Rabu malam secara tak sengaja saya bertemu dengan seorang kontributor untuk Jakartapost dan Jakartaglobe asal Singapura. Ia duduk di sebelah saya di kereta, “Pulang ke Jakarta Pak?” tutur saya basa-basi untuk membuka pembicaraan. Ia kemudian menanggapi dengan panjang lebar tentang kegiatannya di Jogja dalam bahasa Inggris campur bahasa Indonesia. Saya salah sangka, saya kira ia warga Indonesia keturunan Cina ternyata ia berasal dari Singapura. Dari situ kami mulai berbincang-bincang mengenai segala hal dengan hangat, ia cerewet namun cukup menyenangkan diajak bicara.
Salah satu topik menariknya dimulai ketika ia kaget dengan pernyataan saya. “I hate Jakarta, dari kecil saya hidup di Jakarta, bosan saya,” kata saya singkat dalam bahasa campuran. “So you think Jogja better than Jakarta?” Tanyanya sedikit retoris. Saya mengangguk dan menjelaskan mengapa saya lebih mencintai Jogja. Menurut saya Jogja lebih berwarna karena saya bertemu banyak orang dari latar belakang berbeda disini, saya banyak belajar dari orang-orang itu. Ia hanya tertawa mendengar itu, menurutnya ada satu hal yang membuat saya mencintai Jogja.
Sayang ia tak langsung menjelaskan kenapa saya bisa mencintai Jogja. “Kamu pernah visit Singapore?” tanyanya tiba-tiba. “Pernah, membosankan disana, orang-orangnya sangat rapi, mereka seperti robot, gerakan mereka berjalan cepat sekali, saya gatal melihat itu,” tutur saya panjang lebar. “Yeah, itu kenapa kamu menyukai Jogja!” katanya tiba-tiba. Saya hanya tertawa dan menanyakan apa hubungannya dengan kecintaan saya pada kota Jogja.
Ia pun memulai kuliah sederhananya malam itu di kereta Argo Dwipangga pada saya. Kuliah dalam arti sebenarnya, karena selain seorang jurnalis lepas di wilayah Indonesia ia juga seorang dosen tamu. “Ok I will tell you,” bukanya ketika akan memulai kuliahnya malam itu.
“Teman saya Max Lane bilang pada saya, bahwa sudah saatnya saya tinggal di Jogja, ini tempat yang baik bagi orang tua atau retired seperti saya ini, maka saya ke sini untuk melihat-lihat Jogja, siapa tahu saya tertarik tinggal disini,” katanya singkat. Jujur saya kaget mendengar nama Max Lane disebut, ia adalah tokoh penting karena merupakan seorang penerjemah buku-buku Pram dan menganggap Pram sebagai tokoh penting di kawasan Asia Tenggara. Saya pun mulai tegang dan siap-siap tidak mengerti mendengarkan kuliah orang Singapura ini.
Ia kemudian melanjutkan kuliahnya lagi dengan mata yang berbinar-binar. “Saya juga senang dengan Jogja, di Jakarta red light belum mati motor-motor sudah jalan, zebra cross tidak dihiraukan, but people in Jogja tidak seperti itu, motor-motor menunggu red light til green. No police tapi mereka tetap menunggu. Kekacauan di kota ini lebih rapi, organize chaos (kalau saya tak salah ingat, ia menggunakan istilah ini) disini lebih bagus ketimbang di Jakarta,” katanya pada saya.
“Maksudnya organize chaos?” Tanya saya karena benar-benar tak paham dengan apa yang ia maksud. Sebelum menjawab ia tertawa mendengar pertanyaan saya. “Begini, di Indonesia tak ada yang rapi atau stable, disini semuanya kacau. Kota yang berhasil menata kekacauannya secara lebih baik maka akan lebih baik pula kota itu. Jakarta gagal menata kekacauannya, sehingga dalam kekacauannya tak ada sebuah kerapian. Sementara Jogja berhasil menata kekacauan. Mungkin karena Jogja punya akar budaya kuat, jadi ketika terjadi kekacauan ia akan menata diri dalam kekacauan itu, Jakarta tak punya budaya yang kuat sehingga kacau,” katanya panjang lebar.
Saya hanya bengong mendengar penjelasannya. “Don’t understand,” tutur saya singkat sambil cengar-cengir bodoh ala mahasiswa semester awal. Dan ia kembali tertawa karena kebodohan saya. “You remember why you hate Singapore? Karena orang-orangnya rapi, mereka seperti robot katamu. Karena memang begitu. Saya sebenarnya tak mau naik kereta ini, karena Dwipangga pernah crash Desember tahun lalu, saya mau naik Bima, lebih aman. Apa kamu tahu itu? Saya rasa tidak, kami terbiasa menata segala sesuatu dengan baik. Ketika kamu melihat itu maka kamu merasa asing. Kamu tak pernah mau stable, makanya merasa aneh ketika tak menemui sebuah kekacauan di Singapura,” tuturnya diakhiri dengan senyuman khas seorang dosen pada mahasiswa ketika sang mahasiswa tak mengerjakan tugas kuliah.
“Sekarang kamu lihat itu,” sambil menunjuk kereta ekonomi KRL Jabotabek di samping kami. “Mereka gila, duduk di dekat pintu, jika ada crash mati mereka langsung. Mereka tak mau rapi, mereka maunya kacau. Yang bisa dilakukan mengorganisasi kekacauan itu, sulit membuatnya rapi, Orang Indonesia selalu merindukan kekacauan,” tambahnya.
Seketika saya ingat seorang teman saya yang senang naik kereta kelas ekonomi. Alhamdulillah sebagai masyrakat kelas menengah kota kami sebenarnya bisa membeli tiket kereta minimal kelas Bisnis, tapi kami selalu menganggap spesial ketika naik kereta ekonomi. “Belum afdol kalo belum pernah naik ekonomi,” kata teman saya dulu. Ya mungkin si pria Singapura ini ada benarnya juga, karena kami rindu dengan kekacauan ala kereta ekonomi. Bahkan ketika kami bisa membeli tiket kereta eksekutif kami lebih memiilih kereta ekonomi, sebuah hal yang selama ini selalu berlindung di bawah alasan “biar seru”. Mungkin alasan itu bisa jadi timbul karena kami merindukan kekacauan di kereta itu.
Pria Singapura itu kembali menyerocos, “In my opinion the reason you love Jogja karena kamu suka dengan kekacauan yang terorganisir, Jakarta gagal melakukan itu buat kamu. Dan itupula yang membuat saya mau pindah ke Jogja,” tuturnya ditambahi tawa berderai kami.
Kami kemudian berhenti mengobrol karena ia lebih senang melihat ke luar jendela sementara saya sibuk mendengarkan The Kooks di Ipod. Tak terasa Stasiun Jatinegara sudah di depan mata. “Saya pamit, nice to meet you, tapi saya tetap benci Singapura,” kata saya sedikit bercanda padanya. Sambil tertawa dia bilang, “Kita masih hidup, Dwipangga tidak menabrak apa-apa hari ini, selamat datang di Jakarta lagi.” Katanya sangat ramah. Saya turun dari kereta sementara dia tetap di kereta karena baru akan turun di Gambir.
Di pintu keluar apa yang dikatakan sang pria Singapura tadi terjadi di depan saya. Tiga orang supir taksi menggeret-geret tangan saya untuk memakai jasa taksinya. Dua orang tukang ojek terus menyerocos meminta saya untuk juga memakai jasanya. Benar-benar sebuah keadaan yang tak nyaman dan sangat kacau. Seketika itupula saya merindukan keramahan eh kekacauan yang tertata di Jogja.