Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Eh Lik gimana kalo kamu kerja di rumah saya dulu? Ngebantuin catering mami, tapi untuk awal-awal mungkin enggak dibayar dulu…” (Lupus, Mission Muka Tebel)
Kutipan diatas merupakan ajakan dari Lupus pada calon pembantunya bernama Kelik untuk bekerja di rumah Lupus. Saat itu Lupus menemui Kelik yang sedang bersedih karena baru saja dipecat dari pekerjaan terdahulunya. Awalnya Kelik adalah pegawai kafe yang didirikan Mila (pacar Lupus saat Poppy pertukaran pelajar ke Amerika), namun ia dipecat karena kafe Mila berubah konsep. Kafe Mila menjadi modern dan muka Kelik yang kampungan dirasa kurang cocok menjadi pegawai disana. Melihat nasib Kelik maka Lupus pun menawarkan bantuan untuk bekerja di rumahnya, dengan catatan ia tak dibayar selama dua bulan. Kelik pun menyanggupinya sebab bagi dia yang penting memiliki tempat berlindung dari panas dan hujan. Ia pun resmi menjadi pembantu Lupus. 
Di rumah Lupus, Kelik sangat bahagia. Meski sering dikerjai Lupus dan Lulu (adik Lupus) namun Kelik selalu digambarkan senang di rumah Lupus. Bahkan ia bisa mengerjai dan mengolok-ngolok Boim yang menurutnya lebih bau daripada ayam peliharaan Lupus. Meski tidak dibayar Kelik menjadi bagian keluarga Lupus yang tak terpisahkan. Saat Mami (Ibu Lupus) diceritakan ke Irian, Kelik diamanatkan untuk menjaga Lupus dan Lulu. Ia tak sekedar pembantu di cerita Lupus melainkan bagian integral dari keluarga Lupus. Dan Kelik ikhlas mengerjakannya. 
Kini lupakan Lupus dan alihkan perhatian kita pada Pak Ageng. Jika anda tak familiar dengan nama ini maka akan saya jelaskan sedikit. Pak Ageng merupakan tokoh sentral dalam buku Mangan Ora Mangan Kumpul karangan Umar Kayam. Buku ini bercerita mengenai kesehariaan Pak Ageng, Istri (maaf saya lupa nama istrinya) dan pembantunya. Pak Ageng memiliki dua pembantu bernama Mr Rigen dan istrinya bernama Nanciyem dengan dua anak bernama Beni Prakoso dan Tolo Tolo. Buku ini bererita sederhana mengenai relasi dan masalah-masalah sederhana di kehidupan mereka. 
Hubungan antara Pak Ageng dan Mr Rigen sangat dekat. Pak Ageng sering meminta Mr Rigen untuk memijatnya dan mengobrol banyak hal saat prosesi mijet itu. Pak Ageng bahkan tak masalah ketika dua anak Mr Rigen yang nakalnya minta ampun mencomot ayam bakar Pak Ageng. Bahkan Pak Ageng menganggap Beni Prakoso dan Tolo Tolo layaknya anaknya sendiri. Hubungan majikan dan pembantu begitu cair disini, tak ada beda strata sebab pembantu adalah bagian keluarga di rumah tersebut. 
Mari kita tengok kembali dua ilustrasi diatas. Lupus dan Pak Ageng memang hanya tokoh fiktif dalam sebuah karya sastra, pun demikian dengan Kelik dan Mr Rigen. Namun karya sastra tak bisa dilepaskan dari konteks sosial dimana masyarakat itu berdiri. Ia seperti cermin bagaimana masyarakat saat itu berkembang. Maka hubungan antara Lupus dengan Kelik dan Pak Ageng dengan Mr Rigen adalah sketsa sederhana bagaimana majikan dan pembantu menjalin sebuah relasi di rumah. 
Nyatanya saya juga mengalami hal serupa dengan Lupus maupun Pak Ageng. Saat kecil saya memiliki seorang pembantu yang sering saya sapa dengan Yu Yem, kalau tidak salah nama aslinya adalah Wagiyem. Ia berasal dari Surakarta, sebuah daerah keil yang berbatasan dengan kota Solo. Yu Yem bahkan sempat membawa anaknya ke rumah keluarga kami di Jakarta agar ia bisa bekerja dan memomong anaknya. Orangtua saya bahkan menganggap anak Yu Yem sebagai anaknya sendiri, tak ada perbedaan sikap antara anak Yu Yem yang balita dengan saya yang saat itu masih kecil. Saya juga sering bermain dengan anak Yu Yem, saya sering menampar-nampar pelan pipi anak Yu Yem. Pembantu adalah bagian dari keluarga besar kami. 
Sampai tiba ketika Yu Yem harus kembali ke kampung karena anaknya semakin besar. Dan kami pun kelimpungan mencari pembantu. Kami memang mendapat penggantinya namun tak ada yang bisa menggantikan Yu Yem. Satu tahun sekali pembantu kami berganti. Sampai di sebuah titik ibu saya memutuskan untuk tak memiliki pembantu saat saya duduk di bangku akhir sekolah menengah pertama. Kami kehilangan sosok pembantu ideal menurut kami. 
Bertahun-tahun setelah itu tibalah saya pada sebuah hari di Yogyakarta, di kediaman Pakde saya. Kemarin saya pulang malam saat para pembantu menyaksikan balapan Formula 1 di televisi. Pakde saya memiliki sekitar enam pembantu di rumahnya yang difungsikan selain untuk mengurus rumah juga untuk membantu bisnis baju pengantinnya. Ada tiga pembantu di depan televisi kemarin malam. Saat melihat saya mereka merapikan duduknya, kaki mereka tak lagi selonjoran, mereka bersila, mungkin agar terlihat lebih sopan. 
Jujur saya merasa risih dengan hal itu. Mengapa harus ada batas antara saya dengan mereka. Padahal saya tak pernah menyuruh mereka ataupun menganggap mereka orang lain. Saya kemudian ikut menonton bersama mereka, sekitar lima belas menit kemudian mereka pamit untuk tidur di lantai atas. Lantai dua memang difungsikan sebagai kamar para pembantu. Saya hanya bisa menelan ludah melihat ini. 
Saya lalu berpikir mengapa hubungan majikan dan pembantu tak bisa seperti dulu. Duduk bersama dalam sebuah ruang keluarga, membincangkan hal-hal keil seputar berita di televisi. Atau sekedar tertawa bersama. Pembantu tak lagi menjadi bagian integral sebuah keluarga. Ibu saya kini memilih mempekerjakan tukang gosok pakaian daripada pembantu. Konsepnya ada orang yang akan datang untuk menggosok pakaian dan setelah itu pulang. Dua dari enam pembantu pakde saya juga pulang ketika maghrib, mereka tak menginap di rumah. Hubungan pembantu dan majikan kemudian menjadi sebuah relasi antara bos dengan pegawai.
Fenomena ini menarik buat saya. Konsep pembantu pada dasarnya adalah menghadirkan orang asing (biasanya dari daerah Jawa Tengah atau pesisir) untuk hadir ke rumah. Istilah pembantu sendiri berarti orang yang bertugas membantu pekerjaan rumah. Ia digaji dengan nominal tertentu biasanya per bulan (kecuali yang dilkakukan Lupus pada Kelik tentunya). Konsep itu seharusnya menghadirkan sebuah relasi bos dan majikan, satu membayar dan satu dibayar. Harusnya menjadi wajar ketika hubungan antara pembantu dan yang dibantu (bisa dibaca: majikan) menjadi sebuah hubungan profesional karyawan dan bos. Namun dahulu yang terjadi tidak demikian. Lupus, Pak Ageng dan saya sendiri mengalaminya.
Kalau mau sedikit berteoritis (dan sok tau tentunya) hal ini bisa jadi disebabkan oleh perbedaan kelas sosial yang semakin terlihat. Kelas menengah di dekade 80, 90-an jelas berbeda dengan kelas menengah saat ini. Di dekade itu kelas menengah adalah mereka-mereka yang meretas jalan sukses ekonomi menuju perkotaan. Kelas menengah yang mempekerjakan pembantu adalah juga mereka yang berasal dari desa si pembantu itu. Ibu saya misalnya mengambil pembantu dari daerah di sekitar Solo, di mana kampung halamannya berada. Pakde saya biasa mempekerjakan pembantu dari Magelang, sebuah kota satelit Yogyakarta. Pada akhirnya ada sebuah kedekatan kedaerahan yang begitu kental disini. Meski relasi gaji dan digaji tetap ada namun masih ada rasa perkawanan. 
Yang terjadi kemudian dengan sulitnya mobilitas sosial saat ini maka kelas menengah yang hadir saat ini bukan seperti saat dekade 90-an. Melainkan mereka yang dilahirkan dari kelas menengah sebelumnya. Akhirnya mereka kemudian mempekerjakan pembantu dari biro agen pembantu atau biro sejenisnya. Pun demikian perlakuan terhadap pembantu menjadi sangat berbeda. Pembantu di bagian belakang rumah, identik dengan dapur kotor dan beragam pekerjaan kasar. Mengobrol dengan pembantu tak lagi menjadi sebuah ritual yang mengasyikan karena seperti ada jurang terjal pemisah dalam topik obrolan. 
Dengan kenyataan seperti itu relasi pembantu majikan pun berubah dari Affilitive Style menuju Coercive Style. Oke mungkin saya sedikit sok berat tadi. Konsep ini seperti diungkapkan Wimar Witoelar penting dalam ilmu manajemen. Affiliative style adalah manajemen yang mengutamakan harmoni, kerja sama dan rasa nyaman. Manusia nomor satu, kalau perlu tugas menjadi nomor dua. Sedangkan Coercive style adalah manajemen dengan gaya paksa untuk mendapat hasil terbaik. Di sini komunikasi berjalan satu arah dan pimpinan ingin anak buah bekerja persis seperti yang diintruksikan. 
Perubahan relasi pembantu majikan dan pembantu dari Affiliative ke Coercive bukan perkara sepele menurut saya. Sebab kini pembantu jarang dipandang sebagai bagian integral dari keluarga. Jika dalam ranah terkecil yakni rumah saja kita tak lagi menempatkan manusia sebagai yang utama, maka bagaimana dengan hal yang lebih besar. Wajar rasanya jika kemudian banyak orang berlomba-lomba mencapai hasil maksimal dan mencoba menyingkirkan pihak lain asal tujuannya tercapai. Coba kita ingat lagi romantisme ketika pembantu menjadi bagian integral di rumah. Sebenarnya ia tak hanya membantu kita mengerjakan tugas rumah, melainkan juga membantu mengajari menjalin sebuah relasi hangat tanpa sebuah batas strata sosial.
Tulisan ini sebenarnya sudah lama ada namun baru ada niat menyelesaikan setelah kepikiran di rakaat ketujuh shalat tarawih. Anda jadi tahu bukan sekhusuk apa shalat saya 😀

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: