Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Sepulang dari mengambil paket kiriman rekan di Jogja saya menemani Mbah Satinah di ruang televisi. Setelah duduk tenang di lantai dan mengeluarkan CD Angsa Serigala serta buku “Cerita di Balik Dapur Tempo” dari bungkusan paket, kami menonton “Kabar Petang” di stasiun TV One. Topik yang sedang ditayangkan lumayan menarik, mengenai sertifikasi seniman. Acara ini kemudian menghadirkan Eros Djarot yang kontra terhadap sertifikasi dan seorang perwakilan dari kementrian pendidikan dan kebudayaan, saya lupa namanya, yang tentu saja mendukung rencana ini.

Saat seru-serunya menonton tiba-tiba Mbah Satinah dengan muka datar berucap, “Kesenian kui asal e soko hati pikirane dewe kok nganggo sertifikat koyo cah sekolahan (Kesenian itu asalnya dari hati pikiran kita, kenapa harus memakai sertifikat, seperti anak sekolahan saja),” ujarnya datar. Belum sempat saya mengucap sepatah kata pun tiba-tiba meluncur lagi kata-kata ajaib dari mulutnya. “Mosok ono tanggapan wayangan trus dalang e ditakoni endi sertifikat e? Malah ra sido nonton wayangan (Masak nanti kalau ada pegelaran wayang, dalangnya akan ditanya mana sertifikatnya? Malah tidak nonton wayangan jadinya),” tambah Mbah tetap dengan muka datar.

Saya langsung tertawa terbahak-bahak oleh dua pernyataan Mbah tersebut. “Nopo tho Pak Ardi kok malah guyu? Salah nggih? (Kenapa tho Pak Ardi kok malah tertawa? Salah ya?”),” tanya Mbah penasaran. Sambil menahan tawa, saya hanya berucap, “Mboten Mbah, mboten kok (Tidak Mbah, tidak kok),” ujar saya menutupi kekaguman atas perkataannya. Buat saya dua ucapan Mbah tadi sangat keren, terlalu keren bahkan.

Topik mengenai sertifikasi ini memang sudah lama menjadi perbincangan setidaknya di kalangan seniman. Dalam sosial media topik ini ramai diperbincangkan. Saya mengikuti topik ini dari kicauan beberapa seniman yang saya senangi karyanya. Sayangnya mereka kebanyakan berkicau mengenai hal ini dengan teori-teori selangit yang jujur saja saya tak paham dibuatnya. Pada intinya tak setuju, tapi bungkusnya terlalu berat. Justru Mbah Satinah yang bukan reinkarnasi dari Rembrandt ataupun Asrul Sani bisa dengan lucu dan menarik berkomentar soal itu.

Meski di satu sisi ucapan Mbah lucu dan menarik namun di sisi lain saya menjadi berpikir apakah menjadi simpel itu salah? Selama ini kita senang berkonfrontasi pendapat dengan teori membumbung yang kadang membuat kepala pusing. Namun hasilnya muter-muter di situ saja. Mbah Satinah dengan lugas dan lucu membuat saya yakin sertifikasi adalah hal konyol. Dan lebih dari itu ia mengingatkan untuk kembali berpikir sederhana, simpel dan membumi.

Saya jadi ingat bio twitter Kartika Jahja, bio yang sangat menarik buat saya. Di bio-nya pelantun Polpot ini menulis, “Kadang kepala yang rumit ini sering lalai melihat hidup dari sudut pandang yang lebih santai”. Bio tersebut bisa menggambarkan kegelisahan saya. Mungkin kita semakin serius dan tak santai memandang masalah. Serbuan informasi, akses ke beragam topik yang mudah, dan kondisi sosial politik yang tak menentu mungkin membuat kita tak santai memandang masalah.

Ibarat kumpulan cerita Mangan Ora Mangan Kumpul-nya Umar Kayam mungkin kita semua seperti Pak Ageng tanpa Mr. Rigen. Pak Ageng adalah seorang pemikir priyayi yang berpendidikan. Ia sering berdiskusi santai dengan pembantunya yang bernama Mr Rigen, pembantunya ini sosok yang ceplas-ceplos ngawur namun masuk akal. Pak Ageng kadang sebal dengan Mr Rigen karena teorinya banyak terbantahkan hanya karena ceplosan sederhana. Boleh jadi Pak Ageng dan Mr. Rigen adalah upaya Kayam menggambarkan bagaimana relasi terdidik dan kelas bawah adalah satu paket yang tak terpisahkan. Jika satu kehilangan yang lain maka akan menjadi masalah.

Bisa jadi karena dunia yang begitu kompleks kita menganggap Mr Rigen ataupun Mbah Satinah tak lagi punya suara di dunia intelektual kita. Padahal dari merekalah kita belajar banyak untuk membumi, untuk membuktikan bahwa teori cuma jadi ikan teri pesakitan kalau tak membumi. Ketika otak saya masih melalangbuana pada Mr Rigen tiba-tiba Mbah beranjak dari kursi. “Kesel Pak Ardi ngurusi sertifikat-sertifikat, meh tilem mawon (Capek Pak Ardi ngurusin sertifikat, mau tidur aja saya),” ujarnya santai. Mbah lalu berjalan ke kamarnya, ia memang tak menyelesaikan masalah sertifikasi. Namun pada dirinya dan Mr Rigen saya paham tak ada yang lebih baik dari menertawakan intelektualitas kita.

8 thoughts on “Mr.Rigen dan Mbah Satinah

  1. lha ia mas, masak kalo gambar saya gak gitu bagus dan gak kejual mahal, saya gak bisa jadi seniman? lagipula jelek atau bagus itu kan beda-beda tiap orang.

    Like

  2. iki we.. sing atasku iki mbak sing arsitek lan seneng everton. langsung wae ijab kobul via blog

    Like

  3. rocky says:

    oh aw ki saiki pdkt ne lewat blog toh?#asalkomen#mlipir :p

    pak ageng mr rigen ki inspirasine sentilan sentilun y w? lg reti, hehe

    Like

  4. Ardi Wilda says:

    nikah yuk *dikeplak orang sekampung*

    Like

  5. Ardi Wilda says:

    nikah yuk *kembali dikeplak orang sekampung*

    Like

  6. Ardi Wilda says:

    saiki pdkt ku lewat segala medium, ngalah2i McLuhan aku..hehe

    soal inspirasi sentilan sentilun aku kurang tau tapi kalo di buku ya hubungannya mirip kaya si sentilan dan sentilun. Pak Ageng juga di buku digambarkan sering kedatangan tamu, namanya Profesor (duh aku lali), kalo di sentilan sentilun ya narasumbernya lah. Mirip memang konsepnya.

    Like

Leave a comment