Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Tentang Kebutuhan
Ada satu mitos penting yang kerap muncul di sekolah dasar di daerah. Sekolah dasar yang memiliki bangunan yang baik adalah sekolah yang juga bermutu baik. Hal ini jelas wajar, sebab (idiom lama mengatakan) fasilitas kemungkinan berbanding lurus dengan kualitas. Belum lagi seluk beluk birokrasi di daerah yang memang sulit untuk mengajukan permohonan sebuah perbaikan bangunan. Ambil contoh misalnya sekolah yang memiliki total murid lebih dari seratus akan lebih mudah menerima bantuan daripada sebuah sekolah dengan total murid kurang dari seratus. Dan banyak lagi hal birokratis semacam itu.
Hal itu kemudian menyebabkan sekolah merasa bahwa kemajuan adalah sebuah pembangunan fisik. Membangun kelas, mengkramik kelas, membangun perpustakaan (tanpa memikirkan bukunya) menjadi sesuatu yang dianggap penting, tanpa melihat konteks kebutuhan sekolah tersebut. Iklim itu menyebabkan sekolah hanya jadi penengadah tangan memohon bantuan pembangunan kelas pada dinas.
Pembangunan fisik sekolah memang sebuah elemen penting, namun ia juga menjadi ironis bagi sang murid sendiri. Murid terbiasa menerima begitu saja apa yang sudah ada. Bangunan yang setiap hari ia tempati untuk belajar seperti sesuatu yang tiba-tiba jadi, taken for granted. Ia tak menjadi bagian integral dari bangunan itu. Ia hanya pengisi sebuah bangunan, maka jangan heran jika ia mengotori kelas, ia mencoret dinding atau ia ribut di kelas. Karena ia bukan bagian dari kelas tersebut, murid hanya penghuni. Murid tak ada bedanya seperti sapi di kandang yang telah dibuatkan majikan. Hubungan murid dengan guru kemudian seperti sapi dengan sang majikan.
Eko (kelas 6) menggambar konsep kelas alam yang ia inginkan
Atas permasalahan yang melanda daerah penempatan saya tersebut. Ya saya sedang ditempatkan di SDN Margajaya 1 Kecamatan Gunung Agung, Tulang Bawang Barat, Lampung selama setahun. Melihat permasalahan di sekolah-sekolah daerah ini saya mengajak murid-murid untuk berdiskusi apa keinginan mereka. Caranya dengan meminta mereka menuliskan bagaimana kelas idaman mereka dalam secarik kertas. Saya meminta kelas enam untuk melakukannya, tanpa bermaksud mengkerdilkan kelas lainnya. Pemilihan inj disebabkan karena saya lebih dekat secara personal dengan kelas enam, sehingga akan memudahkan mereka berbagi pikiran.
Sebuah kata kunci penting kemudian muncul dari Chindy, siswi yang biasa duduk di barisan kedua dari belakang. Ia menuliskan, “Kelas impian saya, tempat belajar dan saling bercengkrama”. Coba lihat frase saling bercengkrama, ironis bagi saya sebab ruangan kelas enam bisa dibilang sangat baik secara fisik namun sebagai ruang ia gagal membuat murid saling bercengkrama.

Tentang Alternatif
Saya kemudian ingat sebuah tulisan arsitek idola saya (ia pasti jijik mendengar istilah idola) yakni Avianti Armand. Menurutnya kalau saya tidak salah ingat arena luar ruangan, taman dan kegiatan outdoor lainnya adalah sarana pembelajaran dasar bagi anak-anak. Karena semua kebutuhan dasar anak-anak dapat tertampung di sana. Boleh jadi dalam pikiran bodoh saya kebutuhan untuk bercengkrama juga akan terakomodir di luar ruangan. Membuat kelas di luar boleh jadi menjadi satu alternatif yang patut dicoba.

Salah satu sketsa kelas alam
Pemikiran ini didukung oleh sebuah usul menarik dari siswi bernama Wahyuppi Ani dalam sarannya tentang kelas impian, “Jika belajar di luar saya bisa lihat pemandangan yang indah, jika belajar di kelas pemandangannya cuma teman-teman”. Tutur siswi yang biasa disapa dengan Ani ini. Penampungan ide tersebut akhirnya mengerucut pada sebuah ide membuat kelas di luar.
Kebetulan kami memiliki sebuah tempat yang bisa dijadikan kelas di luar. Letaknya diantara ruang guru dengan kantin. Tempat itu menjadi ideal karena ia sejuk berada di bawah pohon asem. Murid-murid kerap memanjat pohon itu dan jika ada yang memanjat semua berteriak, “Ono ketek munggah (Ada monyet naik),” teriak anak-anak. Di luar kata kotor yang mereka katakan untuk mencomooh temannya, itu menandakan keterikatan mereka dengan sang pohon sudah tertanam kuat. Membuat kelas di bawah pohon itu bisa jadi tak perlu lagi sebuah adaptasi bagi para murid.
Diskusi ide yang akan digunakan.
“Oke bagaimana kalau kita membuat kelas alam di bawah pohon asem,” tanya saya di depan kelas. “Manut bapak wae lah (Mengikuti bapak saja lah),” tutur Eko, siswa yang sangat kreatif dalam menggambar. Mendengar itu saya kemudian menjelaskan bapak guru hanya bisa mengeluarkan satu ide sementara jika semua ide teman-teman dikumpulkan akan ada dua puluh empat (jumlah murid kelas enam) ide untuk membangun kelas alam. Mendengar itu Eko manggut-manggut dan semangat dalam membangun sebuah ide mengenai kelas alam.
Lima belas ide yang tertampung.
Saya kemudian kembali meminta murid menuliskan atau menggambar kelas alam impian mereka. Ide-ide polos pun muncul, siswi bernama Rika menulis, “Kelas alam impian saya adalah yang pertama aku mau kelas impianku sejuk, bersih, di bawah pohon dan di sebelahnya harus ada pemandangan yang bisa aku lihat. Dan kelas impianku ada tiker dan juga ada meja kecil yang berguna untuk alasin aku pas waktu nulis.” Sebuah penggambaran sederhana tentang kelas alam impian macam itu banyak muncul dari anak-anak. Tak ketinggalan muncul sketsa ala arsitek tentang posisi dan bagaimana kelas alam itu kelak.
Kerja bakti membangun kelas alam.
Setelah semua ide terkumpul dipilihlah dua orang dari tiap baris. Total ada tiga baris di kelas sehingga ada enam orang dimana setiap dua orang mewakili barisnya masing-masing. Dua orang perwakilan dari tiap baris kemudian diminta untuk menulis lima ide yang menurut mereka penting untuk diwujudkan dalam kelas alam tersebut. Muncullah lima belas ide besar mulai dari peraturan kelas sampai warna cat kelas alam. Sedikit catatan bahwa kelas alam ini berada di samping kantin kecil sehingga bagian sisi kantin dapat dicat.
Kami mendiskusikan semuanya bersama. Mulai dari akan dibentuk dari apa pagarnya, akan diwarnai dengan cat warna apa, akan dinamakan apa kelasnya, diletakkan dimana papan tulisnya. Kami semua berbincang dalam sebuah wadah bernama kebutuhan, kebutuhan untuk belajar. Bukan sebuah wadah bernama keinginan, keinginan untuk terus membangun Pembangunan yang asing dan terlepas dari murid.
Vai dan Edik melukis kelas alam
Setelah terkumpul lima belas ide besar maka kami mendiskusikan itu semua dan membagi tugas untuk melaksanakannya. Ditentukan misalnya koordinator pembuatan pagar adalah Aris, siswa yang berjiwa petualang dan senang mencari bambu. Koordinator mengecat dan melukis adalah Vai, siswa yang memiliki darah seni tinggi karena sang kakak adalah pelukis kampung yang kadang mengecat truk. Koordinator mencari bunga adalah Sella, dan beragam koordinator lain.
Rabu (23/11) pukul 13.00 mereka kemudian berkumpul di bawah pohon asem. Ada yang membawa pacul, cat, palu, paku, bunga, atau sekedar sapu lidi. Mereka membangun kelas itu bersama. Vai ditemani Edik dan Khusnul mengecat dinding kantin untuk memperindah kelas alam. Bayu, Aris dan Eko membuat pagar dari bambu yang mereka bawa. Sella, Mita dan beberapa murid perempuan menanam tumbuhan di sekitar pagar. Mereka semua bekerja dalam senyuman menciptakan kelas alam.
Murid-murid berfoto di depan kelas alam.

Siang itu mereka membangun kelas mereka sendiri. Mereka tak sekedar menerima uluran tangan dari dinas pendidikan. Mereka mengajari guru dan kepala sekolah mereka cara mencari jawaban atas sebuah kebutuhan. Berinisiatif dan bukan menunggu, lewat alam mereka belajar memulainya. “Kalau les matematika nanti disini ya pak, pake terpal aja pak alasnya,” pinta Mita pada saya. Saya mengangguk dan tersenyum menanggapi permintaannya. Sekitar pukul 15.00 pembangunan kelas alam telah selesai. Semua murid tersenyum saat melihat kelas alam selesai. Siang itu mereka mewujudkan satu impian mereka, sebuah kelas yang tidak mereka tempati begitu saja, tapi buah dari mimpi, ide, dan kerja keras mereka. Sebuah kelas kolektif untuk belajar.

Tentang Kebingungan
Selesai merampungkan kelas murid-murid pergi. Murid perempuan bergegas pulang ke rumah sementara murid laki-laki bergegas ke lapangan sepakbola untuk berlatih. Saya menatap kelas alam itu sendiri. Kosong.
Saat saya dan siswa kelas enam membuat kelas alam sekolah saya juga sedang merenovasi kelas 1, 2 dan 3. Ketiga kelas itu dibangun karena mendapat pendanaan dari dinas. Kelas itu akan berubah menjadi rapi, beratapkan asbes yang bersih dan tak lagi bocor. Murid kemudian akan belajar di sana setiap hari. Di bawah asbes yang tak lagi bocor.

Kelas alam terinspirasi Avianti Armand
Saya kemudian merenung mengapa setiap pembangunan tak pernah melibatkan siswa. Lihat sketsa sederhana ini, seorang arsitek akan bertanya pada kliennya mengenai bangunan seperti apa yang mereka inginkan. Jika sekolah adalah sebuah wadah untuk belajar, wadah bagi muridnya untuk bercengkrama maka “klien” mereka adalah sang murid. Mengapa kita selalu menyepelekan murid dalam pembangunan, padahal merekalah subjek dari bangunan yang akan jadi kelak.
Sekolah semestinya bukan arsitek tunggal dari pembangunan. Arsitek kental dengan istilah Arkhe yang berarti kepala, jika sekolah menempatkan diri pada posisi kepala dari semuanya maka murid hanyalah ekor. Ia tak punya sebuah otoritas mandiri. Guru dan kepala sekolah jadi sebuah otoritas kepala tunggal yang terpisah dengan muridnya. Pembangunan fisik hanyalah contoh diantara banyak contoh lainnya.
Coba kita tilik proyek Perpustakaan Rimba Ilmu  di SD Cilandak Barat 01 Jakarta. Beberapa arsitek mencoba menolak idiom arsitek (arkhe) sebagai kepala. Mereka lebih memilih untuk menjadi wadah atas inspirasi murid dalam membangun perpustakaan. Mereka membuat angket sebelum membentuk perpustakaan. Merancang keinginan siswa mengenai perpustakaan yang mereka inginkan. Di situ sekolah tak lagi menjadikan murid sebagai sapi yang tiba-tiba ditempatkan dalam sebuah kelas dengan dalih pembangunan fisik.
Sore itu saya hanya bisa senang menatap seluruh murid saya telah berhasil menjadi arsitek bagi kelas mereka sendiri. Arsitek bagi tempat belajar mereka. Mereka tak lagi asing dengan tempat dimana mereka belajar. Masing-masing dari mereka berusaha menjadi arkhe, menjadi kepala bagi diri mereka sendiri. 
Kelas Alam Impianku SD Margajaya 1 Tulang Bawang Barat, Lampung.

*ditulis sambil mendengarkan Risky Summerbee and The Honeythief
Terimakasih untuk Avianti Armand, Tim Inisiator Perpustakaan Rimba SD Cilandak Barat 01 Jakarta Barat dan Sekolah Alam Indonesia atas inspirasi yang telah diberikan pada kegiatan ini.

3 thoughts on “Kelas Alam Impianku

  1. rocky says:

    untung yang ditanya anak2 di “daerah” w, nek ank intntnl schl sek ditakoni wani nyamggupi ra? :p
    Btw, kui cah2 isoh boso jowo y?karena banyak transmigran?

    Like

  2. Ardi Wilda says:

    nek internasional sekul aku pilih gawe sekolah alam sisan ora kelas alam, hehe..iya disini mayoritas transmigran, ada Jawa, Sunda, Bali, warga asli Lampung dan beberapa Lampung. Tapi di tempatku mayoritas Jawa, hasil transmigrasi dari tahun 1982 rok..kono skripsimu digarap!

    Like

  3. Anonim says:

    wahhh, luar biasa !

    Like

Leave a comment