 |
Mitra, Viki dan anak kelas 4 lainnya sedang belajar memotret. |
Tangan Viki gemetaran saat memegang kamera saku bertuliskan Canon. “Wah edan pak, iki sepuluh yuto regane (Wah gila pak, ini harganya sepuluh juta),” tutur siswa kelas empat yang kedua orangtuanya menjadi buruh migran di luar negeri. Dengan tangan gemetarnya Viki kemudian menyalakan kamera itu, mengarahkannya kepada temannya bernama Bagus, dan bunyi klik terdengar dari kamera yang menurut Viki berharga sepuluh juta.
Viki kemudian melihat lcd kamera yang menampakkan gambar Bagus. Foto itu goyang, tak proporsional secara komposisi, namun Viki tetap tersenyum melihatnya. “Koyo wong kuto yo (Sepertinya orang kota ya),” ucap bocah botak ini sambil tertawa. Saya kemudian bertanya pada Viki, kenapa ia serasa seperti orang Kota saat memegang kamera. “Lha iyo pak, aku kan wong ndeso pak, katro,” ujarnya mengutip salah satu pameo dari acara talkshow yang dipandu pelawak Tukul.
Jefri menyuruh teman-temannya berfoto di depan replika Meriam. Ia datang ke Museum bersama Hasan dan teman-temannya dari Kecamatan Way Kanan, Tulang Bawang Barat. Ini merupakan salah satu kawasan yang secara demografis dan sosiologis lebih layak disebut “kota” ketimbang kecamatan Gunung Agung, tempat saya mengajar.
 |
Siswa SD di Way Kanan memotret dengan hp berkamera |
“Kananan sedikit,” ujar Jefri mengarahkan teman-temannya saat hendak difoto. Ia menggunakan telepon selular yang dilengkapi fasilitas kamera bermerk Asiafone. “Ini 1,3 megapixel om, bagus kameranya, besok mau beli digital camera om,” jelas Jefri saat saya bertanya kenapa ia senang menggunakan telpon selularnya untuk berfoto.
Hasan, rekan Jefri yang lain juga senang menggunakan telepon selularnya untuk berfoto. Ia mengaku senang berfoto-foto sejak memiliki telepon selular yang dibelikan orang tuanya. “Moto macem-macem om, moto pemandangan, temen-temen, banyak om,” akunya mengenai objek yang kerap ia foto. Belum selesai kami mengobrol, Hasan diminta untuk memfoto rekan-rekannya yang bergaya diatas replika Meriam.
Hasan dan Jefri kemudian mengaku teman-temannya juga hendak membeli telepon selular berfasilitas kamera. “Biar bisa foto-foto om,seru,” tutur Jefri pada saya. Ia juga mengaku telepon selular tanpa fasilitas kamera sudah ketinggalan jaman karena tidak dapat digunakan untuk memotret.
 |
Jefri dan Hasan menunjukkan hp berkameranya |
Hubungan mereka dengan foto-memfoto (mengutip istilah yang mereka gunakan) sudah sangat dekat. Mereka tak canggung saat memfoto, bahkan mereka tahu memposisikan temannya yang baik saat difoto seperti apa. Indikator bagus dan buruk foto bagi mereka hanya satu. “Kalau fotonya terang bagus om, kalau gelap ya jelek,” jelas Jefri pada saya.
Mereka juga tak ragu untuk keliling-keliling museum memfoto teman-temannya dari sudut lain. Tak ada tangan gemetar saat memfoto, tak ada ekspresi takut ketika difoto. Bagi mereka fotografi adalah sebuah keseharian dan bagian dari pengabadian momen sehari-hari. Mereka mungkin yang disebut Viki sebagai orang kota, orang yang tak katro.
***
Mungkin Viki akan kaget jika melihat Jefri dan Hasan si dua anak Way Kanan yang sungguh handal menggunakan kamera (di telepon selularnya). Itu adalah hari pertama Viki memegang kamera. Sebuah benda berharga sepuluh juta menurutnya, padahal kamera saku saya adalah kamera paling murah yang bisa anda temui di toko. Ia asing dengan fotografi.
 |
Mitra sedang difoto oleh Reza di sesi belajar memotret |
Tangannya gemetar ketika memfoto, ekspresinya tegang ketika difoto. Yang ia percaya ia katro dan ndeso, ia tak pantas disandingkan dengan kamera saku yang identik dengan orang kota. Mereka hanya tahu mereka anak desa, sebuah identitas yang bagi mereka melekat di dirinya.
