan keabadian lewat sebuah bangunan arsitektur. Mereka mengajari tentang kesementaraan. Romo Mangun dengan Kali Codenya, Silaban dengan Gelora (bersama beberapa arsitektur lain) dan Yori Antar dengan proyek pembangunan rumah adat di Wae Rebo, Flores (coba lihat Pesan dari Wae Rebo, Yori Antar). Jika manusia sebagai makhluk penempat bangunan hidup dalam sebuah kesementaraan lantas untuk apa kita membuat sebuah bangunan yang abadi. Di tangan mereka saya belajar banyak soal sifat dasar sebagai manusia, kesementaraan dan kesederhanaan.
Jika mereka mengajari soal sifat dasar arsitektur, seorang arsitek dari negeri Sakura justru mengajari soal “sifat kedua”. Ya anda benar, Tadao Ando namanya, nama yang sering saya sebut di blog ini. Ando seperti diketahui selalu menggunakan material beton dalam eksplorasi arsitekturnya. Dengan logika kausal sederhana, semua orang akan berkesimpulan bahwa ia tinggal dalam sebuah rumah beton. Dugaan itu salah, hingga kini ia tetap tinggal dalam sebuah rumah kayu yang dihuninya semenjak lahir. Sebuah rumah kecil dan sederhana untuk nama besarnya (Armand, 2011:13).
Pematahan logika kausal yang diciptakan Ando sebenarnya menjadi penting tak hanya dalam konteks arsitektur. Seorang pencipta bangunan beton tentu logikanya memiliki rumah beton. Sebuah logika sederhana, sesederhana seorang pemilik utama saham rokok Djarum Super pasti merokok merk itu. Nyatanya logika itu dipatahkan oleh Ando, ia memilih untuk berjarak dengan karyanya. Karya arsitekturnya “hanyalah” karya, ia berjarak darinya, ia memilih rumah kayu sederhananya.
Pematahan itu menurut saya menarik, pertama karena ia lepas dari sebuah stereotip yang sangat lekat dengan dirinya. Seperti sebuah bawang merah, lapisan luar Ando identik dengan beton namun semakin dikulik ternyata ia lebih memilih sebuah rumah kayu. Ia tak hidup dalam stereotipnya, ia memilih “sifat kedua” dari dirinya. Dan seperti Ando setiap orang akan memiliki sifat keduanya.
Seorang teman saya, oke bayangkan dulu fisiknya. Tinggi, besar, tipikal big man dalam permainan basket dan pergi pulang kampus memakai motor besar. Logikanya orang ini akan menyenangi otomotif, tiap hari berkeringat dan tawuran di lapangan basket. Nyatanya, ia lebih memilih untuk merawat ikan badut (karakter ikan Nemo dalam film Finding Nemo) di rumahnya. “Tetekku ki nang tempat dodolan akuarium karo iwak e (Tongkronganku tuh di tempat dagang akuarium dan ikan),” tuturnya bangga pada Dina, teman saya yang lain.
Atau bayangkan kondisi teman saya yang lain. Pria yang senang berpetualang, menyukai tantangan dengan melakukan kegiatan bersepeda turun gunung, tangannya beberapa kali lecet parah karena hal itu dan pernah terjungkal hampir 180 derajat. Logika sederhananya dia bakal hidup dalam permainan-permainan menantang lain yang lebih keras, nyatanya? Ia memilih hidup dan mendedikasikan dirinya untuk seorang kucing Persia kecil bernama Vanda. “Nek Vanda ra gelem mangan mumet aku (kalau Vanda enggak mau makan pusing aku),” ungkapnya. Ia sampai rela menurunkan kualitas makannya demi bisa membeli makanan kucing yang lebih bergizi.
Memelihara kucing atau ikan badut adalah sifat kedua teman saya yang membuat saya berkata kok bisa ya sebegitunya. Tapi nyatanya hal itu terjadi, seperti Ando. Mereka berdua melepaskan stereotip mereka saat menjalani sifat keduanya. Tak ada lagi sifat big man basket yang siap beradu badan dengan pemain lawan, tak ada lagi adrenalin tinggi saat menuruni gunung. Yang ada hanya si ikan badut dan kucing bernama Vanda.
“Sifat kedua” adalah hal yang menarik bagi saya. Kita hanya akan mengenal dan mengetahui sifat kedua seseorang ketika kita sudah begitu dekat dengan dirinya. Karena “sifat kedua” pula kita diajari untuk tidak menjustifikasi seseorang secara berlebihan. Tiap orang bisa jadi hidup dalam stereotipnya. Ando hidup dalam stereotip bangunan betonnya, rekan saya yang lain dalam dunia basket atau yang satunya anak sepeda penuh adrenalin tinggi tapi mereka tetap manusia biasa yang punya dunianya masing-masing.
Mungkin Ando punya alasan yang sangat penting kenapa ia memilih hidup di rumah kayunya. Memori personal, tingkat kenyamanan atau segala hal lain yang sulit dijelaskan mungkin membuat ia memilih tinggal disana, bukan sebuah bangunan beton. Dan ya lewat Ando saya belajar mengenai “sifat kedua” manusia. Seperti layaknya mengupas bawang, kita akan merasa pedih dan sulit menembuh sifat kedua tiap orang. Namun ketika kita mendapatkannya ada secuil rasa keterkejutan di dalamnya. Keterkejutan yang tak mengejutkan karena seperti Ando kita akan membangun “rumah kayu” kita masing-masing.
* postingan ini didedikasikan untuk seorang anak arsitek yang bahkan saya tak kenal secara pribadi, Dinitya Laksitha. Namun hari ini kata teman saya yang kenal dengan dirinya, tugas si Dinitya ini tak diterima sang dosen karena sebuah hal. Percayalah kamu masih beruntung bisa kuliah di jurusan itu, saya sampai sekarang masih bermimpi bisa kuliah di arsitektur nak.
Sifat keduamu, Jahil kare Uedyan di waktu yang sama?
LikeLike
TO Detected
LikeLike
affuuuu, aku gek moco postingan iki, wkwkwkwk
koq ketok e kenal y cntoh wong e kui -__-
LikeLike
@rocky: sopo rok? haha modar koe ra pertamax
@imam: maho detected
@juned: sifat keduamu cah penerbit 😛
LikeLike