Tentang Raket Nyamuk
“Mati lampu Pak Ardi,” sambut Mbah saat saya memasukkan motor saya ke halaman rumah. Mbah menunggu saya di kursi yang diletakkan di luar rumah sambil memegang raket nyamuk miliknya. Saya kemudian duduk di sampingnya untuk sekedar mengobrol singkat tentang banyak hal. Dari mulai keluhannya karena mati lampu sampai petuahnya mengenai calon istri saya kelak. Entah sudah tak terhitung perbincangan intens seperti itu antara saya dengan Mbah Satinah.
Mbah senang menunggu saya di depan dan menyambut saya dengan senyum khasnya. Sebuah ritual yang juga dilakukan oleh Ibu saya ketika saya pulang malam, menunggu di ruang tamu sampai saya pulang. Pun dengan Bude ketika saya menumpang tinggal di rumahnya saat kuliah, ia kerap menunggu saya di ruang depan sampai suara motor saya terdengar di kupingnya. Dengan mata sedikit merah menahan kantuk ia membukakan pintu untuk saya. Manis rasanya.
Kini saya disambut Mbah, bukan Ibu kandung atau Bude kesayangan saya. Malam ini kami mengobrol layaknya keluarga, layaknya dengan ibu saya sendiri. Saya bercerita tentang kehidupan keluarga saya, harapan saya tentang masa depan dan disambut amin oleh Mbah. Ia kini orang terdekat saya, tanpa hubungan darah.
Sambil mengobrol ia mengayunkan raket nyamuknya. Melindungi saya dari serangan nyamuk. Seperti melindungi anaknya sendiri yang hendak tidur. Kami sudah sangat dekat, layaknya keluarga. Di tengah pembasmian keluarga nyamuk oleh raket nyamuk, benda itu juga bersaksi ada interaksi intens tanpa hubungan darah antara saya dan Mbah. Keluarga? Mari kita tanya Mie Instan saja.
Tentang Mie Instan
Tentang Mie Instan

Saya terbangun ketika rekan satu penempatan saya, Arga, menyenandungkan ayat-ayat Quran dengan suara yang manis. Malam itu saya menginap di rumahnya karena ia mengundang saya memberi materi di TPA dekat rumahnya. “Udah subuh Ga?” tanya saya basa-basi untuk membuka perbincangan pagi. “Udah We, kalau mau sholat, air wudhunya udah aku timbain kok, tinggal dipake aja,” balas Arga dengan senyum malaikat. “Makasih Ga,” balas saya singkat ke belakang sambil pergi dengan mata masih berkatung.
“Makan dulu ya We,” ajak Arga saat saya selesai Sholat Subuh. “Tapi Ga, kan kita buru-buru,” sergah saya cepat-cepat. “Udah makan dulu aja, aku senang makan sama Pak Imam, suasananya hangat meski lauknya sederhana,” jawab Arga tentunya dengan senyum malaikatnya. “Siap Ga,” balas saya singkat.
Arga kemudian banyak bercerita ia seperti menemukan keluarga baru dengan tinggal bersama hostfam yang juga kepala sekolahnya, Pak Imam. Ia bercerita kehangatan yang dihadirkan saat makan, canda tawa keluarga ini dan beragam hal kecil lain di kesehariannya bersama Pak Imam membuatnya merasa nyaman. Saya tak menyangkal hal itu, jujur saya juga merasakan kehangatan ketika makan bersama.
Mie Instan itu terasa begitu lezat ketika Arga dan Pak Imam saling bersenda gurau membicarakan rencana pelatihan untuk Guru TK dan PAUD. “Ayo Mas Ardi ambil mienya,” tawar Pak Imam pada saya. Tanpa pikir panjang saya langsung menambahkan Mie Instan ke nasi saya sebagai lauk. Sambil memakan mie instan saya melihat senyum Arga, melihat senyum seseorang yang bertemu kenyamanan dan kesederhanaan. Bertemu Keluarga? Mari kita tanya Sofa.
Tentang Sofa

“Kayanya orang yang gak mau berkeluarga pun, dateng kesini bakal jadi mau berkeluarga deh Din,” kelakar saya singkat pada Dina saat kami mengunjungi IKEA di negeri Jiran. Dina kemudian mengatakan bahwa pemikiran saya mungkin saja terjadi. Ia beralasan karena IKEA menata segalanya dengan sangat detail dan nyata. Kamar tidur anak misalnya benar-benar diisi dengan buku dongeng untuk anak-anak. Pun dengan beragam ruangan lainnya.
Namun Dina kemudian mengemukakan sebuah pendapat yang menarik. “Tapi di tempat-tempat kaya gini bakal selalu ada orang-orang yang kesepian dan cuma bisa lihat orang lain senang, tuh lihat kakek itu,” jelas Dina sambil menunjuk seorang kakek yang duduk di sebuah sofa sambil menunggu anak dan cucu-cucunya berlarian riang gembira. “Kakek kaya gitu enggak satu dua di tempat gini tapi banyak,” tambahnya.
Mungkin Dina terlalu sinis memandang kebahagiaan yang dihadirkan IKEA. Namun kenyataannya apa yang dikatakan Dina tak dapat ditampik. Di gerai legendaris asal Swedia penyedia layanan membahagiakan keluarga dengan menyediakan segala perabot untuk sebuah home tidak hanya house kakek itu duduk di sofa. Memandang keluarganya dengan penuh kekosongan. Ia hanya bisa membayangkan jika saja ia menjadi bagian dari keceriaan itu.
Di tengah keceriaan keluarganya sang darah pertama penyumbang sperma hingga lahirnya anak cucunya hanya bisa termenung. Ia duduk di sebuah sofa di sudut IKEA. Di sofa itu mungkin ia berpikir masihkah ia menjadi bagian dari keluarganya. Masihkah ia sebuah bagian integral yang esensial diantara hiruk pikuk sebuah entitas bernama keluarga. Yang hari ini berkunjung ke IKEA untuk mewujudkan mimpi membangun home sweet home. Di sofa itu sang kakek banyak bertanya tentang keluarga.
Tentang Mie Instan Yang Dikerubungi Nyamuk di Sofa
Banyak orang bilang bertemu dengan orang baru dan hidup dengannya akan identik dengan menemukan keluarga baru. Sebuah istilah yang menurut saya sangat aneh, keluarga baru. Apa gunanya keluarga diperbarui atau mengapa tak keluarga ganti. Bukankah lebih baik mengganti sesuatu yang tidak baik ketimbang memperbaruinya. Ketimbang sekedar ditambal, ban dalam akan lebih aman diganti ketika bocor. Pun keluarga, mengapa perlu keluarga baru jika bisa diganti.
Mungkin kita menggunakan kata ganti “baru” karena kita tak pernah berani meninggalkan yang lama. Selalu ada keterikatan di dalamnya. Baru dan lama bisa jadi oposisi biner namun keduanya juga punya kedekatan yang dalam ketimbang lama dan ganti misalnya.
Tak ada keluarga baru bagi saya. Semuanya hanya pertemuan yang intens semata. Pun ketika kita menganggap makan mie instan dengan keluarga Pak Imam atau menepok nyamuk dengan raket nyamuk bersama Mbah sebagai sesuatu yang menyentuh dan membentuk keluarga baru. Bagi saya mereka bukan keluarga baru, mereka hanya pengingat pada keluarga. Mereka hanya pembanding yang mengingatkan arti esensial sebuah keluarga.
Raket nyamuk Mbah misalnya mengingatkan saya dengan Ibu dan Bude saya. Mie Instan yang disantap bersama Pak Imam mungkin mengingatkan Arga akan kehangatan sebuah ruang makan. Pun dengan si kakek di sofa yang memandang IKEA sebagai pembanding kesederhanaan rumahnya dahulu mungkin, tentu sambil bengong di sofa.
Raket Nyamuk, Mie Instan maupun sofa hanya pembanding akan sebuah keluarga yang hilang, Yang mungkin kita temukan pada momen-momen tersebut. Namun tetap saja mereka tak bisa menggantikan keluarga yang sebenarnya. Hubungan darah tak mengenal kata baru. Bahkan saat hubungan darah itu terasa kering dan kosong pun ia tak pernah bisa diperbaharui. Tidak oleh raket nyamuk, tidak oleh mie instan atau sekedar sofa di IKEA. “Akeh nyamuk Pak Ardi,” tutur Mbah sambil membunuh anggota keluarga nyamuk dengan raket nyamuknya.
*ditulis sambil mendengarkan Carnival. Sebuah lagu yang ingin dijadikan sebagai lagu pengantar kematian oleh rekan saya.
mantan pacar,suami-istri ki ono
tp mantan anak, sedulur, keluarga ki ra mungkin
mbuh nyambung ra, haha
LikeLike