Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Dua hari lalu saya meneruskan perjuangan Granasti (Asti) yang merupakan Pengajar Muda 1 dalam Program Indonesia Mengajar daerah penempatan Lampung. Semua murid menangis saat Ibu Asti pergi meninggalkan mereka. Acara perpisahan di sekolah memang sangat mengharukan. Setelah Kepala Sekolah memberikan ucapan terimakasih lalu diteruskan dengan pidato terakhir dari Asti.
Dalam pidatonya Asti mengungkapkan beberapa hal. Mengenai motivasi bahwa anak-anak adalah manusia-manusia hebat. Ia juga mengingatkan tak ada siswa yang bodoh, semua anak pintar dan luar biasa. Ia memberi kepercayaan pada tiap murid bahwa mereka semua memiliki kemampuan yang berbeda-beda dan mereka harus yakin kalau mereka hebat. Namun dari semua pidato Asti ada satu hal yang menurut saya sangat menarik.

Dalam pesan terakhirnya di Sekolah ini Asti berpesan singkat. “Gapai cita-cita kalian, Ibu Asti tunggu kalian di Jakarta.” Mungkin bagi anda pesan ini sangat biasa tapi menjadi sangat menarik disini. Pesan ini seperti sebuah pesan ironis untuk daerah di Tulang Bawang Barat. Lewat pesan ini pula saya mulai membuka komunikasi dengan murid-murid.

“Bagaimana cara bertemu Bu Asti?” pertanyaan itu saya ajukan pada siswa kelas enam sehari setelah kepulangan Asti. Seketika semua murid terdiam. “Ada satu cara menemui Bu Asti, pergi ke seberang,” kata saya sambil menggambar sebuah peta sederhana Sumatera bagian selatan dan Jawa bagian Barat. “Ke Jakarta Pak,” sontak Adi, seorang siswa bongsor yang jarang masuk menimpali perkataan saya. “Ke kota Pak, kuliah,” kata Eko menambahi Adi yang merupakan teman sebangkunya. “Ya pergi kuliah ke Kota terus kalian bisa meraih cita-cita kalian dan ketemu Bu Asti lima belas atau dua puluh tahun lagi,” kata saya memulai kembali diskusi. Saya kemudian meneruskan bincang-bincang itu dengan mengatakan kunci kuliah adalah belajar dan belajar, bukan uang.

Apa yang saya dan Asti katakan adalah sebuah ironi besar di daerah ini. “Ten meriki niki akeh tiang Jawi Pak, Lampung e naming sitik, trans (transmigrasi) kabeh (Disini ini orang Jawa semua Pak, orang Lampung hanya sedikit, transmigrasi semua),” tutur Pak Ratno, seorang kuli bangunan yang saya temui saat menggarap bangunan dapur tetangganya. “Lha daerah niki lak sakjane mboten pantes go urip menungso to Pak, mbiyen niku akeh gajah ten meriki niki, omah-omah diserang ro gajah barang, tur ten Jawi lak kakean uwong, lha dioper ten meriki lah, njeh pasrah mawon pak (Daerah ini sebenarnya kan tidak pantas untuk manusia Pak, dulu disini ini banyak gajah yang merusak rumah warga, tapi di Jawa sudah terlalu banyak orang, jadi kami dioper ke sini, ya kami pasrah aja),” timpal rekan Ratno sambil mengaduk semen.

Daerah Tulang Bawang Barat yang saya tempati memang sebuah daerah transmigran. Mereka pergi ke Lampung di sekitar tahun 1982-1984 dengan sebuah jaminan tanah perkebunan 2 hektar dan sebuah rumah hunian kecil untuk masing-masing kepala keluarga. “Nek omah e gek mung sejilatan kadal Pak (Kalau luas rumahnya ya cuma satu jilatan kadal (kecil) Pak),” tutur Pak Iman mantan ketua kelompok tani yang juga merupakan tetangga samping rumah saya. Lampung adalah tanah harapan bagi mereka, disini mereka berharap mendapat tempat yang lebih layak ketimbang saat mereka di Jawa.
Dua hari lalu saya dan Asti meminta murid-murid kami. Anak-anak yang merupakan generasi ketiga dari produk transmigrasi untuk menempuh cita-cita di seberang. Untuk menuntut ilmu di Jawa. Sebuah daerah yang dulu mereka tinggalkan untuk menemui tanah harapan di Lampung. Sebuah tanah harapan yang mungkin membuat mereka kecewa dan marah. Kami meminta generasi ketiga mereka kembali, menempuh pendidikan di seberang.

Saya jadi ingat sebuah lagu Efek Rumah Kaca, “Banyak Asap di Sana” yang berbicara tentang migrasi ke kota besar-besaran. Jika Cholil si pencipta lagu tersebut mendatangi tempat ini mungkin ia berpikir ulang tentang lika-liku sebuah migrasi. Setiap orang disini butuh tanah harapan, Lampung adalah jawaban tepat di dekade 1980-an bagi mereka. Meninggalkan Jawa untuk hidup di dalamnya. Tapi produk pembangunan masa lalu membuat semua jadi tak sederhana. Yang dulu mereka tinggalkan kini adalah sebuah tanah harapan baru, tanah harapan baru bernama Jawa.
“Bu, saya mau ketemu Ibu di Jakarta, Nika mau sekolah sampe Jakarta terus kejar cita-cita Nika biar bisa ketemu Bu Asti,” tulis Veronika atau akrab disapa Nika dalam surat yang ia titipkan pada saya untuk Asti. Bagi Nika, Adi, Eko dan puluhan murid lainnya bisa jadi Jakarta atau Jawa adalah tanah harapan baru bagi mereka. Tanah harapan untuk mencapai cita-cita mereka. Sebuah tanah yang dulu mengusir bapak dan kakek mereka. Kini mereka siap menyapa tanah harapan baru bagi mereka, Jawa.

One thought on “Tanah Harapan

  1. rocky says:

    ironis gan,,,*asem komenku serius bgt

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: