Belakangan ini saya dan seorang rekan saya Daniel kerap membahas permasalahan sepele seputar penampilan. Saya sedang gemar sekali memadukan Sweater dengan kemeja, seperti yang dilakukan Rivers Cuomo saat album Red atau Blue (maaf sedikit lupa) sedang naik. Daniel ingin sekali memiliki setelan kemeja yang dipakai Daniel Craig di majalah Esquire. Dari obrolan-obrolan seputar penampilan itu kami kemudian sadar selera kami sudah bergeser jauh dengan selera berpakaian ketika mahasiswa dulu.
Jika diperhatikan selera kami selalu merujuk pada “Kemeja”. Kami selalu membahas sebuah pakaian dengan beberapa kancing dan berujung pada sebuah kerah yang biasa disebut “Kemeja”. Dulu saya adalah orang yang senang sekali memakai kaos polos ala dalaman baju Lupus, sementara Daniel dengan baju-baju dengan tipe sablonan sederhana. Kini entah bagaimana akarnya kami selalu tertarik dengan kemeja.
Saat midnight sale di sebuah pusat perbelanjaan fakta ini kembali mencuat. Kami melewatkan semua gerai yang menjual kaos dan mengamati dengan seksama semua gerai yang menjual kemeja. “Wes ra wayah e kaosan nowo yo (Sudah bukan jamannya lagi kaosan mungkin ya?)” kata Daniel mencoba menyimpulkan fakta ini. Namun buat saya pergeseran referensi gaya berpakaian ini tak sesimpel bukan waktunya lagi kami memakai kemeja.
Dalam sebuah tulisan mengenai proses penulisan kreatifnya Arswendo (maaf saya lupa judul buku dimana artikel ini dimuat) sedikit mengangkat masalah kemeja ini tanpa sengaja. Saat itu ia menceritakan bahwa ia bergaya slengean agar tampak seperti para penulis dan seniman. Rambut gondrong, kaos tak karuan atau dengan kata lain sangat bohemian, ia rasa akan membuatnya tampil laksana seorang penulis ulung. Namun ia kemudian dikejutkan oleh sebuah fakta kecil.
Saat ia menemui beberapa penulis besar seperti Budi Darma dan Sapardi mereka sama sekali tak berdandan seperti yang dibayangkan Arswendo. Mereka malah tampil rapi dengan kemeja, rambut yang rapi, jauh dari kesan penulis yang dibayangkan Arswendo. Tak ada yang salah dengan sangkaan Arswendo, kalau kita amati karya Budi Darma dan Sapardi boleh jadi kita akan berpikir serupa dengan Arswendo.
Kekagetan Arswendo muncul karena dua penulis besar itu memakai kemeja, sehingga tampak sangat rapi. Ada dua hal menarik disini, pertama adalah kenyataan bahwa kemeja identik dengan kerapian dan kedua kemeja tak cocok dengan pekerjaan yang berbasis kesenian seperti penulis. Anggapan pertama bahwa kemeja identik dengan kerapian tak bisa terbantahkan, bahasa sok pinternya taken for granted. Tapi anggapan kedualah yang menurut saya menarik untuk dibicarakan.
Ketertarikan saya pada anggapan kedua mengenai kemeja muncul pertama kali saat saya akan sidang skripsi. Karena peraturan kampus (sepertinya) mewajibkan seorang mahasiswa yang akan disidang harus berpakaian rapi kemeja putih lengan panjang dan celana kain maka saya tak bisa membantahnya. Tampil rapi memang keharusan di sidang skripsi namun saat mengemudi menuju kampus tetap saja lagu saya kurang “kemeja” sekali. Di perjalanan ke kampus saya mendengarkan The Brandals, tujuannya agar otak saya bisa mengeluarkan emosi saya di ruang sidang nanti. Maklum saat itu saya direncanakan disidang oleh dosen yang sangat sentimen dengan saya, selain takut di satu sisi saya juga ingin berdebat dengannya, ah dasar mahasiswa.
Kenyataan itu kemudian menyadarkan saya kalau kemeja hanyalah atribut semata. Dia bukan pembentuk kepribadian, ia hanya pemanis penampilan. Kepribadian kita tetap ada di diri kita, tetap ada pada apa yang kita baca, apa yang kita tulis, playlist di ipod kita dan beragam referensial lain yang membentuk diri kita. Kemeja sama sekali tak mengubah itu semua, ia hanya tampilan luar.
Dari situ dan dari apa yang dikatakan Daniel saya kemudian sadar mungkin memang setiap laki-laki pada akhirnya harus berhadapan dengan kemeja. Namun bukan berarti menanggalkan kepribadian personalnya di kemeja. Sebagai akuntan Cholil ERK saya rasa berpakaian kemeja setiap hari namun karyanya jauh dari unsur birokratis. Atau coba perhatikan cover album We Are Scientiest dimana mereka memakai kemeja sambil memegang kucing, mereka semua rapi tapi lagunya tak kalah mengasyikkan ketimbang Kaiser Chiefs yang tampil sedikit lebih urakan.
Seperti layaknya Arswendo dulu saya kerap mengutuk orang yang tampil rapi berkemeja dengan menganggap mereka orang yang serius dan tak menyenangkan. Kini saya rela mencabut omongan saya itu. Bagi saya kemeja juga bisa mengasyikkan. Atau jangan-jangan saya dan Daniel memang sudah beranjak tua? Saya rasa tidak, saat selesai melihat-lihat kemeja kami masih menyempatkan menonton video klip teranyar The Kooks sambil membahas hal-hal seputar twenty something.
*diiringi lantunan lagu Roadsinger dan Midday (Avoid The City Dark) dari Yusuf Islam. Hai para penyanyi religi belajarlah pada Yusuf Islam (Oh iya bisa jadi postingan berikutnya akan bercerita mengenai Yusuf Islam)
http://alwanrosyidi.blogspot.com/2011/08/kenapa-saya-memakai-kemeja.html
LikeLike