“Papa, binatang apa yang waktu lahir langsung gede?” Pria berusia tiga puluhan tahun itu hanya tersenyum manis melihat pertanyaan anaknya. “Ah payah Papa enggak tahu, jawabannya Burung Kakaktua Pa,” tutur sang anak sambil menggenggam sebuah buku tebak-tebakan humor. Saya menemui mereka kemarin sore tepat saat hari lebaran di Toko Buku Gramedia Ambarukmo Plaza. Saat itu saya sedang mampir karena ingin menyaksikan film Lima Elang di bioskop. Sang anak datang bersama kedua orang tuanya yang ia sapa dengan sebutan Papa dan Mama. Ia juga didampingi oleh neneknya yang berusia sekitar enam puluhan tahun. Senang rasanya melihat keluarga kecil ini bercanda dan tertawa bersama lewat lelucon yang dikeluarkan sang anak melalui buku tebak-tebakan humor.
Sore itu saya sendiri. Mungkin itu entah sore di lebaran ke berapa saya sendiri. Kata orang lebaran adalah masa berkumpul keluarga, bagi saya tidak. Sudah tiga tahun ini (kalau saya tidak salah hitung) saya terbiasa lebaran sendiri. Keluarga inti saya memilih berlebaran di Jakarta sementara saya memilih di Jogja. Saya tak pulang karena alasan sederhana, toh nantinya bapak ibu saya akan pulang mudik ke Jogja, saya malas harus macet-macet di jalan untuk mudik. Maka jadilah lebaran ini saya kembali sendiri.
Sebenarnya saya tidak sendiri juga. Saya selalu berlebaran dengan keluarga pakde bude saya. Tempat dimana saya menghabiskan lima tahun kehidupan saya di Jogjakarta. Kemarin pagi adalah lebaran terakhir saya bersama mereka. Saat acara bermaaf-maafan pakde saya berpesan agar saya tak lupa sholat sekaligus mendoakan agar saya sukses setelah meninggalkan Jogja. Sementara bude saya berpesan hampir sama dengan ditambahkan agar saya jangan melupakan rumah Jogja setelah saya pergi meninggalkan kota ini.
Mata saya hanya bisa berkaca-kaca mendegar pesan mereka berdua. Buat saya mereka berdua adalah orang tua saya selama lima tahun ini. Mereka yang memberi makan saya, mereka yang memberi saya tempat tidur dan bertanya ala tipikal orang tua seperti, “Gimana kuliahnya?” “Mau kerja dimana?” dan pertanyaan tipikal lainnya.
Setelah acara bermaafan seperti itu maka kontan selama tiga tahun ke belakang saya sendirian. Bude Pakde saya akan berkeliling ke kerabatnya. Anak-anak mereka akan menemui mertuanya masing-masing. Sementara Bapak Ibu saya belum sampai di Jogja. Orang tua saya terbiasa mudik setelah selesai sholat Id. Maka saya biasanya akan bertemu mereka lebaran kedua atau bahkan ketiga. Tak ada masalah dengan hal itu buat saya, toh saya juga bukan seorang tipikal familyman. Kegemaran dan referensi saya tentang apapun terlalu jauh dengan keluarga inti saya sehingga membentuk kepribadian saya sedikit berbeda dengan bapak, ibu dan keluarga inti saya yang lain. Tapi bukan berarti kami tak harmonis seperti tipikal keluarga di sinetron yang berantakan, kami baik-baik saja, sangat baik bahkan.
Namun saya berpikir sulit untuk menciptakan keluarga yang baik-baik saja di saat seperti ini. Lompatan teknologi dan budaya yang begitu cepat dalam dua dekade terakhir jelas mempengaruhi relasi dan interaksi di dalam keluarga itu sendiri. Orang tua seperti Gutenberg yang tak menemui mesin cetak melainkan bertemu sebuah alat cetak digital yang bahkan bisa mencetak hanya satu lembar kertas. Ada kegagapan menerima itu. Bagi sang anak menengok ke belakang juga perlu sebuah usaha. Ini bukan cerita tentang rekonsiliasi keluarga, ini cerita tentang bagaimana ada perbedaan diantaranya. Dan Gutenberg tentu tak akan marah menemui alat cetak digital, ia hanya kaget dibuatnya. Ada sebuah perasaan tak nyaman disana. Saya rasa hampir semua keluarga akan mengalami hal serupa.
Dari situ saya menjadi bertanya-tanya apa “Keluarga” bagi setidaknya saya pribadi? Jika keluarga adalah orang yang selalu dekat dengan kita maka saya masuk sebagai keluarga pakde dan bude saya. Atau saya akan menganggap teman-teman saya keluarga. Jika keluarga adalah mereka yang mendukung kita maka siapapun bisa menjadi keluarga, bukan hanya mereka yang menghabiskan opor ayam bersama kita di kala lebaran datang.
Saya bukan tipe orang yang akan menghabiskan waktu bersama keluarga sambil berbincang hangat seputar masalah-masalah kecil. Atau menghabiskan kudapan di ruang keluarga sambil menonton tv bersama. Buat saya menghargai keluarga bukan dengan begitu caranya. Keluarga adalah mereka yang akan menerima kita ketika kita lelah berkelana di luar. Mereka yang menerima kita ketika banyak lumpur dan kotoran dari perjalanan itu. Mereka yang tak masalah kita tak membawa apapun dari perjalan itu.
Ah itu tadi terlalu tipikal. Sinetron juga menggambarkan keluarga seperti itu. Buat saya keluarga adalah mereka yang berada di rumah kita. Tapi kita tak akan pernah tahu mana rumah kita sebenarnya. Rumah hanya akan kita ketahui ketika kita pergi jauh darinya. Seperti kata Dr. Lin Yutang (saya kutip dari Hifatlobrain) seorang penulis China yang berujar, “No one realizes how beautiful it is to travel until he comes home and rests his head on his old, familiar pillow”. Maka buat saya satu-satunya cara mengetahui keluarga adalah justru dengan meninggalkannya. Meresapi “keluarga-keluarga” lain di luar sana untuk kemudian menyandarkan tubuh kita pada dekapan sang ibu ketika kita lelah dengannya.
Saya jadi berpikir keluarga di Gramedia yang saya temui. Mungkin dua puluh tahun dari sekarang sang anak akan pergi entah kemana, sang ayah hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Tak ada lagi lelucon hewan apa yang lahir langsung gede. Ia hanya akan melihat lelucon itu menyeruak ke dirinya. Ia berubah jadi kakaktua yang besar, meninggalkan semua keramahan rumahnya. Menyapa teman baru, dan orang-orang baru yang akan ia jadikan keluarga kelak. Tapi seperti kakaktua yang senang bepergian ia akan selalu pulang ke kandang. Membaringkan kepalanya di pojokan kandang sambil bersenandung kecil. Di saat itu sang ibu dan ayah akan menyadari ia masih kakaktua kecilnya yang dulu, yang tak pernah berubah.
kakak tua asal e kan seko hutan w dudu kandang, emang doro ngomah nang gupon, wkwkwk
LikeLike
haha jamanku smp ono tonggoku ngingu kakatua kerep dilepas njuk bali meneh je rok, wkwkwk
LikeLike
Mas, kira-kira sama artinya dengan 'belum merasa hidup seseorang hingga dia merasa bosan hidup'?
LikeLike
maksud e piye kui ned? ra donk aku 😦
LikeLike