![]() |
Foto anak-anak Pak Dwi di ruang kosnya. |
Tema paling sering dijual di media boleh jadi adalah relasi pria dan wanita, ya kita mengenalnya dengan cinta. Saya memang tidak melakukan penelitian soal ini. Tapi menurut saya selain ketombe, jerawat dan kulit putih boleh jadi cinta adalah objek yang diperkosa habis-habisan oleh media. Rumus media berikutnya adalah sesuatu yang biasa saja tak seru untuk diutarakan, jadilah relasi pria dan wanita yang ditampilkan superlatif. Sebut saja pria atau wanitanya sudah pasti parasnya ciamik, atau relasinya sangat tragis bak Romeo Juliet. Terkadang juga penuh jurang laksana kisah klasik Love Storynya Erich Seagal antara kaya dan miskin atau agama yang jadi penghalang, semuanya superlatif. Lupakan kisah Mandra Munaroh, cinta di media hanya milik sosok dan cerita yang superlatif.
“Walah film opo iki Mas, jebul mung yang-yangan (Waduh cerita apa ini Pak, ternyata hanya orang pacaran),” ujar Pak Dwi saat kami menonton sebuah film di salah satu saluran televisi swasta. Dwi bernama lengkap Dwi Sasongko, ia biasa saya sapa dengan Pak Dwi. Saya mengenalnya karena ia adalah rekan dari Pak Anies Baswedan. Karena menginap di hotel atau penginapan memakan biaya mahal maka saya seing merepotkan dirinya dengan menumpang menginap di kosnya.
Saya beberapa kali menginap di kos Pak Dwi ketika ada urusan ke Karang. Karang adalah sebutan masyarakat Lampung yang merujuk pada Kota Bandar Lampung. Belum lama ini misalnya saya menginap di tempat Pak Dwi untuk mengurus sosialisasi Pengajar Muda dengan Akademi Berbagi Lampung. Sebelumnya saya juga sempat menginap di tempatnya untuk mengurus sebuah acara donasi pianika di UNILA. Pada dua kesempatan itu saya sering mengobrol dengan lulusan Sosilogi UGM angkatan 80 ini. Orang yang bersahaja dan sangat ramah bagi saya.
Yang menarik bagi saya adalah cerita mengenai dirinya dengan istrinya atau tepatnya keluarga. Ia tak tinggal dengan istrinya, ia tinggal sendirian di kos yang terletak di daerah Way Halim, Bandar Lampung. Perokok berat ini meninggalkan istrinya di Wonosobo, sebuah kota kecil bersuhu dingin di Jawa Tengah, untuk bekerja di Bandar Lampung. Tak hanya meninggalkan istri ia juga meninggalkan tiga orang anaknya. Meninggalkan disini bukan dalam arti melepas tanggung jawab melainkan terpisah secara geografis.
![]() |
Kos Pak Dwi terletak paling ujung, ada enam kamar kos di rumah ini. |
Tanpa bermaksud mencuri dengar, saat malam hari saya sering mendengar ia menelpon istrinya. Ada perbincangan soal anaknya, tentang rencana pulang ke Jawa, dan juga hal remeh temeh lain. Tak ada perbincangan besar soal relasi atau apapun yang kerap dikemas media saat menggambarkan hubungan jarak jauh. Pak Dwi dan istrinya membicarakan hal-hal sangat biasa.
“Dari kapan Pak enggak tinggal sama istri?” tanya saya sedikit kurang sopan sebenarnya. Ia menjawab pertanyaan saya dengan senyuman. “Dari 2009 Mas Ardi, waktu itu saya kerja di Lampung yaudah tak tinggal di sini,” ujarnya singkat. Ia kemudian menceritakan bagaimana kehidupannya di kos. Memasak, mencuci dan melakukan beragam hal sendiri. Di kos itu ia praktis tinggal sendiri, memang ada tetangga kos tapi kultur di kos tersebut sesama tetangga tidak saling mengenal. Wajar saja mengingat kos tersebut kebanyakan diisi oleh para pekerja yang sudah berumur, bukan kos mahasiswa yang hangat.
Ia kemudian menceritakan bagaimana ia membunuh waktu di kos. Saat malam hari ia sering menonton televisi di ruang tamu kosnya. Kadang ia juga sering pergi ke untuk mengisi perut di lapak nasi goreng pinggir jalan. Dan tentu saja ia tak lupa menelepon istrinya di malam hari untuk menanyakan beberapa kabar mengenai keluarganya di Jawa.
“Saya sebulan sekali ke Wonosobo Mas,” ungkapnya melanjutkan cerita. Ia mengatakan hal itu ia lakukan untuk melepas kangen dengan istri dan anak-anaknya. “Ndak mahal Pak sebulan sekali ke sana?” tanya saya dengan memberi sedikit logat Jawa agar akrab. “Sini ke sana habis seratus lima puluh ribu mas, tapi ya ngoper-ngoper, kalau langsung mahal jatuhnya,” jawabnya seraya memencet remote tv untuk mengganti saluran yang ia tonton.
Saya kemudian memperhatikan ruangan kos Pak Dwi. Disana tertempel foto-foto anaknya yang sedang tersenyum. Foto itu dipigura rapi dan mudah terlihat dari segala penjuru. Tak puas dengan itu ia juga menaruh sebuah foto saku anak keduanya di depan pigura tersebut. Julian Sihombing, fotografer senior Kompas pernah mengatakan, kita mengingat momen bukan tanggal. Boleh jadi foto itu mengingatkan Pak Dwi ketika ia masih di Jawa, ketika ia sedang bercengkrama dengan anaknya yang kini terpisah ratusan kilometer darinya.
![]() |
Pak Dwi biasa menghabiskan waktu dengan menonton televisi. |
Memandang Pak Dwi bagi saya seperti melihat bagaimana relasi perempuan dan pria yang tidak dikomodifikasi. Perjuangan dirinya ke Lampung disebabkan hal sederhana yakni memenuhi kebutuhan keluarga, sebuah alasan yang sangat masuk akal dan sederhana. Bagaimana ia tetap menjalin komunikasi dengan istrinya juga sangat biasa, tak ada sebuah superlatif dalam ceritanya. Pak Dwi seperti cerminan relasi antar manusia yang dibungkus dengan kata cinta sebenarnya sangat simpel.
Sambil memperhatikan foto anak-anak Pak Dwi pikiran saya melayang pada bagaimana relasi pria dan wanita begitu laku dijual di media. Media massa khususnya televisi setidaknya punya dua prinsip kerja. Pertama bekerja layaknya cermin, artinya apa yang ada di kotak ajaib itu menjadi refleksi apa yang terjadi di masyarakat. Di kutub yang lain media bertindak sebagai peluru atau dalam bahasa yang teoritis magic bullet theory. Artinya media melemparkan muatan pesan pada pemirsanya yang kemudian dimakan matang-matang oleh yang menonton. Cerita Pak Dwi bagi saya adalah kegagalan media menjadikan dirinya sebagai cermin.
Pak Dwi dan mungkin ratusan pekerja yang berpisah dengan keluarganya menjadi saksi kecil bahwa relasi antara pria dan wanita juga milik orang biasa.Tak ada bungkus superlatif di dalamnya. Tak ada paras super tampan atau cantik dalam kisah cintanya. Namun di sana tersimpan pesan kecil bahwa relasi adalah sebuah bagian dari manusia yang tak bisa dibuat-buat.
“Mas Ardi minggu ke depan ke sini enggak?” tiba-tiba Pak Dwi bertanya di tengah lamunan saya. “Enggak kok Pak, emangnya kenapa Pak?” tanya saya. “Saya mau ke Wonosobo soalnya, nengok anak istri,” ujar Pak Dwi sambil tersenyum. Saya ikut tersenyum mendengar jawabannya. Sambil tertawa kami memandang televisi yang sedang menyorot seorang perempuan cantik menangis sesenggukan karena ditinggal kekasihnya. Mungkin sudah saatnya saya mematikan televisi dan meminta televisi menonton Pak Dwi. Menonton bagaimana relasi pria dan wanita lebih manis ketika ditampilkan biasa saja.