Sidekick

Urip mung mampir ngejus

oleh: Ardi Wilda

Tiga hari ini saya berusaha menyelesaikan sebuah buku berjudul “A9ama Saya Adalah Jurnalisme” karangan Andreas Harsono. Sekedar catatan kecil, A9ama memang ditulis A9ama bukan agama di buku itu, angka 9 merujuk pada sembilan elemen jurnalisme yang dikemukakan oleh Bill Kovach. Saya harus menyelesaikan buku ini cepat-cepat karena sudah diminta oleh si pemilik buku yakni rekan saya, Dwi, untuk dikembalikan. Buku ini amat menarik perhatian saya. Gaya bertutur Andreas yang khas dan terasa sangat dekat membuat buku (yang semestinya dibaca oleh setiap mahasiswa konsentrasi jurnalistik) mengasyikkan dan tak membuat kepala pening. 
Dari semua artikel di buku, ada satu artikel yang sangat menarik perhatian saya yakni sebuah tulisan yang membahas mengenai byline. Istilah byline memang kurang begitu populer. Mengutip Andreas di buku itu, byline berasal dari kata “by” (oleh) dan “line” (baris) yang merujuk kepada sebuah baris dekat judul cerita di mana terdapat nama orang yang menulis cerita itu. Masih mengutip Andreas, byline dipakai pertama kali tahun 1850-an oleh Charles S. Taylor yang kemudian menjadi publisher harian The Boston Globe. Dia memutuskan menaruh nama para wartawannya pada berita-berita yang diterbitkan harian tersebut yang kemudian membuat para wartawan di Boston Globe lebih berhati-hati dalam laporan mereka. Contoh byline sederhana misalnya begini. “Polisi Kolombia Tangkap Nazaruddin” (Judul) oleh Lupus Zakaria (byline). Dituliskannya Lupus Zakaria disebut byline karena merujuk pada nama lengkap si penulis, bukan inisial LZ pada akhir artikel misalnya. 
Artikel Andreas lebih membahas pada kritiknya terhadap media besar di Indonesia yang tak mencantumkan byline. Kebanyakan media di negeri ini hanya menaruh sebuah inisial nama wartawan pada akhir artikel. Padahal banyak keuntungan yang akan didapat dengan pencantuman byline dalam sebuah artikel. Mulai dari tanggungjawab wartawan yang semakin besar sampai pada kepentingan pembaca media itu sendiri. 
Sebagai perbandingan sederhana saja, media besar di Indonesia sudah menuliskan kredit untuk sebuah karya foto yang diterbitkan. Menurut Alexander Supartono yang pernah menulis artikel sejarah fotografi di negeri ini (lihat Kompas, 5 Januari 2008 di Rubrik Bentara) mengatakan bahwa tradisi dituliskannya nama fotografer pada sebuah karya foto dimulai pada awal 1990-an. Sejak era itu setiap foto di media massa yang terbit di negeri ini menyertakan kredit nama fotografernya, ingat namanya, bukan sekedar inisial namanya. Kredit pada foto itu sebenarnya sama saja dengan byline pada penulis. Sayangnya byline tak serta merta ada di artikel dalam media besar di Indonesia tak seperti penyertaan kredit foto. 
Apa yang dikemukakan Andreas menjadi menarik karena secara personal saya benar-benar terbantu oleh byline. Sebagai orang yang sedang belajar menulis di beberapa media saya sangat terbantu dengan adanya byline sebagai sebuah media belajar. Ada banyak keuntungan yang saya dapat dari byline yang terkesan sederhana bagi banyak orang. 
Contoh sederhananya begini, saat menjadi seorang kontributor media musik tentu saja saya harus mempelajari karakter media tersebut. byline adalah pertolongan pertama buat saya. Di majalah tempat saya mengkontribusikan tulisan untungnya setiap artikel dibekali dengan byline sehingga membantu mengenali karakter setiap wartawannya. Sederhananya seperti ini, tulisan seorang Soleh Solihun dengan Wendi Putranto tentu berbeda jauh. Karena latar belakang (field of experience) yang berbeda hasil tulisannya pun berbeda. byline akan sangat membantu mengenal karakter masing-masing orang tersebut. Bayangkan kalau tidak ada byline, mana saya tahu ini tulisannya si A dan ini tulisannya si B. Dengan byline jelas jadi terang ini tulisan si A dan ini tulisan si B. 
Lantas apa untungnya setelah tahu ini tulisan si A ini tulisan si B. Bagi saya jelas banyak sekali keuntungannya. Dengan mengetahui penulis artikel tertentu kita akan mengetahui karakter tulisannya. Mengetahui karakter tulisan maka kita akan bisa “mengimitasinya”. Untuk kemudian setelah diimatasi kita kreasikan dengan cara sendiri. Bukankah alur kerja kreatif selalu seperti itu yakni pelajari, tiru dan kreasikan. Kreasi dibutuhkan karena kembali lagi setiap orang punya latar belakang berbeda sehingga meniru tak mungkin bisa dilakukan terus menerus karena masing-masing orang punya keunikannya sendiri-sendiri. 
