Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Mbak Ti, Mbah Satinah, Satini dan Ilham sedang menyaksikan Dewi Bintari.
“Ham, kene Ham, ono Dewi Bintari (Ham sini Ham, ada Dewi Bintari ini),” panggil Supriati pada anaknya yang bernama Ilham. Supriati yang biasa disapa dengan Mbak Ti malam itu memanggil anaknya untuk menyaksikan sebuah acara TV berjudul Dewi Bintari. Sekejap kemudian Ilham yang sebentar lagi menginjak lima tahun sudah hadir di pangkuan Mbak Ti untuk menonton TV bersama. “Meneng Ham, lagi apik iki (Diam Ham, sedang bagus ini),” ujar Mbak Ti sambil menahan kaki anaknya yang ingin berlari-lari di sekitar TV.
Malam itu Mbak Ti dan Ilham ditemani oleh Mbah Satinah dan Satini. Mbak Ti sendiri adalah istri kedua hostfam saya yakni Pak Boiman, sementara Mbah Satinah adalah istri pertamanya. Di luar topik soal poligami yang secara pribadi tidak saya setujui namun keduanya hidup rukun. Sementara itu Satini adalah anak Mbah Satinah yang sudah dua bulan ini tinggal di kediaman Mbah. Mereka berempat duduk tenang di depan televisi menyaksikan Dewi Bintari. Mbak Ti duduk memangku Ilham sambil memijat punggung Mbah Satinah. Sementara Satini duduk sedikit terpisah di sebelah kiri televisi. Mereka menonton televisi sambil mengobrolkan cerita atau dialog “Dewi Bintari”.
Program ini sendiri adalah program baru di MNC TV. “Anyar niki Pak, gantine Fathiyah (Baru ini Pak, gantinya Fathiyah),” jelas Mbak Ti. Saya gagal menemukan sumber terpercaya apakah “Dewi Bintari” benar-benar program pengganti Fathiyah, yang merupakan salah satu program unggulan TV yang bernaung di bawah konglomerat media Hary Tanoe. Namun saat melihat situs MNC saya menemukan fakta bahwa acara ini memang program unggulan baru TV tersebut selain sebut saja Tendangan Si Madun dan Aladin.
“Dewi Bintari” sendiri bercerita mengenai kerajaan yang ditinggal oleh permaisuri baik hati, entah karena meninggal dunia atau alasan lain. Yang jelas Prabu Narayan sang pemilik kerajaan (diperankan Indra Brugman) harus mengurus kerajaan tersebut serta anak-anaknya yang berjumlah enam orang. Untuk mengurus anak-anaknya ia meminta bantuan Putri Shi Ma (Ratu Felisha) seorang putri dari Tiongkok yang ternyata memiliki sifat jahat dan ingin menguasai kerajaan. Untungnya kerajaan tersebut dilindungi oleh seorang Dewi di khayangan bernama Dewi Bintari (Luna Maya). Maka cerita pun bergulir ala epos khas sinetron Indonesia, perlawanan yang jahat dan baik, begitu hitam putih.
Mbak Ti mengatakan cerita ini seru dan menarik dibandingkan dengan acara lain. Ia tak membeberkan secara jelas dimana letak seru dan menariknya. “Nek niki mboten mumet Pak, nek Tutur Tinular niku ceritane bola-bali ae (Kalau ini tidak membuat pusing pak, kalau Tutur Tinular itu ceritanya muter-muter),” sela Satini mengenai alasan mengapa Dewi Bintari termasuk acara yang menarik. “Tutur Tinular e kadang mbulet (muter-muter ceritanya),” tambah Mbah Satinah. Mbak Ti hanya mengamini apa yang dikatakan oleh dua rekan menontonnya tersebut.
Ada yang menarik dari apa yang dikatakan oleh Satini dan Mbah Satinah soal alasan mengapa Dewi Bintari apik. Ia menggunakan alasan perbandingan dengan acara lain, dan acara itu adalah “Tutur Tinular”. Keduanya sama-sama bercerita soal kehidupan kerajaan. Sebuah cerita mengenai konflik kerajaan yang dikemas (berusaha) mengikuti zaman.
Mbak Ti menonton sambil memijat Mbah Satinah.
Lantas apakah kemudian topik kerajaan menjadi sebuah mutlaknya acara TV menjadi laris di kalangan akar rumput? Bisa jadi, tapi saya cenderung menjawab bukan karena itu. Ada banyak faktor yang menyebabkan sebuah tayangan menjadi menarik, tema acara hanya jadi salah satu faktornya. 
“Ham, badut e metu Ham (Ham badutnya keluar Ham),” seru Mbak Ti pada Ilham sambil tertawa kecil. Ilham yang melihat tokoh badut di acara tersebut kemudian tertawa terbahak-bahak menyaksikannya. Badut yang dimaksud Mbak Ti adalah sebuah tokoh di Dewi Bintari yang didandani mirip badut. Ia diceritakan bertingkah konyol dengan lawakan-lawakan yang sangat slapstick seperti terbentur pintu dan jatuh tiba-tiba. Keempat orang di depan televisi ini kemudian tertawa bersama.
Lupakan kritik soal lawakan tipikal, menyenangkan rasanya melihat keempat orang ini tertawa begitu lepas. Tak berapa lama layar kemudian berganti dengan iklan. “Sponsor Ham, lagi seru padal mau (tadi),” celetuk Mbak Ti pada anaknya. Sponsor sendiri adalah sebutan untuk iklan pada masyarakat di sini. Orang-orang di sini jarang dan hampir tak pernah menyebut iklan dengan iklan melainkan dengan sponsor. Sepanjang sponsor berjalan Mbak Ti masih memijat Mbah Satinah sambil mengobrol banyak hal. sementara Ilham berlarian kecil di seputar TV. Tak ada perpindahan saluran TV meski sedang sponsor. 
“Mulai ki lho Ham, ojo pelayon wae (Udah mulai ini Ham, jangan lari-lari),” ucap Mbah Satinah pada Ilham ketika sponsor sudah berganti dengan Dewi Bintari. Mereka berempat kembali duduk. Kembali mengobrol dan larut dalam apa yang mereka saksikan. Sambil tak lupa tentunya berkomentar banyak hal. Sebuah kotak ajaib sedang menyiarkan keajaibannya, membius mereka yang ada di depannya.
Setelah sekitar satu jam di depan televisi keempat penonton Dewi Bintari ini akhirnya memisahkan diri tatkala acara habis. “Entek Ham, ayo bali (Sudah habis Ham, ayo pulang aja),” ajak Mbak Ti pada anaknya. Rumah Mbak Ti memang terpisah dengan rumah Mbah Satinah. Mereka pun pamit pulang dan pergi begitu saja. Ruangan televisi menjadi begitu sepi dari hiruk pikuk komentar mereka. Saya tetap di ruang ini, memikirkan bagaimana bius kotak ajaib begitu memukau. 
***
Salah satu kesenangan saya saat malam hari adalah mengamati bagaimana tingkah laku Mbah Satinah dan keluarganya menonton televisi. Ada banyak kejadian kecil yang menyadarkan saya bahwa beberapa teori komunikasi hanya asyik untuk dihina. Maaf sinis saya sedang kumat.
Menyaksikan mereka menonton televisi mengingatkan saya pada sebuah istilah jawa lama, “grenengan”. Tak ada sebuah arti khusus mengenai arti ini. Namun “grenengan” bisa dijelaskan sebagai sebuah kondisi dimana sesuatu (merujuk pada suara biasanya) hadir mengiringi kegiatan kita atau sebuah suara yang volumenya kecil. “Grenengan” bukan sebuah tujuan melainkan sampingan. Misalnya untuk orang yang terbiasa belajar dengan suara musik maka musik itulah grenengan-nya. Ketika musik dimatikan maka seperti ada yang hilang.
Buat saya televisi di sini juga dipandang sebagai sebuah “grenengan”. Bukan konten televisi yang menjadi perhatian utama penonton melainkan bagaimana ia bisa menjadi sebuah sabuk pengikat obrolan ataupun interaksi antar para penonton. Lihat misalnya ketika mereka terus mengobrol sepanjang acara. Mengobrolkan banyak hal termasuk apa yang mereka lihat di acara tersebut. Televisi seperti menjadi “grenengan” yang mengikat interaksi sosial di antara yang menonton. Mereka jarang menonton televisi sendiri, melainkan secara komunal (tiga atau empat orang) dan ketika salah satu pihak merasa bosan maka semua akan meninggalkan televisi untuk kemudian ruang televisi menjadi kosong melompong. Obrolan ketika acara berlangsung lebih menarik daripada acara itu sendiri. 
TV yang digunakan untuk menonton Dewi Bintari (Luna Maya).
Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang menjadikan tontonan sebagai sebuah tujuan. Mengapa Avengers misalnya membuat antri jutaan orang? Karena orang memang ingin melihat tingkah polah para  jagoan di Avengers. Sementara masyarakat desa hanya menjadikan konten sebuah acara sebagai topik pemantik obrolan, “grenengan” yang mengasyikkan.
Bukankah ketika jeda iklan kita kerap mengganti-ganti saluran? Hal itu tak terjadi saat keluarga Mbah Satinah menonton televisi. Mereka menyikapi iklan atau sponsor sebagai sebuah jeda untuk mengobrol. Mereka tak menginginkan sebuah cerita yang padat melainkan bagaimana iklan tetap menjadi “grenengan” yang memacu obrolan.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa ada perbedaan penyikapan terhadap media. Jawabnya bisa jadi karena konsumsi media. “Rumien niku Tutur Tinular wonten neng radio Pak, apik (Dulu itu Tutur Tinular ada di radio Pak, bagus dulu),” ujar Mbah Satinah suatu ketika. “Nek kagem boso Jowo sakjane luih apik (Kalau Tutur Tinular memakai bahasa Jawa akan lebih bagus),” tambah Mbah. Menarik mendengar apa yang dikatakan Mbah.
Ada dua hal yang patut dicermati, pertama adalah bagaimana radio memegang peranan, yang kedua penggunaan bahasa. Ya kata kuncinya adalah suara atau audio. Mbah, Mbak Ti dan Satini tumbuh dan besar dalam sebuah kultur lisan yang begitu kuat. Kultur lisan ini juga dapat dicermati pada beberapa aspek lain. Misalnya pada saat teknologi handphone hadir ia digunakan untuk merekam suara ceramah untuk kemudian bisa didengarkan berulang-ulang. Konsumsi media berbasis audio tertanam kuat pada masyarakat sehingga seperti halnya sifat dasar audio ia otomatis menjadi sebuah “grenengan”.
Televisi kemudian menghadirkan fasilitas “grenengan” plus visual. Maka keterpukauan akan visual menjadi begitu tinggi. Lihat misalnya saat tokoh macam Badut di Dewi Bintari atau anak yang suka mendendangkan lagu rap di “Tutur Tinular” muncul, maka gelak tawa muncul. Satu kesempatan lain Pak Ratno, seorang tetangga saya, mengatakan ia senang menonton “Tutur Tinular” karena “Akeh tarung-tarung e Pak (Banyak adegan perkelahiannya),” jelasnya singkat. Adegan perkelahian, lawakan slapstick adalah sebuah tanda bagaimana keterpukauan visual mereka menyeruak. Sesuatu yang tak dihadirkan oleh media audio.
Menonton TV sambil mengobrol.
Dalam bahasa yang sok pintar (ah saya sebal harus bawa-bawa teori) televisi mereka pilih karena menghadirkan sebuah paket yang komplit. Daft dan Lengel melalui Media Richness Theory menyatakan bahwa orang akan cenderung memilih sebuah media yang menghadirkan paket komplet, maka itu kenapa tatap muka dalam rapat masih dipakai padahal fasilitas mengobrol di dunia maya sudah ada. Pun televisi dibanding radio, “grenengan” ala televisi menghadirkan sebuah fasilitas yang lebih komplet.
Namun pertanyaannya kemudian adalah mengapa Mbah Tinah, Mbak Ti dan Satini tetap memandang televisi sebagai radio. Jawabnya bisa jadi karena kegagapan terhadap lompatan teknologi komunikasi. Kecenderungan leaping (lompatan) antara radio ke televisi tidak berlangsung mulus. Hal ini bisa jadi karena keterbatasan akses informasi. Kultur yang terlalu kuat atau beberapa hal lain. Namun yang jelas kecacatan leaping ini membuat banyak hal menjadi mandek.
Kegagapan Leaping inilah yang banyak dilupakan oleh orang banyak. Lantas secara sinis kita membagi tontonan menjadi bermutu dan tidak bermutu. Menonton “Tutur Tinular” itu tak bermutu sementara “Stand Up Comedy” bermutu. Atau “Dewi Bintari” hanya untuk selera rendahan sementara “Just Alvin” sebuah jaminan tayangan bermutu. Kita tak pernah menyadari ada jurang kegagapan penerimaan logika teknologi di masyarakat desa.
Ruang TV Kosong setelah acara “Dewi Bintari” usai.
Dan tentu saja para so called pakar komunikasi itu hanya asyik menjadi konsultan komunikasi politik politisi. Atau asyik dengan kritik yang sangat njelimet, tapi melupakan bagaimana bidangnya diresapi akar rumput. Agaknya inilah yang membuat jurang semakin besar. Tentu saja jurang ini dimanfaatkan para industrialis televisi yang ingin meneguk kue keuntungan dengan melihat celah ini. Tutur Tinular, Dewi Bintari, Tendangan si Madun atau Aladin secara jujur dan sedih saya nyatakan bisa membaca celah itu meski dengan hasil yang membuat saya mengucap istighfar
Buat saya kajian audience ini adalah sebuah kecatatan paling utama di bidang komunikasi. Dibanding dua kajian lain, riset mengenai audience begitu minim maka jangan heran bila semua produksi merujuk pada riset ala kadarnya ala produk riset kiblat pengiklan. Pencatatan etnografis di kajian audience menjadi penting agar televisi bukan lingkaran setan produksi dunia khayal yang penuh mimpi dan ladang onani pengiklan.
Di ruangan ini saya sendiri. Mengetik ditemani laptop kesayangan saya. Mbak Ti dan Ilham sudah pulang ke rumah. Sementara itu Mbah Satinah dan Satini terlelap tidur di kamarnya masing-masing. Televisi tak lagi menayangkan “Dewi Bintari”, ia menjadi sebuah layar hitam yang datar. Ia menjadi sebuah kotak hitam yang diam. Tanpa sengaja Polpot dari Tika berkumandang ketika saya mengetik ini, suara Tika lamat-lamat terdengar, “But the magic box’s a potent anesthesia. The only way to go is to smile through it all.” Mengamini apa kata Tika saya hanya bisa tersenyum menatap kotak ajaib bernama televisi.

  

One thought on “Senyum Polpot Untuk Mbak Ti

  1. Pas banget we sama pertanyaan ke diri sendiri we. Kemarin ngobrol sama Remo, gimana ya proses kita sampai bisa kemudian merasa ga suka dan jenuh sama siaran ga jelas gitu. Aku sih mikirnya karena terbiasa tidak menonton televisi dan punya banyak aktivitas lain yang bisa dikatakan lebih baik.Selain itu dengan adanya referensi yang lebih itu membuatku pengen melengkapi (sesuai teorimu) secara utuh. Mungkin awalnya cuma liat film, terus liat teater, terus ikutan bikin film. Mau nggak mau jadinya seleraku berkembang.

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: