Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Satu hal kecil yang saya suka ketika Idul Fitri adalah melihat Spanduk Selamat Idul Fitri di Gereja-Gereja. Kesannya memang seremonial semata namun membaca itu membuktikan ada itikad baik, ada rasa kasih sayang antar sesama agama. Saya selalu bermimpi suatu kali hal serupa dilakukan Masjid saat Natal tiba, mengucapkan selamat natal lewat spanduk atau sejenisnya. Sayang saya tak pernah menemui hal tersebut. Daripada mengkritik Masjid atau berdebat soal syariah membawa-bawa hadits sampai Karen Amstrong, lebih baik kita melakukan hal kecil yang bermakna.
Saya memiliki teman akrab bernama Andrea, satu-satunya hal yang membuat saya sering kangen dirinya adalah saya kangen dimarahi olehnya. Penyuka nomor 17 ini menurut saya sangat galak, tapi ia galak untuk menyadarkan untuk terus berpikir memakai logika. Ketika saya sudah menyimpang dari logika biasanya ia akan memarahi saya. Nah momen itulah yang membuat saya kadang merasa kangen dengan rentetan kemarahannya.
Andrea adalah orang yang akan saya ucapkan “Selamat Natal” pertama kali di tahun ini. Karena ia sangat berjasa bagi saya tahun ini sehingga tepat tanggal 17 ini sesuai dengan nomor kesukaannya saya ingin mengucapkan selamat natal. Tapi sekedar mengucapkan via pesan pendek atau jejaring sosial sama sekali tak spesial. Saya memang tak akan membuat spanduk selamat Natal di Masjid karena saya bukan Takmir Masjid, melainkan sebuah hadiah spesial dari seseorang.
Namanya Weli. Ia adalah anak dari Ibu Ruth, rekan kerja saya di sekolah yang saya ajar. Ibu Ruth seorang Nasrani yang taat, ia tak pernah absen pergi ke Gereja setiap Minggu. Setiap pulang sekolah saya sering mampir ke rumah Bu Ruth karena ia tinggal di gudang sekolah yang sudah ia rapikan. Kadang kami berbincang sambil ditemani pisang goreng atau nasi tiwul. Itulah awal keakraban saya dengan Weli.
Dalam pandangan umum Weli akan dianggap sangat nakal. Ia sering mengganggu teman TK-nya. Ia sering merusak spidol saya, bahkan anak kelas empat pernah dibuat menangis oleh bocah ingusan yang masih duduk di TK ini. Ibu Ruth sering tidak enak karena kelakuan Weli namun saya hanya bilang, “Weli anak yang kinestetiknya menonjol Bu, ndak usah dimarahi,” saran saya saat ia hendak memarahi Weli. Ia anak yang lucu tapi saya sering sebal dengannya karena iseng, hobi barunya menjadi fotografer cilik setelah saya ajari cara menggunakan kamera.
Dari Weli dan Ibu Ruth pula saya tahu dimana letak gereja dan rumah pendeta di dekat rumah saya. Saya kemudian menyempatkan berkunjung ke rumah Pak Ujang, pendeta di dekat rumah saya. Sayang kesehatannya kurang sempurna saat saya kunjungi sehingga saya disambut oleh Ibu Neli, istri Pak Ujang yang mengurus Sekolah Minggu di Gereja. Berbincang-bincanglah saya dengan Ibu Neli mengenai sekolah Minggu dan berharap bisa mengajar baca tulis disana sebelum materi mengenai Firman Tuhan dilangsungkan.
Esoknya saya bertanya kepada Weli apakah ia mengikuti Sekolah Minggu. Weli menjawab singkat, “Enggak, enggak punya seragam.” Saya tak paham dan kemudian bertanya kepada Ibu Ruth apa yang dimaksud Weli. Guru kelas dua ini kemudian menjelaskan bahwa Weli tak mampu membeli seragam sekolah minggu makanya ia malu untuk hadir di Sekolah Minggu. “Kalo ada seragamnya ya mau pak,” kata Bu Ruth pada saya. Tentu saja soal seragam ini tak diwajibkan pihak gereja, namun wajar jika Weli merasa aneh tanpa seragam, ia masih kecil dan belum bisa berpikir bahwa seragam hanyalah atribut.

“Wel mau sekolah minggu gak?” tanya saya menggoda. “Mau pak,” jawabnya singkat. “Sekolah sama bapak aja sini Wel, bapak ajarin nulis selamat natal”. Tanpa pikir panjang ia menghampiri saya. Sambil mengeja ia menulis selamat natal. Namun ia gagal, karena ia baru bisa menulis kata yang terdiri hanya dari dua suku kata, seperti misalnya Sa-pi, atau Do-nat. Sementara kata Selamat terdiri dari tiga kata.
Ia terus berusaha dan akhirnya kata selamat natal pun berhasil ia buat. Tiba-tiba ia bertanya, “Selamat natal, siapa yang natalan?”. Orang yang pertama terlintas adalah nama Andrea. “Coba Weli tulis Selamat Natal kakak Andrea.” Dengan susah payah dan bantuan dari saya akhirnya ia bisa menuliskannya walau tidak sempurna.
Tulisan Selamat Natal Kakak Andrea karya Weli adalah hadiah natal dari saya dan Weli untuk Andrea. Mungkin impian utama saya melihat sebuah spanduk selamat natal di Masjid takkan pernah terwujud. Namun Weli dan Ibu Ruth memberikan lebih dari sekedar spanduk ucapan selamat. 
“Enggak natalan Pak Ardi, duitnya enggak ada,” kata Ibu Ruth saat kemarin siang saya mampir di rumahnya. Mendengar itu kami pun tertawa bersama. Di rumah itu tak ada pohon natal, tak ada kado natal dalam sebuah bungkus kado gemerlap, hanya ada Weli dan Ibunya menyambut Natal dengan apa adanya. Selamat Natal Ndre, semoga kado sederhana dari saya dan Weli membuat perayaan Natal yang masih seminggu mulai terasa, salam hangat dari Weli dan Ibu Ruth untukmu.

*maaf Ndre gw ngepos ini di tanggal 18 karena untuk ke warnet butuh jalan sekitar 1,5 jam dan kemarin hujan.*

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: