Beberapa waktu lalu ketika mati lampu saya mengobrol dengan Mbah Satinah. Ia bertanya tentang kuliah saya, “Pak Ardi rumien sekolah e ten pundi ?” tanyanya polos. Setelah bercakap-cakap panjang mengenai kehidupan kuliah saya dulu dan bagaimana Ibu saya sangat senang ketika saya menjadi anak kuliahan topik pembicaraan kami beralih. Mbah bercerita mengenai Edi, cucunya yang tinggal serumah dengan kami.
Mbah mengatakan ingin melihat Edi kuliah, sayang Edi tak sependapat dengan dirinya. “Edi niku jarene bade istirahat setahun lagi sekolah maleh Pak Ardi, njaluk motor tanglete (Kata Edi, dia mau istirahat dulu setahun baru kuliah lagi, dia juga meminta motor),” ujar Mbah. Ditemani penerangan seadanya dari lilin Mbah meneruskan ceritanya, ia menuturkan Edi ingin memiliki motor besar seperti teman-teman sekolahnya. Alasannya agar motor itu bisa ia gunakan untuk transportasi saat kuliah.
Namun harga motor yang Edi minta tak kecil, sehingga siswa kelas 3 SMA ini mengatakan untuk membeli motor terlebih dahulu baru kuliah pada tahun berikutnya. Malam itu Mbah meminta pendapat saya. Secara garis besar saya mengatakan akan mengobrol dengan Edi dan menyarankan dia untuk kuliah di tahun ini juga. “Apik e ngoten niku geh Pak (Bagusnya seperti itu ya Pak)?” tanya Mbah polos. Hanya anggukan kepala yang saya berikan untuk menjawab pertanyaan Mbah. Saya bisa merasakan kegelisahan Mbah.
Saya menemui Edi keesokan harinya. Ia mengatakan ingin memiliki sebuah motor Yamaha Vixion berwarna merah. Keinginannya itu karena rekan-rekannya juga telah banyak yang memiliki motor sejenis. Ia juga mengatakan ingin berkuliah namun tetap bersikukuh untuk memiliki motor baru terlebih dulu.
Jika dilihat kondisi motor Edi yang lama memang memprihatinkan. Motor lamanya adalah sebuah Astrea Grand yang dibeli seharga 7,5 juta beberapa tahun yang lalu. “Pas anyar-anyar e musim dealer motor ten meriki tukune niku Pak Ardi (Belinya sewaktu baru-barunya dealer motor ada disini itu Pak Ardi),” ujar Pak Boiman, ayah angkat Edi. Seperti layaknya pemuda di daerah ini ia mengutak-atik motornya sampai motornya tak berwujud normal lagi. Kondisi motornya sudah memprihatinkan. Namun menggantinya dengan motor laki-laki seharga dua puluh juta lebih hanya untuk transportasi kuliah jelas berlebihan. Satu yang pasti alasan Edi karena tekanan dari peer groupnya, sebuah hal yang sangat wajar dialami oleh remaja seusianya. Saya bisa merasakan apa yang dirasakan Edi.
Perbincangan dengan Mbah membuat saya sadar bahwa pikiran saya sudah semakin tua. Saya menggunakan cara pandang orang tua dalam menghadapi Edi. Saya menyingkirkan segala atribut kekerenan anak muda yang ingin tampil beda dengan motor laki-laki. Sementara perbincangan dengan Edi membuat saya sadar saya pernah merasakan masa itu, merasakan masa menjadi Edi yang tak pernah tahu sebuah istilah bernama prioritas. Saya pernah membeli frame sepeda gunung yang menguras seluruh tabungan saya. Padahal saya lebih memerlukan sebuah komputer jinjing. Semua orang pernah mengalami masa menjadi Edi.
Seseorang yang pernah dekat dengan saya pernah mengatakan ia ingin menikah muda, ia tak mau jarak antara dirinya dengan anaknya terlalu jauh. Ia ingin bisa memahami anaknya dan tak menggurui. Saya hanya tersenyum mendengar ucapannya, pendapatnya yang cerdas memang selalu bisa membuat saya tak bisa beropini.
Perbincangan dengan Mbah dan Edi membuat saya memahami perkataannya. Ada kalanya ketika kita merasa menjadi bagian dari seorang anak muda sekaligus menjadi seorang tua. Menjadi setengah Mbah dan setengah Edi. Tak ada yang salah dengan itu.
Dua bulan lagi usia saya hampir menginjak seperempat abad, sebuah usia yang tak bisa dibilang muda dan juga tak bisa dianggap tua. Sebuah usia peralihan yang membuat bingung harus mengaku anak muda atau tua. Namun ada satu analogi penting untuk menyikapi ini.
Dalam babakan drama konvensional, babak ketika resolusi menuju ending dinamakan dengan suspend. Ini adalah babak ketika konflik mereda dan seorang tokoh mulai berdamai dengan keadaan, mulai berpikir secara lebih dewasa. Namun di kala ini sang tokoh juga masih merasakan sisa konflik yang masih membekas dan akan memberi pengaruh pada jalannya kelak.
Menjadi Edi adalah sebuah konflik yang selalu ditemui setiap manusia. Tekanan peer group, impian yang mengambang dan segala problematika klasik khas anak muda. Sementara Mbah Satinah telah sampai pada tahap ending dimana buatnya hidup adalah soal rasa syukur. Suspend berada di tengah keduanya.
Boleh jadi generasi saya sedang menjajaki suspendnya masing-masing. Sayangnya kehidupan bukanlah drama, tak ada durasi yang jelas antara setiap babak. Generasi saya sudah menyelesaikan konfliknya, menyelesaikan tuntutan kuliah dan mendapat pekerjaan. Namun kami masih menuju jalan panjang sampai resolusi. Saya pribadi menikmati suspend saya.
Malam tadi Edi sakit. Ia berteriak-teriak meminta pertolongan saya dan Mbah Satinah. Badannya panas tinggi dan ia muntah-muntah dalam jumlah yang banyak. Di kegelapan malam sang anak muda memohon kepada yang tua untuk menolongnya. Mbah mengompres Edi dengan kaos putih milik saya. Di tengah kegelapan malam saya melihat konflik dan resolusi saling bertemu. Mereka berdamai lewat kompres. Bila saja ini sebuah drama mungkin saya adalah layar hitam peralihan sebelum semua orang pergi meninggalkan pentas.
* Terimakasih untuk Mbak Ajeng Herliyanti (@angliyan) yang telah mengenalkan saya dengan konsep Suspend. Tulisan ini saya dedikasikan untuk Edi yang sedang dirawat di klinik kampung sebelah.