Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Saya masih ingat setiap detail kejadian beberapa tahun lalu. Dengan mengayuh sepeda BMX bermerk Wim Cycle saya pergi ke Bioskop Buaran. Sebuah bioskop kecil di bilangan Klender Jakarta Timur. Jika anda bertanya mengenai bioskop ini pada Kelas Menengah yang tinggal di Jakarta Timur bisa jadi anda tidak akan mendapatkan sebuah jawaban, melainkan tawa penghinaan.
Bioskop Buaran adalah sebuah bioskop kecil yang fasilitasnya sangat minim. Pendingin udara yang hampir rusak maupun tempat duduk yang jauh dari kata nyaman. Segmen bioskop ini memang menengah ke bawah sehingga jangan salahkan bila fasilitas mereka minim. Namun di bioskop itu saya mendapat banyak hal.
Saya senang menonton di bioskop itu. Ketika saya berkelahi dengan kakak, ketika teman-teman SMA menganggap saya anak nerd, pun ketika saya tak ada kerjaan. Saya akan mengayuh sepeda Wim Cycle saya menuju bioskop kelas dua tersebut, sendirian. Ia seperti arena bermain paling menyenangkan bagi saya. Mungkin selain sepeda, Bioskop Buaran boleh jadi menjadi salah satu teman terbaik saya.
Melihat lampu dari proyektor yang mulai menyala. Kilatan warna dasar merah, hijau, dan biru saling bergantian muncul dari proyektor seperti melihat sebuah pertunjukan kehidupan dalam kilatan cahaya sederhana. Lalu lampu bioskop mati dan saya menikmati kesendirian saya. Melihat apapun film itu, terinspirasi menjadi superhero lewat X-Men, mengutuk kegilaan wartawan di Shattered Glass, atau sekedar berdecak kagum melihat pawai mobil mewah di Fast and Furious. Saya menikmati setiap detail di bioskop, sendirian. Maka jangan heran jika orang yang mengatakan pergi ke bioskop sendiri adalah keanehan bagi saya cocok mendapat kursi ketua MUI. Bioskop adalah teman kesendirian saya.
Hijrah ke Jogja saya menemukan Bioskop Buaran versi lain. Permata nama bioskop itu. Sebuah bioskop yang saya kenal dari tugas kuliah. Bagi teman akrab saya mungkin akan bosan mendengar kisah ini, mendengar bagaimana kekaguman saya dengan Permata. Namun ijinkan saya sekali lagi menceritakannya.
Permata adalah cinta pertama saya di Jogja. Banyak orang menganggap bioskop ini hanya tempat mesum belaka. Namun ketika saya intens mengunjungi bioskop ini, saya pernah melakukan riset sederhana sekaligus membuat film dokumenter tentang bioskop ini (dapat dilihat di sini). Saya jatuh hati pada bioskop ini.
Di bioskop ini saya bisa masuk ke ruang proyektor. Dulu saya hanya melihatnya dari kursi penonton. Menengadahkan kepala sekedar untuk melihat kilatan cahaya ajaib dari prpyektor 35mm. Saya kini bisa mengendalikan sendiri kilatan cahaya 24 frame per detik di tengah tumpukan rol film. Buat saya berada di ruang proyektor adalah sebuah surga kecil. Saya serasa Salvatore di Cinema Paradiso. Menatap kagum proyektor, menonton penonton dari atas bioskop, dan Oh Tuhan adakah yang lebih indah dari ini? Dari situ saya berjanji kelak anak saya akan selalu saya ajak ke bioskop menonton beragam film.    
Tahun bergulir dan saya belum mempunyai anak tentu saja. Namun saya memiliki “anak-anak” yang saya cintai. Murid-murid saya sendiri, oke sampai disini saya akui di tulisan ini terlalu banyak bedak, tak apalah. Saya memang tak menemui Lili, Nixie maupun Nadira Nanar, iya itu calon nama anak-anak saya kelak. Tapi saya bertemu Vai, Amar, Egi, Dimas, Sudi, Widodo dan banyak anak lainnya yang saya kagumi. Mereka menjadi teman saya.
Sayang Vai dan teman-temannya tak memiliki pelarian layaknya bioskop bagi saya untuk bermain. Padahal mereka senang bermain, mereka senang menonton. Oke jika kalimat tadi saya lanjutkan anda bisa mengira saya kelas menengah yang sedang terkena romantisme ketidak adilan sosial, tenang saya masih waras.
Saat saya tanya mengenai film Vai menjawab senang menonton Jet Li maupun Jackie Chan di televisi. Namun ia mengeluh film mereka sering hanya diulang-ulang di televisi. Vai senang menonton namun ia tak memiliki akses untuk menonton sebuah film yang beragam. Ia tak bisa sekedar mengendarai “Wim Cycle” dan sampai di “Bioskop Buaran” untuk kemudian disuguhi beragam film yang membuat saya merasa memiliki teman saat remaja.
Kami lantas mencoba membuat bioskop kami sendiri. Bioskop sederhana dengan sebuah proyektor digital hasil sumbangsih Andrea dan rekan-rekan KKN-nya. Vai, Dimas, Amar, Sudi maupun Widodo senang saat menonton. Saya tahu apa yang mereka rasakan saat menonton, sangat tahu.
Menatap wajah Amar terkena pantulan cahaya yang berkedip-kedip dari proyektor, melihat mata Vai yang memantulkan gambar film yang ia tonton, menyaksikan Widodo tertawa saat melihat sebuah adegan lucu, atau melihat kerut di dahi Dimas saat mencoba mencerna cerita mengingatkan saya pada diri saya sendiri. Mengingatkan masa kecil saya di Bioskop Buaran ketika film berarti seorang teman. Ketika film adalah sebuah lompatan cahaya dari ruang proyektor. Menyaksikan film adalah sebuah momen ajaib yang selalu kami nanti.
Amar maupun Vai mungkin takkan pernah tahu hari ini adalah hari film nasional. Ia jelas tak mengetahui sosok Usmar Ismail yang membuat hari ini menjadi hari film. Namun mereka tahu gambar 24 frame per detik itu telah berhasil membuat mereka kagum. Membuat mereka terus meminta untuk menonton. Namun saya bukanlah distributor film yang selalu punya persediaan film.
Jujur film koleksi anak-anak saya tak lengkap. Saya ingin sekali membagi kebahagiaan tersorot cahaya dari proyektor dapat terus dirasakan murid-murid saya. Kami masih ingin bioskop kami menyediakan sebuah momen magis bernama pengalaman menonton.
Bioskop ini bioskop bersama. Bioskop yang dibangun atas nama keinginan menonton dan berbagi. Semua orang berhak terlibat di Bioskop ini, termasuk anda.Dan ya anda pasti tahu jalan pikiran saya, jika anda memiliki dan bersedia mengirimkan DVD pada kami untuk kami tonton bersama anda laksana Woody Allen bagi kami. Saya hanya ingin melihat kilatan cahaya dari proyektor bisa terus menerpa wajah murid-murid Vai dan teman-temannya. Pun saya masih ingin melihat mereka bermimpi membuat film. Bermimpi mereka menjadi Usmar Ismail muda, menjadi penulis sehebat Asrul Sani, atau menjadi programmer di Kineforum.
Tenang, saya tak akan menutup tulisan ini dengan mengutip Spielberg ataupun sebuah perkataan di Super 8. Juga jangan kuatir karena saya takkan mengulangi lagi quote klasik dari Cinema Paradiso. Saya hanya ingin bioskop menjadi milik semua. Boleh jadi dari kilatan cahaya itu muncul mimpi-mimpi mereka. Hanya film yang bisa membawa mereka melihat dunia luar secara langsung. Film yang anda kirim adalah awal mimpi bagi mereka.

* Video mengenai bioskop bisa dilihat di sini. Jika anda ingin menjadi Woody Allen dengan mengirimkan film caranya mudah. Alamatkan DVD anda untuk Ardi Wilda dengan alamat Kantor Pus Unit 2, Jalan Lintas Timur Tulang Bawang, Lampung. Semoga banyak Woody Allen di luar sana. Selamat Hari Film Nasional.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: