Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Kotak obrolan di halaman facebook saya tiba-tiba muncul dengan sebuah pesan. “Wartawan Rolling Stone di Jogja sekarang siapa ya We?”. Pesan itu datang dari Ape, rekan saya yang juga awak Balairung (Pers Kampus di UGM). Saya menjawab tidak tahu karena sudah tidak lagi menjadi kontributor di majalah tersebut. Ia lalu menjelaskan sedang mencari orang yang bisa mengisi materi pelatihan menulis, ia diminta mereferensikan beberapa nama yang dirasa kompeten.
Obrolan kami pun berlanjut dengan berdiskusi mengenai siapa orang yang cocok. Mulai dari Soleh Solihun (mantan wartawan RSI), Adi Renaldi (Jakartabeat), Ahmad Yunus (Pantau), Ashadi Siregar (LP3S), dan Matatita (Penulis Tales From The Road). Setelah mengobrol lumayan panjang saya kemudian baru ingat sebuah nama. “Kamu tahu Yusi Pareanom Pe? Kemarin aku mengusulkan dia buat ngisi pelatihan menulis di Indonesia Mengajar,” saya mencoba menjelaskan. Ia ternyata mengetahui sosok yang membuat buku Rumah Kopi Singa Tertawa tersebut. 
“Dia itu jurnalis ketiga di list favoritku We,” tulis Ape di obrolan facebook. Saya kemudian menanggapi pernyataan Ape. “Boleh kutebak peringkat satu dan duanya Pe?”. Dengan cepat Ape membalas, “Silakan, tapi kayanya enggak mungkin bener, hehe,” balas Ape. Merasa sedikit tertantang dan yakin jawaban saya pasti benar langsung saya coba layangkan jawaban. “Pasti peringkat satu dan dua antara Andreas Harsono atau Linda Christanty,” balas saya dengan keyakinan menggebu. “Salah, peringkat satu dan dua itu bapak dan ibuku,” balasnya santai. Saya kemudian merasa dikadali oleh jawaban Ape.
Yang menarik kemudian adalah ketika dirinya menjelaskan mengapa Bapak dan Ibunya yang menempati peringkat satu dan dua. “Sebab karena mereka aku jadi tahu kalau bertanya ke orang itu menambah pengetahuan kita, misalnya nanya, ‘Mau ke mana kamu?’ dia jadi tau anaknya mau ke mana,” jelasnya. Sial, alasan yang sangat masuk akal, namun saya masih merasa dikadali, maka saya layangkan pertanyaan selanjutnya. “Tapi bapak ibumu emangnya suka memverifikasi jawabanmu?” tanya saya sok kritis. Verifikasi adalah salah satu syarat mutlak sebuah kerja jurnalistik. “Sok-sok (kadang-kadang) ya nek nelpon kita di mana kan juga verifikasi toh?” jawabnya. Ah saya pun bertekuk lukuk dengan logika Ape, menyerah dibuatnya.
Saya kemudian berpikir benar juga apa yang dikatakan mahasiswa jurusan biologi ini. Bapak dan Ibu kita lah yang pada dasarnya pertama kali mengajari kerja jurnalistik pada kita. Pertanyaannya, keingintahuannya dan pencarian fakta (menelpon atau bertanya pada teman kita misalnya) mengenai keberadaan diri kita adalah juga kerja jurnalistik. Sayangnya tak banyak yang menyadari itu, kecuali Ape tentu saja.
Sayangnya lama kelamaan kita mulai menjaga jarak dengan “wartawan” yang melahirkan kita tersebut. Kita sering malas membalas pesan pendeknya atau malas jalan berdua dengan mereka. Sifat ini biasanya muncul ketika remaja, ketika disebut anak mami adalah bencana terbesar. Kita seperti narasumber yang malas dekat-dekat dengan wartawan, takut urusan pribadi kita dicampuri. Dengan alibi kedewasaan di dalamnya.
Bapak dan Ibu juga tidak bodoh. Mereka tahu anaknya tidak mau diganggu maka “pencarian fakta” mereka pun berhenti. Mereka pasrah dengan kenyataan bahwa “narasumber” utama hidup mereka sudah dewasa. Anak mereka sudah mandiri dan kedewasaan juga berarti menghadirkan sebuah dinding. Tentu saja dinding itu terlalu tebal untuk ditembus. Akibatnya orang tua menjadi oposisi biner anaknya.
Lama kelamaan hanya anak yang bisa meruntuhkan dinding tersebut. Mengapa dinding itu dapat tembus? Bisa jadi karena mereka telah menjadi “wartawan” bagi anak mereka. Sang anak sudah tahu pertanyaan “Mau ke mana?” berarti besar pada orang tua. Itu seperti penjaga utama hubungan anak dan orangtua untuk menghasilkan sebuah “berita” yang menarik. Menghadirkan sebuah suasana rumah sebagai kantor redaksi yang positif dan nyaman.
Sayang banyak anak yang terlambat menyadari itu. Menyadari ketika mereka menjadi wartawan, sang “wartawan” yang melahirkan mereka bisa jadi telah tiada. Dan adalah tugas wartawan membuat obituari. Dalam obituari sang anak hanya bisa menyesalkan dulu tak menjaga hubungan. Merindukan pertanyaan mau kemana, atau sekedar kangen dengan pertanyaan khas “wartawan” yang melahirkan mereka. Obituari itu seperti tongkat estafet bagi obituari selanjutnya. Ya hidup akan terus berputar, pun dengan kehidupan Bapak dan Ibu sebagai “wartawan”.
“Mau kucarikan Lenka We?” ketik Ape setelah beberapa saat. Lenka sendiri adalah novel keroyokan yang dihasilkan oleh komunitas baca yang dibentuk oleh Yusi Pareanom. “Aku udah nitip temanku Pe,” balas saya singkat. Kami pun lantas melanjutkan obrolan dengan membincangkan Rumah Kopi Singa Tertawa , sebuah buku menarik yang ditulis Yusi.
Saya ingat sebuah tulisan di buku itu yang berjudul, “Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih”. Cerita itu menggambarkan bagaimana seorang guru menantang murid-muridnya membuat sebuah cerita berdasarkan kebetulan-kebetulan yang ada di hidup. Di tengah cerita sang murid protes bahwa cerita sang guru sungguh penuh dengan kebetulan. Sang guru kemudian menjawab, “Bukankah kalian yang bilang bahwa kebetulan bisa betul-betul terjadi dalam kehidupan nyata?” Seketika itu saya berpikir apakah obrolan saya dengan Ape sebuah kebetulan? Jika memang sebuah kebetulan, mungkin ini pengingat saya masih punya tugas pada sang “wartawan” sebelum saya bertugas menulis obituari dirinya, entah kapan.
*terimakasih pada Mas Budi Warsito yang sudah mengenalkan saya dengan karya Yusi Pareanom. 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: