Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Kulo mboten saget tanda tangan Pak (Saya tak bisa tanda tangan Pak),” ujar Warsitem. “Nek Bapak mawon seng tanda tangan pripun (Kalau Bapak saja yang tanda tangan gimana)?” tambahnya. Warsitem adalah salah satu orang tua murid di sekolah saya. Malam itu saya mendatangi kediamannya untuk mendaftarkan beasiswa sang anak, Anton, ke sebuah SMP di Jawa Timur. Sayang Warsitem sang penjual pecel tak punya kemampuan tanda tangan. Miris.
“Kulo biasane tok-tok nemu susu pas nyapu Pak (Saya biasanya pura-pura menemukan susu pas lagi nyapu Pak),” cerita Ibu Ruth. “Soale susu larang sak niki, nek ben dino tuku mboten saget Pak (Soalnya susu mahal sekarang kalau setiap hari beli tidak bisa Pak),” jelas Ibu Ruth kemudian. Saat itu Ibu Ruth, rekan guru saya di sekolah, menceritakan bagaimana cara ia memberi susu pada anaknya yang masih kecil, Weli. Karena harga susu yang mahal ia menggunakan cara berpura-pura menemukan susu saat menyapu dan memberikan susu itu untuk anaknya. Jika ia membeli susu di warung ia takut anaknya akan terus menagih meminta dibelikan susu, maka cara berpura-pura menemukan susu itulah yang ia pilih. Miris.
Dua kejadian itu sering saya temui selama enam bulan ini. Dalam kedua paragraf di atas saya menggunakan kata “Miris” untuk menggambarkan keadaan yang saya temui. Jujur itu hanya untuk tujuan dramatisasi. Pada kenyataannya semua berjalan biasa saja. Cerita menyedihkan tentang kemiskinan, keterbatasan akses atau sekedar pola pikir yang salah di masyarakat kerap saya temui, namun saya tak lagi miris dibuatnya. Katakan saya kejam, namun saya punya alasan mengapa kata “Miris” penuh dengan romantisasi.
Bayangkan kondisi ini, Albuquerque tiba di perairan timur Indonesia. Ia melihat pohon kelapa melambai dengan indahnya di pantai. Beberapa orang tanpa pakaian mengintipnya di balik batang kelapa. “Tanah Impian,” pikir Albuquerque. Cerita tentang eksotisme pun tersiar. Di sebuah negeri tropis di timur sana ada sebuah surga dunia, tanah yang elok nan eksotis. Maka berpuluh tahun kemudian hadirlah para pelukis Mooi Indie (Hindia Molek) yang menggambarkan tanah ini penuh dengan romantisasi, baik oleh keindahan alam maupun pola masyarakat yang tradisional. Saatnya ucapkan selamat datang pada penjajahan.
Kita kadang memelihara pola pikir ini bertahun-tahun. Ingat saat kecil kita tak menghabiskan makanan lalu ibu mengkritik dengan ucapan yang sangat tipikal. “Coba lihat anak-anak Afrika, masih banyak yang kelaparan,” kritiknya atas kelakuan kita. Mengapa kata “lihat” yang dipakai. Ada sebuah obsesi untuk memandangnya sebagai orang lain. “Afrika” bukan bagian dari kita, mungkin begitu pula ketika Albuquerque mengirim surat pada kerabatnya. “Coba lihat negeri timur di sana, Hindia Belanda, ih itu orang-orangnya,” lantas mereka tertawa bersama.
Saya bisa saja membuat sebuah tulisan keprihatinan akan nasib Warsitem dan Ibu Ruth yang begitu manis dan lirih, namun saya memilih tidak menuliskannya. Cara pandang seperti itu hanya membuat kita maju satu langkah bernama “kepedulian”. Namun kepedulian dan eksotisme sifatnya sangat mengecoh. Dan pengulangan sebuah cerita ‘kepedulian’ yang hiperbola bagi saya tak ada bedanya dengan reproduksi lukisan pantai nan indah bagi para pelukis Mooi Indie.  Begitu molek, namun berhenti hanya sampai di situ. Ya indah, Ya peduli, lantas?
Saya setuju dengan pendapat Avianti Armand, ia mengatakan, “Belakangan ini ‘miskin’, ‘murah’, ‘tidak akademis’ jadi sesuatu yang seksi bahkan membanggakan. Dan sering kita lihat orang menempatkan dirinya ‘dengan bangga’ pada sisi yang berlawan dengan kaya mahal dan pintar,” kicau penulis itu.
Arsitek cum penulis Kereta Tidur itu ada benarnya. Obsesi memandang mereka “yang lain” dari kita baik itu ‘orang miskin’ atau ‘tidak berpendidikan’ kadang begitu besar. Kita seperti sedang mengambil kuas dan meggoreskan coretan-coretan dengan warna senja di lukisan pantai nan elok. Begitu indah tapi terasa ‘jauh’. Sebuah alam yang indah namun jauh dan tak bisa kita sentuh. Seperti kita memandang “Afrika” yang tak habis di dalam piring kita, memandang mereka dengan sebuah pandangan mengasihani, bukan peduli. Keduanya membuat kita empatik, namun juga menghadirkan sebuah jarak yang tak bisa dijembatani. Lalu “memandang” jadi satu-satunya cara merasakan kepedulian kita, hanya memandang. 
Cara pandang itu yang terus direproduksi oleh media. Sangat lucu rasanya ketika melihat para politisi atau televisi mencoba membuat ‘seksi’ kisah Warsitem, Ibu Ruth dan ribuan orang bernasib sama. Ada nada ketololan dalam memproduksi cerita di dalamnya menurut saya. Ceritanya superlatif dan begitu berjarak, seperti membagi tokoh dalam kata ganti ‘saya’ dan mereka’, kata ‘mereka’ berkorelasi dengan yang patut ditolong. Tak ada sebuah ‘kita’ dalam reproduksi cerita mengenai orang yang terpinggirkan. Padahal mereka (ah sial saya menggunakan kata ganti ini) menjalani hidup dengan biasa saja, tak ada dramatisasi dalam hidupnya. Munculnya dramatisasi karena kita jauh dengan mereka. Karena kita selalu menganggap mereka ‘yang lain’, bukan bagian dari kita.
Saya jadi ingat cerita Wallace yang meneliti orangutan di Pulau Kalimantan. Ia bertindak sebagai pemburu atau “Mias” yang masuk ke hutan sendirian. Sekedar untuk mengenal perilaku orangutan di Kalimantan. Ia tak menggambarkan orang utan dengan cara pandang barat memandang timur. Rekan H.W Bates saat menjelajah Amazon ini percaya hanya cara pandang yang datar dan objektif yang bisa memberikan ia jawaban atas penelitiannya terhadap orangutan.
Ia masuk ke dalamnya, membuat cerita yang sangat deskriptif soal orangutan tersebut. Ceritanya sederhana dan tak ada dramatisasi. Bisa jadi karena ia telah menjadi bagian dari lingkungan hutan tersebut. Mungkin anda mengira saya gila membandingkan dua kejadian yang saya alami dengan orangutan ala Wallace. Namun lihat cara kerja Wallace, ia ingin membiasakan dirinya dengan lingkungannya agar menjadi sangat “biasa”. Bukan membuat sebuah keterpukauan yang akhirnya menghadirkan jarak.
“Geh tulung dicobi Pak, sopo reti saget mlebet (Ya tolong dicoba Pak, siapa tau bisa lolos beasiswanya),” ujar Bu Warsitem saat mengantar saya ke depan pintu rumahnya. Menatap wajahnya saya tau ada sebuah keinginan besar akan masa depan anaknya. Keinginan agar anaknya kelak bisa memandang lingkungan di mana dia hidup dengan cara pandang orang lain. Memandang lingkungan tempat hidupnya dengan sebuah ‘jarak’ tertentu, dengan sebuah cerita akhir yang membuat orang-orang mengucurkan air mata.
Di perjalanan pulang dari rumah Warsitem saya hanya diam. Ah saya malas membuat penutup tulisan yang mengesankan kepedulian. Buat saya membuat cerita mereka dengan sebuah dramatisasi tak akan berguna. Atau jangan-jangan ini hanya upaya saya melawan sebuah eksotisme cara lama dengan apatisme yang sesungguhnya juga eksotisme. Yang saya tahu, mereka seperti kita, orang biasa. Dan marilah memandangnya dengan biasa saja, tanpa bungkus eksotisme di dalamnya. Saya muak mendengar kisah luar biasa, karena luar biasa timbul dari orang yang tak terbiasa.

*cerita mengenai Mias dapat dibaca di buku Meraba Indonesia (2011:167)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: