Lebih dari tiga bulan ini saya telah melepaskan status sebagai mahasiswa. Mengasyikkan rasanya menjadi orang bebas. Tapi diantara beberapa hal yang mengasyikkan, salah satu hal yang paling mengasyikkan adalah memandang mahasiswa dari sudut pandang orang luar. Memandang dalam arti melihat geliat mahasiswa saat saya tak lagi menjadi bagian darinya. Tentu saja hal ini terbantu oleh kedekatan saya dengan teman-teman yang masih berstatus mahasiswa.
Beberapa hari lalu seorang rekan saya, Andrea, mahasiswi Fakultas Ekonomi mengobrol panjang dengan saya via Yahoo Messengger. Di satu titik kami berbincang seputar dua kajian kami, dia dengan ekonominya, saya dengan komunikasi. Saya membuka perbincangan dengan mengatakan bahwa saya baru membaca-baca lebih dalam mengenai Mafia Berkeley. Itu adalah sebutan bagi para tokoh ekonomi di zaman orde baru yang berasal dari University of California, Berkeley di negeri Paman Sam sana. “Gila ya Ndre, gw baru sadar kekuatan ekonomi pengaruhnya gede banget,” ketik saya saat itu. Kami kemudian membahas mengenai kasus Century. Dari perspektif komunikasi menurut saya isu ini dibentuk oleh kekuatan media dan menurut Andrea bailout Century memang harus dilakukan dalam kondisi seperti itu. Kini saya hanya bisa tertawa geli, kami yang biasa meributkan soal setlist band apa yang belum kami miliki kini membahas Century.
Saat itu kami berbincang hal-hal besar yang mungkin akan dianggap menjemukan. Tapi kami juga menyisipkan tema-tema kecil mulai dari Andrea yang memutuskan mundur dari dunia menonton konser. Sebelumnya ia sempat mendapat predikat Ratu Gigs dari teman-temannya karena selalu setia menonton pertunjukan musik. Alasannya ia merasa sudah selesai dengan itu dan ingin fokus pada hal lain, yakni membantu penelitian-penelitian yang dilakukan dosennya.
Ah perbincangan saya dan Andrea tadi terasa terlalu berat rasanya. Jangan bayangkan kami berdua adalah kutu buku atau aktivis kampus yang berkeringat di bawah terik matahari. Kami tetaplah pemuda-pemudi generasi Y, generasi yang menurut Diani Savitri adalah generasi yang dibidani oleh inovasi teknologi dan industri komersial. Kami tumbuh dengan menjadikan teknologi sebagai bagian dari identitas kami. Ya saya akan mengupload tulisan ini di blog, mengetiknya sambil mendengarkan ipod dimana lagunya saya unduh dari netlabel dan tulisan ini hadir dari perbincangan di YM, adakah yang bisa membantah kami bukan bagian dari generasi Y?
Perbincangan dengan Andrea mengingatkan saya pada sosok Ker. Saya dan Andrea seperti tokoh Ker, ia adalah seorang penulis dalam buku, Soe Hok Gie…Sekali Lagi. Ker adalah nama alias dari Sunarti, seorang wanita yang sangat dekat dan kerap disebut Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran (terimakasih atas pemikiran ciamik di blog Mas Yus Ariyanto, yang banyak saya kutip disini). Dalam Soe Hok Gie…Sekali Lagi, Ker bercerita mengenai bagaimana dia menjadi bagian dari orang yang terinspirasi oleh Gie. Di situ Ker menulis sebuah surat yang sangat puitis untuk Gie, “Saya tahu kalau kamu terheran-heran melihat makhluk seperti saya, pinternya pas-pasan, malas belajar, suka dansa dan musik rock and roll”.
Tapi ternyata Gie tak kaget dengan hal itu (mengutip Mas Yus Ariyanto) Gie dalam esainya di “Mimpi-Mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua” menulis sesuatu yang sangat menarik untuk orang dengan kepribadian seperti dirinya. Gie menulis mimpi terbesarnya adalah mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Saat kuliah, mereka datang ke kelas meski terkadang membosankan. Di masa ujian mereka serius membaca di perpustakaan. Tapi mereka perlu juga berorganisasi, berkesenian atau mendaki gunung.
Tentu ucapan Gie berlawanan dengan ucapan Bung Karno. Mengutip tulisan Budi Setiyono mengenai Koes Plus di buku Jurnalisme Sastrawi. Dalam pidato peringatan 17 Agustus 1959 Bung Karno dengan lantang bertanya, “Kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih suka rock-‘n-roll-rock-‘n-rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan?
Pemikiran dan pidato Bung Karno mengingatkan saya pada mahasiswa yang kerap turun ke jalan. Meneriakkan slogan-slogan besar mulai dari tolak kapitalisme, anti neo-lib atau jargon-jargon lain yang tak terjangkau otak saya, Andrea maupun Ker. Pidato ini juga mengingatkan saya pada mereka yang berada di pojok-pojok kampus lewat jubah berbasis agama. Mereka yang seperti ingin menyatakan barat bersinonim dengan haram.
Saya kemudian tersadar betapa beruntungnya saya dan Andrea (gw yakin lo juga merasa beruntung Ndre) sebagai mahasiswa. Saya yang tertidur saat mata kuliah penulisan berita, kehabisan buku di perpus dan harus merana saat ujian, tertawa bersama teman-teman untuk hal-hal kecil dan meminjam istilah Bung Karno bernyanyi bersama dalam pergelaran rock n roll-an.
Kalaupun ada satu hal yang tidak saya penuhi untuk menjadi mahasiswa impian Gie yakni menjadi “mahasiswa yang biasa-biasa saja” maka hal itu adalah saya kurang membaca. Saya menyesal tak banyak membaca buku. Percayalah Ndre, senjata utama mahasiswa adalah buku dan pena, eh maaf karena kita generasi Y senjata utamanya bisa jadi google dan keyboard. Oh iya Ndre, di akhir kisah Ker menjadi seorang doktor meski dia suka rock n rollan, seperti salah satu impian lo kan?
*tulisan ini dibuat karena kemarin Andrea menyuruh saya membaca tulisan-tulisan lama yang ia buat. Kata dia tulisan itu jejak kehidupan yang hampir sempurna. Tapi setelah saya cek ternyata ia lama tak menulis, ini semacam hadiah agar dia kembali semangat menulis.