Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Keluarga Boiman bersiap pergi ke pasar malam.
“Wah Mas, kulo bade ten Pasar Malam, anak kulo pun rewel, nyuwun sewu mas (Wah Mas saya mau ke pasar malam soalnya anak saya sudah rewel, maaf ya Mas),” ujar Ibu Titin ketika saya hendak membeli es buah di tempatnya. Ibu Titin adalah seorang pedagang es buah dan mie ayam di pasar dekat kediaman saya. Perbincangan tadi terjadi sekitar pukul tujuh malam ketika saya hendak membeli es buah di tempatnya. Ia menolak menjual dagangannya karena bersiap-siap menuju pasar malam.
Bagi saya menolak rejeki hanya karena pasar malam sangat aneh. Namun saya tak mau langsung menghakimi. Satu-satunya cara memahami pemikiran itu tentu saja dengan pergi ke pasar malam langsung. Melihat ada apa di sana. Dan mencari tahu mengapa ia sampai menolak rejeki demi pergi ke hiburan rakyat itu. Malam itu pula saya berjanji suatu saat akan pergi ke pasar malam yang ada di kampung sebelah. 
Tadi malam kesempatan itu tiba. hostfam saya, Pak Boiman mengajak pergi ke pasar malam dengan istri dan kedua anaknya. Sebelum pergi ia bersiap-siap terlebih dahulu. Ia mengenakan jaket coklat tebal dengan corak elang di belakangnya. Istrinya mengenakan pakaian muslim warna ungu dengan sedikit melumaskan gincu merah di bibirnya. “Salin sek no Yun, mosok kelambine ra ganti (Salin dulu lah Yun, masak bajunya tidak ganti),” ujar Pak Boiman kepada anak sulungnya, Yuyun, yang duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Salin adalah sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti memakai baju yang pantas untuk suasana tertentu. Selesai salin mereka pergi ke pasar malam menggunakan motor bebek.
Pasar malam itu terletak di lapangan kawasan Traya. Kawasan ini merupakan penyokong perekonomian nomor dua setelah pusat perekonomian di Unit 2 yang terletak di Lintas Timur jalan Sumatera. Pasar Malam ini terletak di lapangan utama kampung bersebelahan dengan SMA 1 Gunung Terang. Sebagai catatan hanya ada dua SMA di daerah ini. Hampir dapat dipastikan letak SMA menunjukkan kestrategisan sebuah tempat. Pasar Malam ini bisa dikatakan sangat strategis, berada di lapangan utama, dekat dengan SMA dan pemukiman penduduk.
Dari jarak jauh pasar malam ini sudah terlihat meriah. Komidi putar terlihat menjulang tinggi dengan hiasan lampu warna-warni. Ratusan motor beriringan menuju arena. Suara lagu dangdut dari mp3 dengan kualitas pas-pasan menggema di udara. Suara itu beriringan dengan efek suara-suara hantu di permainan rumah hantu. Semua keriuhan itu menjelma menjadi hiburan rakyat bernama pasar malam.
Ramon (36) sedang melayani pengunjung komidi putar.
Wajar jika pasar malam ini banyak didatangi pengunjung. Purwanto, seorang pengunjung yang datang bersama anak bungsunya, Dea, mengatakan sudah lama pasar malam tak ada di daerah ini. “Wah sampun dangu mboten wonten ngeten niki Mas, menawi terakhir tigang tahun kepungkur (Wah lama mas tidak ada pasar malam seperti ini, terakhir mungkin sekitar tiga tahun lalu),” jelasnya. Dea juga tak menyia-nyiakan kehadiran pasar malam ini. Bersama bapaknya ia bahkan sudah mengunjungi pasar malam sebanyak empat kali. “Seneng Pak, banyak mainan,” alasan siswi kelas 3 SD ini singkat.
Purwanto ada benarnya, alasan waktu inilah yang dijadikan sebagai dasar diadakannya pasar malam ini. “Kata Bos di daerah sini udah lama enggak ada pasar malam Mas jadi ya kita buka di sini,” ujar Ramon (36) seorang petugas komidi putar. Sambil menengguk anggur merah di botol sebuah minuman energi, malam itu Ramon banyak menceritakan kisah perjalanan pasar malam pada saya. “Anggur Mas?” ajaknya sambil membuka obrolan yang lebih panjang. Ia hanya tersenyum saat saya menggelengkan kepala tanda menolak halus.
Ramon tergabung dalam grup Pasar Malam Bintang Jaya. Ini adalah grup pimpinan seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) bernama Jalal yang tinggal di Bandar Lampung. Malam itu pimpinan grup ini tak ada di tempat. Menurut Ramon grup Bintang Jaya sudah eksis sejak lima belas tahun silam. “Kita mainnya sampai sebrang Mas, kadang ke Serang, Bogor juga pernah,” kata pria yang berasal dari Manado ini.
Ia kembali menenggak anggur ketika melanjutkan ceritanya. “Dulu pasar malam ini main di Kota Bumi Mas, saya tadinya jadi keamanan terus diajak gabung, yaudah ikut aja.” Ia melanjutkan ceritanya dengan mengatakan orang-orang pasar malam adalah orang yang memikul beban berat. Hampir setiap bulan mereka berpindah tempat dengan truk fuso. “Minta izin lagi ke lurah, polisi, belum lagi sama preman-premannya, ribet lah Mas,” ungkapnya.
Tiket komidi putar pasar malam garapan Grup Bintang Jaya.
Pasar Malam ini sendiri sebelumnya berada di kawasan Satuan Pemukiman 1 (SP1) pusat penyangga ekonomi utama di Kecamatan Gunung Agung, Tulang Bawang Barat.  Tepat malam Minggu nanti pasar malam ini berumur satu bulan. Waktu satu bulan juga berarti mereka harus segera pindah. Tujuan selanjutnya adalah Unit 7. Unit adalah sebutan untuk sebuah kawasan yang dekat dengan daerah Lintas Sumatera, pun begitu dengan Unit 7.
Selesai meneguk anggur untuk ketiga kalinya Ramon mengatakan bisnis pasar malam juga tergolong ketat di Lampung. Total ada delapan grup pasar malam. Grup Bintang Jaya adalah grup dengan pegawai paling sedikit yakni hanya delapan orang. “Tapi arena kita paling banyak Mas, ada delapan, kalau yang lain paling cuma punya lima arena,” ujarnya sambil merobek tiket karcis komidi putar untuk seorang pengunjung.
Selain Bintang Jaya tersebutlah grup Pasar Malam Leang-Leong, Kurnia Jaya dan beberapa kelompok lain. Tiap-tiap kelompok ini memiliki daerah kekuasaan bisnisnya sendiri. “Punya daerahnya masing-masing Mas,” jelas Ramon. Namun bukan berarti grup lain tak boleh mengadakan pasar malam di daerah kekuasaan grup lain. “Daerah kekuasaan” merujuk pada daerah mana yang sering didatangi oleh grup tersebut. Bintang Jaya sendiri biasa beroperasi di Lampung Barat dan Kabupaten Tulang Bawang. Dalam operasionalnya mereka membutuhkan beberapa pegawai.
Total Bintang Jaya sendiri memiliki dua puluh orang karyawan dimana setiap pegawai dipasrahi tanggung jawab untuk mengurusi sebuah arena. Ramon misalnya ditugaskan mengurusi komidi putar. “Kita grup yang paling sedikit pegawainya mungkin Mas, yang lain satu arena diurus lima orang, kalau kita paling banyak tiga,” keluhnya.
Melihat pembeli tiket komidi putar yang semakin banyak saya pamit. Sambil kembali menenggak anggur, pria yang lengannya penuh tato ini hanya melambaikan tangan dan tersenyum pada saya. Selesai berbincang dengan Ramon saya kembali menghampiri rombongan hostfam saya. Ternyata Pak Boiman sedang mengajak anak bungsunya, Ilham, bermain pancing-pancingan dengan ikan dari plastik.
Puas bermain pancing-pancingan, Ilham kemudian meminta dibelikan topi. Selain berisikan arena permainan pasar malam ini juga diisi penjual sepatu, sandal dan busana yang membuka lapak. Suasananya persis seperti Sekaten di Yogyakarta. Sekaten adalah pasar malam yang diadakan di alun-alun Yogyakarta sebulan jelang Maulud Nabi. Arena permainan berada di tengah-tengah dan lapak-lapak baju berada di pinggir lapangan. Mungkin susunan semacam ini menjadi template pasar malam di beberapa tempat.
Ilham memilih topi di pasar malam.
Satu keluarga ini mengantarkan Ilham membeli topi. Mereka tampak bahagia ketika hendak berbelanja. Ilham menunjuk topi yang ia inginkan, sementara bapaknya menyeleksi topi yang cocok untuk anaknya. Mungkin idiom berbelanja adalah sebuah cara membeli kebahagiaan ada benarnya. Setidaknya tadi malam saya melihat keluarga ini membeli kebahagiaan lewat sebuah topi.
