Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Spanduk Mohon Doa Restu Pembangunan Busway Koridor 11 (Pulo Gadung-Kampung Melayu). Pembangunan Halte Busway ini membuat Puluhan Pohon di Jalan I Gusti Ngurah Rai ditebang habis. 
Setelah lama meninggalkan Jakarta selama lima tahun untuk studi di Yogyakarta, saya kembali pulang ke Jakarta. Salah satu hal yang membuat saya benar-benar kaget adalah melihat perubahan yang terjadi di jalan I Gusti Ngurah Rai, Jakarta Timur. Rasa kaget saya bukan tanpa sebab, setelah lama tak melewati jalan ini jalan yang dulu asri ini tiba-tiba terasa amat gersang. Sebabnya adalah di jalan yang menghubungkan kawasan Klender dengan Jatinegara ini banyak sekali pohon yang ditebang. Tentu saja saya menjadi penasaran mengapa pohon-pohon ini ditebangi, setelah saya perhatikan baik-baik ternyata di jalan ini akan dibangun Busway Koridor 11.
Karena merasa pembangunan busway di jalan ini kurang tepat maka saya melakukan observasi sederhana selama satu hari mengenai masalah ini. Busway Koridor 11 akan menghubungkan Pulo Gebang – Kampung Melayu. Sebuah rencana yang sebenarnya cukup baik mengingat warga sekitar Klender, Pondok Kopi dan Pulo Gebang setiap hari pada pagi hari kebanyakan menuju daerah Kampung Melayu. Apalagi mengingat bahwa Kampung Melayu juga merupakan titik penting dalam Busway Koridor 5 (Ancol-Kampung Melayu) dan Koridor 7 (Kampung Melayu-Kampung Rambutan). Jelas dengan memberi akses pada warga masyarakat Klender ke Kampung Melayu akan membuat mereka mudah mengakses tempat lain di daerah Utara dan Timur Jakarta.
Sayangnya tujuan mulia tersebut saya rasa menjadi kurang efektif dan tak efisien baik dari segi ekologi maupun ekonomi. Pengamatan saya pertama adalah dari segi penghijauan kota. Menurut laporan Bataviase.co.id (sila liat disini) di koridor ini akan dibangun 19 halte dimana 3 diantaranya sudah dibangun dan 16 lainnya akan dibangun. Pembangunan halte disini patut menjadi perhatian karena setiap halte yang dibangun akan berefek pada penebangan beberapa pohon di jalan ini. Patut dicatat penghijauan pohon di Jalan I Gusti Ngurah Rai sebelum proyek ini dilaksanakan cukup baik. Pohon-pohon besar berhasil membuat jalanan ini begitu asri.
Pengamatan penulis melihat bahwa satu halte bisa mengorbankan lima sampai sepuluh pohon. Maka hitung-hitungan kasar mengatakan bahwa untuk membangun 16 halte baru akan ada sekitar  80 sampai  160 pohon yang ditebang. Jelas itu bukan jumlah yang sedikit. Belum lagi untuk halte besar seperti Halte Mal Klender yang dulunya lumayan asri kini pohon-pohonnya dibabat habis. Jelas angka pohon tersebut bukanlah jumlah yang kecil. Apalagi bila melihat kenyataan jenis pohon yang dibabat.
Secara iseng penulis mencoba bertanya pada seorang pedagang pepohonan di sekitar kawasan ini. Perlu diketahui sepanjang jalan I Gusti Ngurah Rai, khususnya antara Stasiun Klender Baru sampai Bioskop Buaran banyak sekali pedagang tanaman membuka lapak disana. Bapak Afandi, seorang pedagang tanaman yang membuka Toko Tanaman “Sidodadi” di Jalan I Gusti Ngurah Rai menjelaskan pada penulis pohon yang dibabat untuk pembangunan halte.
“Pohon-pohon yang ditebang buat halte pohon Asem Kranji mas, pohon langka itu sebenernya, sayang itu ditebang soalnya buat jadi gede kaya gitu butuh sampe dua puluh tahunan kali,” tutur Pak Afandi. “Asem Kranji itu sayang ditebang, selain langka mahal juga sebenarnya, lah yang dua meter aja harganya bisa sampe 50 ribu, eh ini malah ditebangin, kagak tau saya maunya gimana ini Busway,” katanya dengan sedikit logat Betawi.
Keluhan Pak Afandi jelas beralasan, pohon-pohon yang ditebang untuk pembangunan halte busway koridor 11 ini memang besar-besar. Tingginya berkisar sepuluh sampai lima belas meter. Dengan ukurannya tersebut maka pohon ini berhasil membuat I Gusti Ngurah Rai tetap sejuk bahkan saat siang menjelang.
Selain faktor pembabatan pohon yang membuat kawasan ini menjadi lebih panas dari biasanya alasan yang membuat pembangunan koridor ini tak relevan bagi saya adalah soal luas jalan. Jalan I Gusti Ngurah Rai bukanlah jalan yang besar. Ia hanya mengakomodir empat jalur, dimana dua jalur menuju ke arah Jatinegara sementara satu lagi menuju ke arah Pisangan atau Klender. Pembangunan koridor Busway akan membuat luas jalan disini semakin sempit yang tentu saja berimplikasi pada kemacetan yang semakin parah.
Saat saya SMA dulu, kemacetan di jalan ini sudah terbilang amat parah. Untuk menempuh jarak sekitar delapan kilometer dari rumah saya di Perumnas Klender ke Kebun Singkong (kini disini dibuat halte Busway bernama Halte SMA 12) dibutuhkan waktu sampai tiga puluh menit. Bayangkan berapa waktu yang harus saya tempuh sekarang jika koridor busway membuat jalanan menyempit.
Hal ini diperparah dengan Jalan I Gusti Ngurah Rai yang banyak sekali dilalui kendaraan umum semacam Metro Mini dan Koperasi Wahana Kalpika (KWK – atau lebih dikenal dengan Koasi) yang sering sekali ngetem (berhenti untuk menunggu penumpang penuh). Sebut saja Metromini 506 (Pondok Kopi – Kampung Melayu), Metro Mini 47 (Pondok Kopi – Senen) atau Koasi 25 (Pondok Kopi – Rawamangun) yang biasa dimaki pemakai jalan karena ngetem dan membuat macet jalanan. Jelas pepatah sudah jatuh tertimpa tangga akan berlaku di jalan I Gusti Ngurah Rai, jika jalanan semakin sempit karena pembangunan busway ditambah polah angkutan umum yang senang mengetem. Bukannya mengatasi masalah kemacetan bisa jadi Busway koridor ini memperparah kemacetan di kawasan ini.
Masalah berikutnya adalah soal ketidakefektifan pembangunan Busway koridor ini bagi saya. Alasan utamanya adalah karena di sepanjang jalan I Gusti Ngurah Rai sudah ada jalur kereta api KRL Jabotabek dari kawasan Pondok Kopi (stasiun Klender Baru) sampai stasiun Jatinegara. Bila dimanfaatkan dengan baik boleh jadi hasilnya akan lebih memuaskan ketimbang pembangunan koridor baru busway. 
Coba kita simak pendapat Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI, Udar Pristono mengenai Busway koridor 11 yang dimuat di Poskota.co.id (silakan lihat disini). Ia mengatakan anggaran yang disiapkan untuk pembangunan koridor ini mencapai sekitar Rp 180 miliar. Sedangkan bus yang dibutuhkan ada 44 bus gandeng. Diperkirakan dari koridor ini bisa mengangkut sekitar 30 ribu penumpang perhari di Jakarta Timur dan sekitarnya.
Tentu diperlukan studi lebih lanjut mengenai perbandingan efektifitas Kereta Commuter dengan Busway Koridor 11. Namun saya sempat melakukan observasi kecil ke Stasiun Klender Baru. Dalam jadwal yang tertera disana terlihat bahwa kereta Commuter dari Klender Baru sampai Jatinegara (jalur yang juga dilalui oleh Busway Koridor 11) memiliki selang waktu kedatangan sepuluh sampai lima belas menit. Di pagi hari misalnya kereta tiba di Klender Baru pukul 05.26, untuk kemudian ada lagi pukul 05.46; 06.22; 06.28; 06.36; 06.58; 07.11 misalnya. Dari jadwal itu pula saya mendapat informasi bahwa lama waktu perjalanan dari Klender Baru ke Jatinegara sekitar sepuluh sampai tiga belas menit.
Kini coba bandingkan keduanya, Busway Koridor 11 dengan Kereta Commuter. Jelas secara daya angkut kereta lebih banyak mengangkut penumpang ketimbang Bus Transjakarta. Secara waktu kedatangan terus terang Busway sangat mengecewakan, coba kita lihat antrian di Halte Harmoni, Dukuh Atas atau Senen yang sangat mengular karena bus kerap telat datang. Kereta Commuter juga bukan seperti kereta Singapura yang datang tepat waktu, namun membenahi jadwal berangkat dan tiba sebuah kereta nampaknya lebih mudah dilakukan karena ia tak perlu bersaing dengan kendaraan pribadi seperti pada kasus Busway misalnya. Juga perlu dicatat waktu tempuh yang lebih cepat Commuter ketimbang Bus Transjakarta. Harusnya melihat fakta sederhana itu, hitungan bodoh saya mengatakan alokasi dana sebesar 180 miliar akan lebih efektif jika digunakan untuk pembenahan kereta di jalur Klender Baru dan Jatinegara ketimbang membangun sebuah proyek busway yang banyak berefek negatif.
Sebagai seorang warga yang setiap hari melintasi jalan I Gusti Ngurah Rai saya merasa pembangunan Busway Koridor 11 amat sia-sia dan tak relevan. Pembangunan ini tak melihat kondisi di lapangan secara bijak. Hilangnya penghijauan karena pembabatan pohon untuk halte, luas jalan yang kecil, masalah angkutan umum ngetem yang semestinya dibenahi sejak dulu dan pengefektifan Kereta Commuter semestinya menjadi pertimbangan-pertimbangan sebelum membuat koridor ini. Sebagai pengguna jalan ini saya hanya mau melihat pepohonan asri sambil menikmati jalan yang tak macet. Tapi karena pembangunan busway koridor ini bisa jadi saya akan terjebak macet sambil melihat gambar salak di badan Bus Transjakarta.

Foto-foto 

Kondisi Asri di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Jakarta Timur terjadi karena penghijauan. Bukan tak mungkin proyek Busway koridor 11 justru akan menghilangkan penghijauan di kawasan ini.

Untuk mendirikan halte Busway Koridor 11 banyak pohon kawasan I Gusti Ngurah Rai yang ditebang.

Selain menebang pohon untuk mendirikan halte, proyek pembangunan busway koridor 11 juga membuat ruas jalan I Gusti Ngurah Rai lebih macet dari biasanya.

Pembangunan Halte Kampung Sumur misalnya berefek pada penebangan pohon untuk dialihfungsikan menjadi lahan bagi pembangunan halte.
Daerah sekitar kawasan Mal Klender adalah salah satu daerah yang banyak terkena efek dari pembangunan Busway Koridor 11. Terlihat di kawasan ini lahan hijau menjadi sangat gersang karena tak ada lagi pohon yang tersisa. 

Beberapa pekerja terlihat sedang mengerjakan proyek Busway Koridor 11. Pembangunan koridor ini sudah dilakukan sekitar satu bulan sebelum Bulan Ramadhan tahun ini. 

Jadwal Commuter Jabotabek di Stasiun Klender Baru. Commuter juga melewati jalur yang mirip dengan Busway Koridor 11. 

Beberapa orang mengantri tiket Commuter Jabotabek di Stasiun Klender Baru. Jika dipromosikan dengan baik boleh jadi Commuter lebih dilirik warga ketimbang Busway karena waktu tempuh kereta yang jauh lebih cepat.

Sebuah Commuter melintas di kawasan Klender Baru. Selain lebih cepat Commuter bisa lebih banyak menampung penumpang ketimbang Bus Transjakarta.

Oleh Ardi Wilda
Seorang penulis lepas yang juga pengguna Jalan I Gusti Ngurah Rai dari SD sampai SMA (sekitar sebelas tahun).

4 thoughts on “Busway Koridor Sebelas Tak Efektif

  1. Anonim says:

    saya sih setuju aja… kan setelah dibangun terus dilakukan penghijauan di daerah sekitar… namanya juga pembangunan pasti menimbulkan kerusakan sementara..
    Busway juga menambah pilihan dalam bertransportasi.. 🙂

    Like

  2. Anonim says:

    saya ga setuju!!!!
    BUSWAY CACAD.. pemerintah pinternya cari duit, bukan cari solusi… orang disitu ga pernah macet, semenjak ada proyek busway malah jadi macet melulu…

    cho_kacau@rock.com

    Like

  3. Affry says:

    Karena bikin busway jauh lebih murah daripada ngurusin kereta mas (atau mbak ?). Liat aja sekarang kan busway mulu yang diurus, bukan KRL, karena KRL itu mahal, mau nambahin armada berarti mesti nambah daya listrik, berarti mesti bikin gardu listrik baru,,mahal kan…

    Itu baru koridor 11 melayu – pulo gebang, situ udah bilang gak efektif, coba liat koridor 14 manggarai – UI,,padahal selama ini udah ada KRL jakarta – bogor yang melayani juga antara stasiun manggarai sampe stasiun UI, tapi tetep aja pemprov mau bikin busway di situ..

    sia – sia kah ? belom tentu, kita liat nanti pas busway nya udah beroperasi, laku gak tuh 🙂

    Like

  4. Anonim says:

    lebih murah dr pd 16500 (bekasi-depok) lbh baik 3500 kemana aja.

    Like

Leave a comment