“Kok tadi nggak ngajar tho Pak?” tanya Sella pada saya saat kami bertemu di jalan depan sekolah. Senin lalu saya memang tak masuk sekolah karena harus mengantarkan infocus ke kediaman rekan di kecamatan lain dan mengambil paket buku di kantor pos untuk olimpiade sains. Untuk mencapai dua tujuan itu terpaksa saya tidak masuk sekolah karena jarak yang jauh dan jam kerja kantor pos yang hanya sampai pukul satu siang. Jika saya memulai perjalanan dari siang maka melewati hutan karet yang rawan di malam hari jadi taruhannya.
Sella dan mungkin puluhan murid lain jelas kecewa saat saya tidak masuk. Mereka juga kecewa jika saya membatalkan les tambahan di luar sekolah. Tak ketinggalan mereka juga kecewa ketika saya terus menunda membuat kebun kelas yang sudah saya janjikan sejak lama. Namun beberapa kesibukan seperti berkoordinasi untuk menjalankan program atau mengurus hal teknis seputar program jelas membuat harus ada yang dikorbankan. Dan saya mengaku terkadang saya mengorbankan murid-murid saya, mengorbankan mereka yang memanggil saya dengan sapaan “Bapak”.
Setelah pertanyaan Sella di sore hari itu saya banyak merenung. Kepercayaan itu mahal harganya, ia dan 120 siswa lainnya di SDN 01 Margajaya percaya pada saya. Mempercayakan apapun pada saya, seorang yang selama 23 tahun baru kali ini mendapat sapaan Bapak. Menjadi Bapak adalah pekerjaan berat, menjadi Bapak adalah sebuah kepercayaan bukan sebuah status.
Pertanyaan Sella juga membuat saya berpikir mengenai Bapak saya. Orang yang saya beri kepercayaan untuk masa depan saya. Sosok yang selama 23 tahun menjadi pemimpin saya. Kini setelah 23 tahun saya mendapat sapaan serupa oleh anak-anak murid.
Saat kecil dulu saya sering memprotes ketika teman saya memiliki Tamiya yang larinya kencang. Sementara saya tak pernah dibelikan. Atau ketika banyak teman saya memiliki Play Station model terbaru namun saya tak jua memilikinya. Beranjak remaja saya sebal karena tak diperbolehkan naik motor sebelum usia tujuh belas tahun sementara rekan-rekan saya sudah mondar-mandir naik motor kesana-kemari.
Saya juga sebal setengah mati ketika saya tak diperbolehkan masuk Institut Kesenian Jakarta (IKJ) untuk mengejar cita-cita menjadi sutradara. Atau bagaimana Bapak saya memaksa saya masuk jurusan IPA agar menjadi seorang dokter. Dan saya lebih memilih membohonginya dengan memalsu tanda tangan dan masuk jurusan IPS. Tak menyerah sampai situ Bapak saya meminta saya masuk Fakultas Ekonomi yang akhirnya berakhir juga dengan pembohongan. Saya menyatakan bahwa Ekonomi adalah pilihan pertama saya saat masuk UGM padahal saya menuliskan Komunikasi.
Semua hal itu membuat Bapak saya terkadang kecewa. Impiannya memiliki anak dokter atau ekonom habis sudah. Saya lebih memilih menjadi kuli tinta serabutan dengan masuk jurusan komunikasi. Kami pun jarang berbincang perihal masalah ini.
Hubungan Bapak dan anak adalah sebuah anak panah, bukan dialog. Ia terbang melayang meninggalkan busurnya, melayang pergi. Namun laju si anak tetaplah hasil kerja keras busur. Anak panah tak berdialog lagi dengan busur, ia adalah lompatan dan hasil dari busur. Itu kenapa idiom anak laki-laki diciptakan untuk menjadi musuh bapaknya muncul ke permukaan.
Senin kemarin, setelah Sella menanyakan kenapa saya tidak masuk sekolah saya tahu saya telah menjadi Bapak bagi anak-anak. Semua yang saya lakukan pada dasarnya demi anak murid saya, sebuah alasan yang juga sering dinyatakan Bapak saya ketika kami tak lagi Sholat Maghrib berjamaah. Ketika Bapak lebih sibuk dengan pekerjaannya. Ya itu untuk anaknya.
Tapi anak tak meminta lebih dari sekedar kehadiran Bapak. Ia tak meminta sebuah grand project masa depan yang gemilang. Yang ia butuhkan Bapak menjadi teman dirinya. Senin lalu saya gagal menjadi Bapak, Senin lalu saya tak ubahnya menjadi bapak sejuta umat yang berlindung di balik idiom semua demi sang anak.
Dua puluh tiga tahun dan hanya lewat sebuah sapaan kecil saya paham mengapa Bapak saya tak selalu ada buat saya dulu. Sella menyadarkan saya untuk memposisikan diri sebagai Bapak. Saya sadar saya terlalu egois dan tak pernah menuruti apa kata Bapak saya. Kini saya benar-benar tahu semua yang dilakukan Bapak sesungguhnya buat saya. Untuk memahami “Bapak” kita memang terlebih dahulu harus menjadi “Bapak”.
*ditulis sambil mendengarkan Father and Son-nya Cat Stevens. Lagu terbaik yang bisa menggambarkan hubungan Bapak dan Anak.