Kalau ingin lebih mengasyikkan cobalah cara yang pernah saya lakukan untuk mengetahui karakter seorang penulis majalah yang anda suka. Belilah beberapa edisi majalah yang anda suka. Baca sampai habis dan kenali siapa penulis tiap-tiap artikel melalui byline tentunya. Setelah itu belilah edisi terbaru majalah tersebut dan suruh teman anda menutup byline dengan selotip. Lantas cobalah tebak siapa penulis dari masing-masing artikel, pasti jawaban anda bisa jadi seratus persen benar. Karena gaya menulis setiap orang tentu berbeda dan byline sangat membantu mengenali perbedaan sekaligus kekayaan dari tiap penulis. 
Keuntungan lain yang saya rasakan dari byline adalah merasa lebih dekat dengan media dan tentunya si penulis tersebut. Saya dulu bahkan berlangganan U Magazine (majalah gaya hidup keluaran Tempo) karena hanya ingin membaca artikel dari Avianti Armand, seorang kolumnis arsitektur di majalah itu. Dengan adanya byline memungkinkan setiap pembaca mengidolakan sosok wartawan tertentu. Bagi saya hal ini akan sangat menguntungkan si wartawan. Ketika tulisannya turun dari standar yang biasa ia kerjakan maka sang pembaca royalnya akan meninggalkannya perlahan-lahan. Secara tidak langsung pembaca menjadi semacam pengawas disini. 
Dalam kasus foto misalnya, semenjak diperkenalkannya kredit foto maka masyarakat mulai mengenal fotografer tak hanya Kartono Riyadi seorang. Tentu saja bukan serta merta kredit foto membuat masyarakat jadi melek fotografi misalnya. Namun ini seperti bola salju dimana pada dekade 90-an iklim fotografi memang bergeliat dengan dibukanya Departemen Fotografi di Institut Kesenian Jakarta pada 1992, didirikannya Galeri Foto Jurnalistik Antara dan dibukanya Departemen Fotografi di ISI Yogyakarta. Artinya kredit foto hadir ketika masyarakat memang mulai merasakan menganggap fotografi sebagai sesuatu yang penting. 
Hal berbeda terjadi dengan byline menurut hemat saya. Ketika arus informasi bagai sungai yang terus mengalir dan sulit dihentikan justru masyarakat seperti tak pernah diberitahu siapa pembuat informasi tersebut. Seharusnya ketika masyarakat mulai menggunakan beragam medium untuk mengakses informasi adalah hal wajar jika byline dihadirkan agar mereka bisa tahu mana wartawan yang menurut mereka berkompeten dan menarik tulisannya. 
Secara pribadi saya juga pernah merasa sangat terbantu dengan adanya byline. Saya ingat waktu itu ada seorang mahasiswa jurusan Sejarah UGM, yang kini menjadi teman saya bernama Dimpil menghampiri saya dalam sebuah acara. “Ardi Wilda ya? Aku sering baca tulisanmu mas,” tuturnya pada saya. Jujur saya senang, mengutip kata Mbak Hayu, mantan pemimpin redaksi BulaksumurPos UGM tak ada yang lebih menyenangkan bagi penulis selain saat tulisannya dibaca. Nah di momen ini saya mendapat bonus plus selain tulisan saya dibaca, orang ini juga mengenal saya, hal ini disebabkan karena media dimana saya menaruh tulisan menyertakan byline. Tentu saja selain senang juga ada perasaan menjadi lebih bertanggungjawab atas tulisan yang saya kerjakan. Akhirnya dari obrolan singkat ini kami sekarang berteman, bahkan Dimpil pernah menggantikan saya dalam sebuah liputan. Bermula dari byline sebuah hubungan antara penulis dan pembaca bisa menjadi begitu cair dan bersahabat. 
Akhirnya saya hanya bisa mengamini apa yang diharapkan oleh Andreas Harsono yang mengharapkan media-media di Indonesia mencantumkan byline di tiap artikelnya. Banyak keuntungan yang didapatkan dari pencantuman byline di sebuah artikel. Maka tak ada alasan sebenarnya sebuah media tidak mencantumkan nama penulisnya. Oh iya di postingan kali ini saya juga menyertakan byline, silakan lihat dibawah judul. 
*terimakasih untuk Dwi yang sudah bersedia meminjami bukunya Mas Andreas Harsono ketika saya tak punya uang untuk membelinya. Mengutip slogan Tempo ini enak dibaca dan perlu wi, dibaca donk jangan cuma beli :P. O iya bacanya sambil denger-dengerin lagu macem-macem Stone Temple Pilots atau Tegan and Sara gitu wi, akan lebih asyik.

7 thoughts on “Bermula Dari Byline

  1. zulfiifani says:

    By line juga sudah lebih awal dipakai utk pembuatan film dokumenter, we. Benar juga agar berhati2 para filmmakernya.

    Liked by 1 person

  2. Ardi Wilda says:

    byline dalam dokumenter dipake pas bagian mananya fi?

    Like

  3. fotodeka says:

    woohh pembatasku ojo kowe pindah!!!! *siapin toolbox*
    aku rung rampung kui

    Like

  4. Ardi Wilda says:

    pembatas apa wi? *siapin kunci inggris*

    Like

  5. rocky says:

    iki buku terakhir e asep sek dituku nang jogja, hhehe*penting bgt komen ku, wkwkwk

    Like

  6. Ardi Wilda says:

    iki kudune dadi bacaan wajib cah jurnal, duduk bukune dosen favoritmu kae 😛

    Like

  7. mas Ardi Wilda, kata temen anak bahasa Indonesia, jika sudah pakai kata “Oleh”, tak perlu lah menggunakan tanda petik ( ” )… karena tanda petik sudah menunjukan “oleh” seperti pada kata “penulis: ardi wilda”… *lirik byline tulisan ini… :))

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: