“Kalau kita enggak pergi kita enggak bakal pernah tahu arti rumah”. Saya ingat seseorang pernah mengatakan itu pada saya. Hari ini saya mengingat kembali hal tersebut. Ketika menulis ini saya baru saja pulang dari mengirim email pendaftaran beasiswa murid saya yang ingin bersekolah di sebuah SMP swasta di kawasan Jawa Timur. Pulang dari mengirim email dan membuka pintu, sebuah pesan masuk ke telepon selular saya. Tiga huruf muncul di layar telepon, “Ibu”.
Dalam pesannya ibu menulis, “Le besok ultah mu, selamat ya Le, semoga panjang umur, banyak rizki, sehat, dan tercapai cita-citanya. Tapi Wilda pulangnya kapan to Le?”. Membaca itu saya tersenyum kecil. Ada sebuah kesederhanaan di pesan ibu. Ia hanya rindu dengan saya. Dasar ibu-ibu pikir saya kemudian.
Di hadapan saya cucu Mbah Satinah, Edi sedang memijat punggung ibunya. Saya hanya tersenyum simpul sambil tetap berpikir kenapa saya tak menjadi Edi yang dekat dengan Ibunya. Anak yang bisa memijat ibunya begitu dekat. Pikiran itu terus meracuni, membuat saya merindukan rumah.
Pesan pendek dari Ibu mengingatkan bahwa besok saya menginjak dua puluh empat tahun. Hampir seperempat abad saya ada di dunia ini. Lucu rasanya melihat waktu begitu cepat bergulir. Dan saya kembali mengingat pesan pendek dari ibu tadi. Ada sapaan “Le” di pesan tersebut. “Le” pada dasarnya adalah sebutan untuk seorang anak laki-laki yang masih kecil dalam Bahasa Jawa. Benar kata pepatah, ibu takkan pernah melihat anaknya dewasa.
Hari ini saya mengingat bagaimana saya tak pernah bisa memenuhi keinginan kedua orang tua. Saya tak masuk jurusan ekonomi dulu. Saya tak pernah bisa menjadi seorang pegawai kantoran, maaf lebih tepatnya menolak. Pun saya tak pernah bisa tenang di satu tempat dan menjadi anak baik-baik dengan mematuhi keinginan mereka. Mungkin Yusuf Islam akan berkata pada saya “You’re still young that’s your fault”.
Saya kembali menatap Edi yang memijat ibunya, mengingat apa yang dikatakan teman saya dulu. Saya masih mau pergi, belum mau pulang. Di sini saya paham arti sebuah relasi, begitu banyak hal yang saya pelajari di sini. Bekal saya belum cukup untuk mengartikan “rumah”. Saya masih mau pergi di usia ke 24. Sekedar mencari tahu arti rumah.
Tahun ini saya pergi dari rumah untuk mengajar melalui program Indonesia Mengajar. Jika berjalan lancar saya akan pulang pada November tahun ini. Namun saya ingin pergi lagi sekedar untuk tahu dan merasakan makna rumah yang sesungguhnya. Benar adanya kita dibentuk oleh perjalanan. Kita dibentuk dari apa yang kita temui di jalan bukan apa yang kita temui saat kita duduk dan memijat ibu kita. Ia akan senang berada dekat kita namun relasi itu semu.
Jika ada satu tempat yang sangat ingin saya kunjungi di usia ke 24 maka tempat itu adalah Boven Digoel, Papua. Jujur saya ingin tinggal beberapa lama di sana, mungkin selama beberapa minggu. Boven Digoel adalah tempat pembuangan Hatta dan Syahrir di tahun 1935-1936. Ada dua hal yang menyebabkan saya ingin ke sana. Pertama, di sini Hatta banyak mengajar masyarakat sekitar. Saya ingin melihat bagaimana daerah ini begitu penting bagi perkembangan Hatta. Ya saya tetap merasa Hatta adalah sosok sidekick terbaik negeri ini, saya selalu mengidolai sidekick. Di sini pula Hatta katanya menulis buku yang nantinya menjadi mas kawin antara dirinya dengan istrinya, ah itu baru romantis.
Kedua saya tertarik dengan seorang tokoh bernama Marco Kartodikromo, seorang jurnalis yang pernah ditahan dan mati di Boven Digoel. Ada yang menyebut ia adalah jurnalis pribumi pertama. Mempelajari bagaimana Marco menghabiskan sisa hidupnya juga berarti mengetahui bagaimana perjalanan panjang jurnalisme di negeri ini. Boven Digoel adalah bangku kuliah sebenarnya bagi saya, mengajar dan jurnalistik, Tuhan itu surga dunia betul. Semoga saya dan Mimit bisa mencapai Boven Digoel tahun 2013 nanti.
Oke ketika Ibu saya membaca ini mungkin dia akan kembali menarik nafas dengan rencana anaknya. Tenang Bu, itu hanya rencana. Tepatnya harapan dan doa dari anak Ibu, bukankah tugas seorang ibu mengamini doa anaknya? Ah Ibu pasti hanya bisa bilang “Ati-ati ya Le”.
Tahun ini saya juga belajar banyak soal bagaimana pola-pola kecil masyarakat bekerja. Bagaimana masyarakat terbentuk pada Yasinan, pada ritual mereka di depan televisi saat menyaksikan Tutur Tinular, saat mereka berbincang di keriuhan pasar malam atau ketika mereka mengobrol di kelompok tani. Mereka tak terbentuk dari diskusi panjang di menara gading bernama kampus. Mereka punya siasat dan akalnya sendiri. Mempelajari pola-pola itu adalah kenikmatan sendiri bagi saya. Disinilah saya menjadi paham pentingnya melihat masyarakat dalam kacamata antropologi. Doa lain saya di usia ini, saya ingin melanjutkan pendidikan dengan mengambil kajian antropologi.
Saya kini teringat belum membalas pesan pendek ibu saya ketika menulis ini. Mungkin saya akan membalasnya dengan singkat, entah ucapan terimakasih atau sekedar “Iya Bu”. Bukannya tak menghormati Ibu, saya hanya tak ingin merindukan rumah begitu cepat. Namun sejauh mana kita harus pergi untuk sekedar tahu arti rumah? Jika saya bisa menjawab itu maka anda takkan pernah membaca tulisan ini.
*kisah mengenai Boven Digoel bisa dibaca di artikel perjalanan Farid Gaban