Saya kemudian berbicara pada Viki, Mitra, Bagus, Nika, Dela dan siswa kelas empat. Kami meriung di depan kelas, duduk bersama sama rata. “Orang kota dan desa itu sama aja teman-teman, yang membedakan itu pintar tidaknya. Makanya kalau kalian belajar pasti sama saja dengan anak kota,” tutur saya sok bijak sebagai guru. “Iyo Vik, rungokne, katro koe nyekel kamera wae ndredek (Iya Vik, dengerin Pak Guru, katro kamu megang kamera aja gemetaran),” ungkap Mitra yang pernah memegang kamera saat ikut tur wali songo bersama kakeknya. Viki dan murid lain hanya manggut-manggut mendengar Mitra. Mereka tetap takut memegang kamera. Identitas mereka sebagai anak desa sulit untuk mereka lepas.
Hari ketika Viki memfoto Bagus adalah hari ketika salah satu foto jurnalis terbaik negeri ini. Ed “Mat Kodak” Zoelverdi menghembuskan nafas terakhirnya di dunia. Mat Kodak lahir di kota kecil bernama Kotagadang. Menurut artikel yang ditulis Oscar Motuloh
di situs Antara ia senang mengoleksi foto-foto di surat kabar. Dari foto-foto itu ia belajar banyak mengenai dunia luar. Sampai di kemudian hari ia menjadi seorang Redaktur Foto TEMPO yang juga peletak dasar selera visual majalah ini di masa berikutnya.
Dalam pengantar di Pameran World Press Photo 2004 di Galeri Jurnalistik Antara, Mat Kodak, pernah menulis, “Kamera bukanlah sekadar alat reproduksi-memandang dunia apa adanya. Tapi melalui kamera kita memperlihatkan apa yang kita mau dari dunia ini.”
 |
Dan inilah Viki “Serigala Militia”. Iya dia mirip Arian 13. |
Viki sama sekali tak punya ide akan memfoto apa selain memfoto Bagus. Ia tak keluar dari kelas memfoto pemandangan atau ia tak keluar sekolah membawa kamera itu dan memfoto lingkungannya. Dunia Viki hanya temannya, ia tak cukup berani seperti Jefri dan Hasan yang memfoto pemandangan bagus, atau keliling museum tanpa takut apapun. Viki masih terkungkung di dunianya. Jika menurut Ed “Mat Kodak” Zoelverdi kamera adalah kotak Pandora melihat apa yang kita maui dari dunia ini bisa jadi Viki hanya mau teman-temannya, tak seperti misalnya si anak kota Jefri dan Hasan yang mau melihat semua, melihat teman, museum, pemandangan alam dan banyak lagi.
Saat mengajari Viki dan siswa kelas empat mengoperasikan kamera saya memikirkan bagaimana kita menggunakan kamera. Media mengarahkan moncongnya pada mereka yang marginal dengan dalih jurnalisme empatik, foto humanis dan apapun tetek bengek istilah itu. Desa adalah soal tetes air mata, kemiskinan dan jerih payah seorang nenek tua, oh Tuhan sekejam itukah kamera? Ditambah anak muda menggotong kamera segede gabannya menelusuri pemukiman kumuh berharap mendapat apa yang mereka namakan momen dramatis sekedar untuk dibagi di komunitasnya.
Mat Kodak ada benarnya, jika kamera adalah apa yang ingin kita lihat dari dunia bisa jadi kita hanya ingin melihat Viki dan kaum marginal lainnya menjadi objek. Jika itu yang terjadi terminologi desa dan kota ala Viki akan terus abadi. Coba sesekali serahkan moncong kamera anda ke “orang katro” dalam istilah Viki. Pelajari apa yang mereka anggap menarik, dunia apa yang mereka ingin lihat. Pecahkan jembatan subjek dan objek dalam memotret. Beri mereka kepercayaan diri bahwa mereka juga bisa melakukan apa yang bisa kamu lakukan niscaya itu lebih berguna ketimbang menjual air mata dalam foto anda.
Hari itu Viki tersenyum bangga karena bisa menggunakan kamera. Ratusan kilometer dari tempat Viki memegang kamera untuk pertama kalinya, Ed Zoelverdi si Mat Kodak telah damai di liang kuburnya. Di alam sana Mat Kodak pasti ingin melihat kamera jadi alat perubahan memandang dunia, seperti yang ia lakukan sepanjang hidupnya. Melihat tangan Viki gemetar lalu tersenyum sesaat setelah memfoto, saya tahu kita masih punya harapan pada dunia fotografi negeri ini.
Like this:
Like Loading...
Related