Sebelum pulang saya mengajak mereka kembali memutari pasar malam sekali lagi. Komidi putar semakin ramai dikunjungi orang, Rumah Hantu masih menampakkan kengerian dengan efek suara menyeramkan. Tak kalah meriah deru gas motor di arena tong setan membuat suara tepuk tangan dari arena terdengar sampai keluar arena. Orang-orang berlalu lalang dengan memegang gulali warna merah jambu. Senyum terpancar di wajah mereka, mungkin sudah lama mereka tak menyaksikan hiburan macam ini. Hiburan murah meriah untuk keluarga seperti ini.
Sambil memandang carousel yang sudah mengarat saya teringat wawancara saya dengan Djonny Syafruddin, ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Saat itu saya mewawancarai beliau mengenai bisnis hiburan bioskop di daerah. Dalam kesempatan itu ia mengatakan dahulu bisnis hiburan bioskop bisa menjadi indikator kemajuan sebuah daerah. Ini didasari fakta bahwa dahulu bioskop pernah menempati urutan ketiga pendapatan daerah dan hampir setiap kabupaten di negeri ini memiliki bioskop. Bioskop menjadi sebuah hiburan rakyat yang digemari.
Tapi coba lihat saat ini, hiburan rakyat bernama bioskop sudah tak ada. Pasar Malam menjadi alternatif hiburan rakyat.  Namun hiburan rakyat alternatif ini baru hadir tiga tahun setelah lama tak ada. Pasar malam ini boleh jadi adalah satu-satunya hiburan di sini. Maka wajar jika ia menjadi sebuah eskapisme masyarakat dari keseharian yang penat.
Tiket untuk naik sebuah komidi putar sebesar lima ribu rupiah, setara dengan setengah pengeluaran untuk konsumsi satu hari orang disini. Di pasar malam mereka melepaskan diri dari gencetan ekonomi sehari-sehari. Mereka melupakan keringat mereka saat mengambil getah karet. Yang mereka tahu pasar malam adalah sebuah arena meriah untuk hiburan.
Kurangnya hiburan rakyat bukan perkara sepele. Coba lihat berapa perputaran uang di pasar malam ini atau secara lebih sepele berapa banyak senyum tersungging di sini. Hiburan rakyat semacam pasar malam membuat sebuah daerah hidup secara ekonomi dan membentuk sebuah dinamika di dalamnya. Adalah sebuah kewajaran ketika kita membutuhkan hiburan. Namun ketika hal itu hanya menjadi milik kalangan tertentu tentu ada yang tak beres di dalamnya. Pasar malam adalah wujud kecil perlawanan mengenai hal itu. Di sana kita bisa melihat masyarakat yang butuh hiburan, haus akan perhatian.
“Ilham e sampun ngantuk Pak Ardi, nek mulih sak niki pripun (Ilham sudah mengantuk Pak Ardi, kalau pulang sekarang gimana)?” tanya Pak Boiman yang membangunkan saya dari lamunan panjang. Saya menganggukkan kepala tanda setuju. Beberapa menit kemudian kami sudah menembus hutan karet untuk sampai di rumah. Lampu warna-warni dan keriuhan pasar malam berubah menjadi rentetan pohon karet nir penerangan.
Keluarga Pak Boiman sepulang dari pasar malam.
Sampai rumah Pak Boiman mengganti bajunya dengan baju untuk tidur. Yuyun, anak sulungnya, membuka gulali yang ia beli di pasar malam. Ilham meminta disuapi gulali, Istri Pak Boiman sibuk membuatkan teh bagi kami di dapur. Kami kemudian mengobrol di depan televisi sambil menyaksikan Tutur Tinular. Di ruangan itu kami membincangkan riuhnya pasar malam yang baru kami datangi. Tanpa terasa gulali dari pasar malam tadi habis dimakan oleh Ilham dan Yuyun. Tak ada keriuhan ala pasar malam di ruangan ini. Di sini kami kembali menjalani kehidupan sehari-hari. Pasar malam telah menjadi sebuah tanda koma di keluarga ini, sebuah jeda untuk menyenangkan pikiran dari segala tuntutan hidup. Istri Pak Boiman hadir menyuguhkan teh untuk kami teguk. Sambil meneguk teh buatan istri Pak Boiman saya mengamini apa yang dikatakan Pramoedya, “Hidup memang tak semudah pasar malam”.

One thought on “Tentang Hiburan, Tentang Pasar Malam

  1. Ayna says:

    Maaf min, mau tanya. Apakah admin punya kontak dari group Pasar Malam yg bisa dihubungi? Saya sedang membutuhkannya untuk mengundang mereka di acara kampus saya. Terima kasih

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: