Sidekick

Urip mung mampir ngejus


/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
Sambil menunggu waktu antara Sholat Isya dan Tarawih saya membalas sebuah pesan pendek dari seorang rekan wanita saya. Di pesan pendeknya ia iseng bertanya saya sedang dimana. Saya menjawab sedang menyendiri di masjid sambil ngobrol sama Tuhan. Dia pun membalas lagi, “Wah lama ndak ke rumah Tuhan, salam ya buat Tuhan,” ketiknya di pesan pendek. Saya kemudian membalas, “Kata Tuhan ndak usah sering-sering ke rumahnya ndak apa-apa yang penting berbuat baik aja.” Balas membalas pesan pendek kami pun berakhir. 
Tepat ketika saya hendak membenarkan posisi duduk saya, tiba-tiba seorang tak dikenal datang. Dia merapatkan diri di samping saya tanpa berkata apa-apa. Tanpa pikir panjang dia mengambil sebuah buku yang saya taruh di atas tas saya. Tas punggung memang saya letakkan di depan agar dapat saya lihat ketika sholat. Buku saya taruh di atas tas karena saya belum sempat memasukkannya sehabis membaca sambil menunggu waktu Isya tiba. 
Pria berkopiah putih itu merebut buku itu begitu saja, menggemgamnya, melihat judulnya dan kemudian bersikap sangat merendahkan. Ia menertawakan buku saya sambil bergumam melecehkan. Kemudian ia menatap saya lamat-lamat seperti seonggok bangkai yang tertinggal di masjid. Pria berkopiah ini agaknya sedang menghina dan menilai saya dari buku yang saya baca.
Buku itu berjudul “Jurnalisme Sastrawi”, sebuah antologi liputan jurnalisme mendalam yang diterbitkan oleh Yayasan Pantau. Beberapa jurnalis terbaik negeri ini ikut berpartisipasi dalam sini, sebut saja Andreas Harsono, Linda Christanty, Eriyanto dan Coen Husein Pontoh. Bagi saya peliputan yang masuk dalam antologi ini bisa dibilang magnum opus kerja jurnalistik mereka. 
Kemarin saya ditertawakan karena buku ini. Ia merasa tak pantas membaca buku seperti ini di masjid. Bagi saya sebuah alas an yang sangat aneh. Lantas saya harus membaca apa di masjid? Al Quran semata? Hmmm….
Saya sedih mengetahui buku ini dianggap tak pantas dibaca di masjid. Padahal kalau kita mau meluangkan waktu sedikit di buku ini banyak terdapat nilai-nilai humanis seperti yang disampaikan pak ustad di mimbar sana. Eriyanto misalnya membuat peliputan mengenai konflik Ambon tanpa sebuah keberpihakan pada sebuah golongan. Atau bagaimana Linda merangkum sebuah cerita mengenai pemulung yang dibakar hidup-hidup dan mengaitkannya dengan budaya kekerasan yang terjadi pasca orde baru. Jika masjid adalah tempat kita berbagi bersama Tuhan, berbincang dengannya tentang hal-hal di sekitar kita maka kenapa buku ini dilarang untuk sekedar dibaca di Rumah Tuhan. 
Di tempat ini beberapa hari yang lalu, ketika Din Syamsuddin memberi ceramah ia mengatakan umat Islam tertinggal dalam hal pengetahuan. Jumlah ilmuwan umat Islam sangat sedikit dibanding agama lain (walau saya tak suka tipe perbandingan seperti ini) namun di situ terlihat bahwa kita butuh sebuah pengetahuan lebih. Kalau menggali pengetahuan di Rumah Tuhan saja tidak diperkenankan saya tak tahu apa yang akan terjadi. 
Saya teringat pada sebuah kisah di Novel Negeri Lima Menara. Saat itu sang tokoh utama dibawa berkeliling Pesantren Madani, tempatnya menuntut ilmu. Ia dibawa dan dijelaskan mengenai kegiatan ekstrakulikuler musik, olahraga, sampai teater. Ia pun bertanya pada sang pemandu tur, lantas bagaimana dengan kegiatan keIslaman? Sang pemandu tur menjawab bahwa ke-Islaman tertanam di tiap aspek kegiatan. Kegiatan keislaman bukan berarti sekedar melakukan pengajian dan sejenisnya. Melainkan lebih dari itu adalah sebuah sikap untuk menghayati ajaran tersebut dalam setiap tindak tanduk keseharian. 
Tiba-tiba rekan saya kembali mengirim pesan pendek sekedar untuk berbagi kabar tidak jelas dan remeh temeh.  Mungkin ia akan semakin malas ke Rumah Tuhan kalau saja tahu bahwa sebuah buku yang dianggap tak religius jadi perkara disini. Ah tapi tadi kan “Tuhan” berpesan agar tak terlalu merisaukan main ke rumahnya, yang penting berkelakuan baik saja. Kalau saja Rumah Tuhan lebih menyenangkan boleh jadi teman saya dan banyak orang lain akan lebih senang bermain di sini.  

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: