Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Mbah Satinah (72 tahun) calon pengganti Adib Hdayat di Rolling Stone.
Saya ingat dalam sebuah wawancara dengan seorang musisi (so called) indie di Jogja saya sempat iseng dan sedikit tak sopan. Selesai sesi wawancara resmi saya bertanya, “Mas, pernah mikir enggak kalau apapun lagu yang Mas buat bisa jadi dianggep bagus, sesampah-sampahnya lagu itu, pernah mikir kaya gitu Mas?”. Pertanyaan saya itu didasari karena si Mas-Mas musisi ini sudah punya nama di belantika (oh istilah ini sangat 90-an sekali) musik Jogja. Sehingga apapun yang ia keluarkan saya rasa bisa jadi (dianggap) keren, pun misalnya musik yang ia hasilkan jelek.

Mendengar pertanyaan itu dia tertawa terbahak-bahak. Tapi kemudian ia menjawab serius. Ia mengatakan itu salah satu ketakutannya. Makanya ia ingin sekali mendapat second opinion tentang musiknya dari orang biasa, dari grass roots. Bukan dari orang yang terlibat di sebuah scene musik atau paham masalah (maaf istilah ini harus keluar) musik indie-indiean. Dari situ sehingga ia bisa mendapatkan masukan objektif mengenai musiknya. Bahkan bisa jadi musiknya yang di media-media dianggap kontemporer, cult atau istilah yang berat-berat itu hanya dianggap sampah oleh masyarakat akar rumput. Pendapat yang sangat menarik bagi saya.

Dua hari lalu saya iseng mendengarkan Risky Summerbee and The Honeythief saat menulis postingan blog sebelum ini di ruang tamu hostfam saya. Saat itu saya mendengarkan “Where Are We Heading To”, sebuah nomor dari Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) yang bicara soal banyak hal. Sebuah nomor yang mungkin di majalah-majalah atau webzine akan diulas dengan cukup dalam dengan teori-teori yang ndakik. Tanpa sengaja Mbah Satinah, hostfam saya, mendengarkan lagu itu dan berucap atau tepatnya protes, “Niku lagu kok isine wong grenengan ra ceto tho Pak Ardi (Itu lagu kok isinya orang bergumam tidak jelas Pak),” protes Mbah. Seketika itu pula saya tertawa terbahak-bahak dan teringat apa yang dikatakan sang musisi saat menjawab pertanyaan iseng saya.

Mbah Satinah kini berumur 72 tahun dan merupakan transmigran Jawa. Jelas ia tak mungkin tahu apa itu musik indie dan beragam gimmick seputar scene ini. Ia adalah sosok yang bebas dan tak tersentuh atau tak mau menyentuh musik indie dalam beragam akses. Maaf intermezzo, gatel nih ngomongin inda indie terus, jangan ikutan gatel ya. Dari situ saya kemudian berpikir jikalau ada orang yang cocok menjadi, dalam istilah sang musisi di awal tulisan ini, second opinion maka Mbah Satinah orang yang cocok.

Berangkat dari situ saya kemudian mencoba mendesain sebuah kegiatan iseng untuk meminta Mbah menilai band-band indie atau penyanyi yang saya hormati atau saya anggap keren. Tujuannya sederhana yakni saya hanya ingin tahu pendapat Mbah tentang musisi dan karya yang dihasilkan oleh mereka yang saya anggap bagus. Tentu memang tak adil menempatkan Mbah sebagai penilai, karena toh musisi itu menghadirkan musik itu untuk para generasi referensi, generasi Y, sementara Mbah bukan bagian dari generasi itu.

Log “Satinah” Zhelebour mendengar dengan seksama musik indie.

Tapi tak ada salahnya meminta pendapat dari orang yang sama sekali tak tergerus arus informasi tentang musik. Bukankah kadang kita malu mengatakan misalnya grup A jelek hanya karena review dari blablabla Stone bilang ia bagus. Atau takut dibilang kurang keren karena bilang musik si B jelek hanya karena blablabla Beat sudah mengupas band itu dengan sangat detail. Mbah tak mungkin mengalami hal itu, dengan begitu opini yang keluar sangat orisinil, ia akan beropini murni soal musik yang dihadirkan.

Dari pengalaman celetukan Mbah terhadap music RSTH itu saya kemudian berinisiatif untuk mengajak Mbah mereview band indie setiap minggunya. Review ini dinamakan dengan #BerpacuDenganMbahTinah. Konsepnya sederhana yakni Mbah akan mereview dua band indie setiap minggunya. Kegiatan ini sendiri akan diadakan pada saat Senin atau Kamis. Alasannya karena kadang Mbah melakukan puasa sunah Senin dan Kamis jadi sekalian untuk ajang ngabuburit Mbah Satinah. Dengan itu pula tagline acara ini adalah “Salam Indie Satu Jari” yang berarti biar indie tapi jangan lupa menghormati yang puasa Senin Kamis (oke itu tadi kalimat paling tak penting dari tulisan ini). Ngabuburit sambil denger musik indie, ah anak gaul sekali bukan Mbah Satinah ini?

Kemarin ada tiga band yang direview Mbah yakni The Adams, Brilliant at Breakfast dan Vox. Komentar Mbah kebanyakan konyol seperti menyebut The Adams dengan Nabi Adam atau Brilliant at Breakfast dengan Berlian ten Brebes. Lebih dari itu ia sering mengomentari bahwa band-band itu (ia menyebut band dengan penyanyi) terlalu kemriyek atau bising sehingga suara vokalnya kurang terdengar. Atau mengatakan lagu mereka aneh dan yakin lagu-lagu itu tidak laku dan yang paling sangar adalah mengkritisi suara vokalis Brilliant at Breakfast dan Vox yang ia anggap kurang pas. Secara umum komentar Mbah amat jujur dan sederhana, khas komentar masyarakat akar rumput.

Mungkin komentar Mbah sederhana dan tak dapat dibandingkan dengan komentar kritikus musik bertrah Sakrie. Namun komentar Mbah yang ceplos-ceplos berhasil meruntuhkan kekerenan image band indie tersebut. Ia berhasil menjadi second opinion yang begitu jujur. Tanpa sebuah tendensi ingin dianggap keren atau apapun.

Log “Satinah” Zhelebour sedang mencari band indie berbakat.

Mbah berhasil menghancurkan musik indie sebagai canon baru di generasi 2.0 (ah saya berlebihan sekali). Tapi yang jelas buat saya Mbah Satinah kembali mengingatkan anak indie bahwa mungkin kita sudah berjarak dengan masyarakatnya sendiri. Riuh rendah sendiri dan tanpa relevansi yang jelas dengan kondisi masyarakat akar rumput. Jikalau indie berarti sebuah gerakan perubahan bukankah kemudian ia menjadi stagnan dan menjadi canon baru yang sama sekali tak indie. Sebelum itu terjadi Mbah Satinah melalui #BerpacuDenganMbahTinah mengingatkan anak indie untuk insaf dan sadar diri.

*dibuat sambil mendengarkan The Adams dengan perasaan yang sama sekali berbeda sebelum dikomentari Mbah. #BerpacuDenganMbahTinah bisa diikuti di akun twitter saya @ardiwilda setiap Senin atau Kamis menjelang Maghrib dan pukul 21.00 WIB. “Salam Indie Satu Jari” untuk kita semua.

2 thoughts on “Berpacu Dengan Mbah Tinah

  1. hahahaha, awe asyuuuuu :))

    Like

  2. Eka says:

    Eh We, minta direct quote-nya Mbah Tinah dong yang soal musik Breakfast apa bisa laku. Lagi ngumpulin materi official website nih, buat dipajang di daftar review. Thanks. xD

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: