Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Suasana menonton di Bioskop Margajaya
Saya selalu menyukai sebuah film yang bicara tentang film. Cinema Paradiso, Super 8 ataupun Janji Joni adalah salah tiga film yang sangat saya gilai. Alasan saya sederhana, saya seperti merayakan masa kecil saya. Pergi naik sepeda ke Bioskop Buaran, sebuah bioskop kecil di dekat rumah saya dan menonton film apapun disana sendirian. Saya menikmati terpaan sinar dari ruang proyektor yang memancarkan 24 gambar per menit bernama film.
Sayang tak semua orang punya keberuntungan seperti saya. Sistem distribusi yang kurang adil, makin memudarnya budaya layar tancap di desa-desa adalah beberapa contoh tak semua anak-anak punya romantisme merayakan film seperti itu. Romantisme? Bagi saya itu tak sekedar romantisme, film membuka mata kita melalang buana tentang segala hal. Berkurangnya akses menonton film berarti juga ketidakadilan pada akses menambah pengetahuan.
Desa Margajaya, desa yang selama satu tahun akan saya tempati berjarak sekitar enam jam dari Bioskop di Bandar Lampung. Bioskop yang anak-anak kenal disini adalah Bioskop Trans TV, sebuah program pemutaran film di televise swasta. Kata Bioskop begitu asing bagi mereka. Bahkan saat saya tanya apa ada apa saja di bioskop anak-anak diam seribu bahasa.
Untuk menjawab rasa penasaran anak-anak mengenai Bioskop kami berinisiatif membuka sebuah bioskop di halaman hostfam saya. “Bioskop Pak Ardi wae jenenge cah (Bioskop Pak Ardi aja namanya),” usul Amat. “Ojo, mending Bioskop Margajaya ae, luih apik (Jangan, mending Bioskop Margajaya aja lebih bagus),” ungkap Sudi. Setelah berdebat singkat kami memutuskan menggunakan nama Bioskop Margajaya sebagai nama Bioskop ini. 
Reno dan Ariq menunjukkan “tiket masuk” bioskop.
Bioskop ini bukan sebuah bioskop besar dengan sinaran cahaya proyektor dari belakang panggung. Kami hanya menonton di laptop milik saya, beralaskan tikar dan popcorn kami ganti dengan biskuat seharga lima ratus rupiah. Sederhana dan apa adanya. Namun apakah semua selesai dengan berdirinya Bioskop Margajaya? Tentu tidak, bioskop hanyalah sarana fisik. Yang lebih penting adalah melatih mereka bagaimana cara menjadi penonton aktif.
Kelemahan dasar kita adalah membiarkan anak-anak menjadi penonton pasif. Bahasa pintarnya anak-anak menjadi korban dari magic bullet theory atau teori peluru. Teori ini mengatakan media (khususnya televisi) seperti sebuah senapan yang melontarkan peluru berupa pesan tertentu. Penonton hanyalah korban penembakan, ia menerima pesan itu mentah-mentah. Apa bukti teori ini berjalan lancar, masih ingat heboh soal sistem penyensoran di negeri ini yang ingin diganti rating. Pemerintah dengan santainya bilang, masyarakat kita belum siap diberi kebebasan dengan sistem rating. Sebenarnya itu karena pemerintah membiasakan diri untuk mempasifkan masyarakat.
Bayu dkk. mengantri tiket sebelum masuk.
Apa contoh pemasifan opini? Sederhana saja, setiap cerita saat kita SD dulu selalu ditanyakan apa pesan moralnya. Kita tidak biasa diberi kebebasan berpendapat mengenai opini kita. Yang putih adalah putih dan yang hitam adalah hitam. Padahal saya suka warna abu-abu.
Hari ini Bioskop Margajaya dibuka dengan sederhana. Kami menonton film “Garuda di Dadaku”. Sebelum menonton anak-anak membuat tiket masuk bioskop mereka sendiri. Tiket itu berasal dari kertas HVS merah sederhana yang mereka tulis dengan tulisan nama Bioskop, judul film dan HTM. “Pak HTM itu apa?” tanya Imam dengan polos. Saya kemudian menjelaskan konsep membayar masuk tiket bioskop sebagai penghargaan kepada yang membuat film. Satu orang dari mereka kemudian menjadi penjaga tiket yakni Reno. “Ben rapi cah ono tiket ki (Ada tiket itu biar rapi),” tutur Reno saat menjaga pintu layaknya penjaga tiket. Mereka berbaris rapi sebelum masuk ruangan bioskop.
Saya kemudian melakukan riset kecil mengenai alasan mereka memilih film Garuda di Dadaku. Mereka harus menuliskan alasan mereka memilih film ini dalam secarik kertas. Motif menonton adalah salah satu hal penting dalam menciptakan sebuah penonton aktif. Jawaban mereka beragam, Bayu misalnya menulis, “Saya penggemar sepakbola dan belum menonton filmnya.”. Jawaban menarik muncul dari Imam, “Karena filmnya bagus karena judulnya Tendangan dari Langit.” Ternyata Imam menyangka bahwa Garuda di Dadaku dan Tendangan Dari Langit adalah film yang sama. Ini bukti bahwa anak kecil pun memperhatikan konten dari sebuah film. Garuda di Dadaku dan Tendangan Dari Langit mengambil sepakbola sebagai topic bahasannya dan Imam memahami itu dengan baik.
Ariq dan Sudi menulis review film.
Jawaban yang muncul beragam namun bisa ditarik kesimpulan bahwa motif menonton terkait erat dengan content dan referensi pribadi. Karena kontentnya tentang sepakbola dan anak-anak yang kebetulan menonton juga menyukai sepakbola.
Setelah selesai dengan alasan pribadi mereka menonton barulah kami menyaksikan film itu bersama. Dari situ saya sadar sinema bukanlah soal alat. Bioskop bukanlah soal ruang berpendingin udara di tengah kota Jakarta dengan embel-embel festival film internasional. Sinema adalah soal bagaimana ketika mata kita menatap layar dengan pandangan penasarana dan mulut terbuka karena kegirangan. Romantisme masa kecil saya kini saya lihat di mata Imam, Reza maupun Ariq.
Review ditempel di “dinding sinema”.
Melihat film garapan Ifa isfansyah ini mereka melongo. Ifa mengkritik lahan olahraga yang minim di ibukota, mengkritik sikap orangtua yang serta merta menyetop bakat anaknya sebuah kritikan yang disajikan dengan baik. Namun anak-anak tak mau peduli dengan itu. Yang Reza dkk tahu adalah bagaimana cara Emir menggiring bola. Tiap orang memang punya cara pandang yang berbeda-beda dan sagat asyik menyelami itu pada diri anak-anak. Itu kenapa pesan moral di cerita anak-anak yang meminta satu jawaban tunggal lebih baik dimusnahkan.

Selesai menonton film kemudian kami mendiskusikan film itu dengan sederhana. Semua anak diminta menuliskan kembali cerita mengenai film tersebut. “Wah lali pak, panjang film e (Wah lupa pak, panjang filmnya),” protes Ariq. “Pasti ingat Riq, ayo diinget-inget lagi, tadi si Bayu (Emir Mahira dalam film ini) main dimana, latihan dimana, sama kakeknya boleh enggak main sepakbola,” ajak saya agar ia mau menuliskan review mengenai film ini. Ia hanya manggut-manggut dan menuliskan kembali cerita film itu dalam sehelai kertas.

Review mereka kebanyakan sangat sederhana, logika berpikirnya juga masih tak linear, melompat dari satu topic ke topic lain. Tapi itu sangat wajar. Yang penting kemudian adalah bagaimana mereka terbiasa mereview sebuah tontonan visual yang setiap hari akan menerpa mereka. 
Review milik Bayu, ia memberi 4 bintang untuk film ini
Saya kemudian meminta mereka untuk memberi satu sampai lima bintang untuk film ini. Rata-rata mereka memberikan lima bintang. Amat secara konyol memberikan delapan bintang, “Soalnya bagus banget pak,” katanya tak mau kalah. Yang patut dipuji adalah Bayu yang secara gambling memberikan empat bintang, “Habisnya pertandingan Indonesia lawan jepangnya enggak dikasih lihat pak,” protesnya sedikit mengkritik film ini. Penutup film ini memang menyiarkan persiapan pertandingan antara Timnas U-13 Indonesia melawan Jepang namun yang ditampilkan hanya saat menyanyikan lagu kebangsaan saja. Bayu merasa kekurangan film itu disini sehingga ia hanya memberika empat bintang.
Mengkritik sebuah mediamassa (dalam hal ini film) penting diajarkan sejak kecil untuk melatih mereka menjadi penonton aktif. Mereka tak sekedar menjadi korban peluru di terpaan media visual seperti saat ini. Mereka harusnya berada dalam cakupan teori uses and gratification dimana setiap individu bebas menentukan media yang hendak ia tonton dan nikmati. Dengan pemahaman sedari dini mengenai media apa yang baik bagi mereka maka dengan sendirinya mereka akan memilih media yang akan mereka gunakan.
Imam, Ariq, Reza, Sudi di Bioskop Margajaya membuktikan kalau sinema kekuatan utama sinema tak akan pernah mati. Mereka juga bukti bahwa penonton aktif adalah soal tradisi yang harus diajarkan sejak dini. Mungkin sepuluh tahun lagi mereka hanya akan tertawa kalau negeri ini masih sering mengatakan masyarakat belum siap dengan bla bla bla. Masyarakat selalu siap, pertanyaannya adalah bagaimana kita menyiapkannya sejak dini. 
Calon kontributor CinemaPoetica dan pengganti Eric Sasono 😀

*Kelas menonton terinspirasi dari Kakak Adrian Jonathan dan Kinoki. Akan diadakan seminggu sekali, bagi teman-teman yang ingin berkontribusi untuk literasi media kecil-kecilan melalui sumbangan film anak-anak atau modul literasi media dapat menghubungi saya di ardiwilda@yahoo.com atau ardi@pm3.indonesiamengajar.org. Jika malas mengirim email bisa senggol saya di @ardiwilda di twitter. Salam hangat dari Bioskop Margajaya.

3 thoughts on “Bioskop Margajaya, Sebuah Cara Merayakan Sinema

  1. Gatya Pratiniyata says:

    24 gambar per detik we… :p

    Like

  2. ati2 kak awe jangan salah buka file ya.
    semoga bioskopnya tetap eksis

    Like

  3. rocky says:

    jangan salah buka file history YM tepatnya
    nek wani nntn film horror koe

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: