Malam itu Pakde memeluk erat tubuh saya. Dalam pelukannya ia berpesan, “Ojo lali sholat le (Jangan lupa shalat Nak)”. Pelukan itu adalah pengantar bagi saya yang akan hijrah ke Jakarta. Sambil menahan tangis saya hanya menganggukkkan kepala di punggungnya yang besar. Di punggungnya yang besar, saya menutup mata rapat-rapat agar air mata tidak jatuh. Setelah beberapa lama akhirnya saya membuka mata, perpisahan itu terasa sangat berarti bagi saya. Sayangnya bukan wajah pakde saya yang terlihat ketika saya membuka mata, melainkan sebuah motor berwarna hitam merah.
Dwiki Dharmawan nama motor itu. Sebuah motor Honda Supra X 125 cc yang saya pakai selama empat setengah tahun menjadi mahasiswa di Jogja. Kenangan akan perjalanan panjang di Jogja pun melintas begitu cepat hanya karena motor itu. Dwiki lah yang menemani saya menabrak tebing Pantai di kawasana Wonosari, mengantarkan entah berapa teman ke kosan, dan menemani saya tidur di pinggir jalan antara Jogja Magelang. Malam itu saya tahu Dwiki tak sekedar benda mati beroda dua, ia hidup di relung kenangan saya. Berpisah dengannya sama dengan berpisah dengan Pakde saya. “Ayo We,” kata rekan saya, Roki, sambil memegang pundak saya tanda harus segera ke stasiun untuk ke Jakarta. Dan malam itu saya kehilangan seorang Dwiki, kehilangan penanda kenangan.
“Besok motornya dipaket ke Paser ya We,” perintah Arga pada saya. Arga adalah koordinator Pengajar Muda di penempatan saya. Sesuai amanat kantor, satu motor yang ada di penempatan kami harus dikirim ke Paser, Kalimantan. Membaca perintah Arga via pesan pendek membuat saya memandang motor bebek berwarna putih hitam. Sebuah motor produk India itu terparkir rapi di pojokan kediaman hostfam saya.
Jaka Tingkir menikmati malam itu dengan kesedihan karena akan berpisah dengan saya. Ya Jaka Tingkir adalah nama yang saya berikan pada motor tersebut. Bersama Jaka saya pernah jatuh terguling di lumpur, hampir menabrak ayam tetangga, juga tersungkur di tengah hutan karet. Bersama Si Tingkir saya merasakan sebuah pengalaman yang mahal harganya. Malam itu menjadi malam terakhir bagi saya dan Tingkir.
“Sekitar dua minggu lah Mas sampai,” ujar Fanani, seorang petugas pengiriman paket di daerah Lintas Sumatera. Sambil menyerahkan sebuah nota pengiriman ia meminta kunci motor dan STNK Jaka Tingkir. Menyerahkan kunci dan surat Si Tingkir bagaikan merelakan sebuah hubungan yang kandas begitu saja dengan sang pacar. Kini saya tak lagi bersamanya. Mungkin ia akan punya sahabat baru di tanah Kalimantan sana. Di kejauhan Lintas Sumatera saya menyempatkan menengok Tingkir yang terparkir rapi di halaman kantor penyedia paket.
Dua kali sudah saya kehilangan rekan perjalanan. Dwiki di Jogja dan kini Jaka Tingkir harus hijrah ke Tanah Kalimantan. Sedih rasanya, buat saya motor adalah kawan terbaik di kala sepi. Saya punya kebiasaan aneh yakni mengobrol dengan motor. Banyak rahasia dan pertanyaan hidup yang saya ajukan pada motor. Ia memang tak bisa menjawab tapi ia mau mendengar, sebuah hal yang semakin langka ditemui pada manusia.
Kepergian Dwiki Dharmawan dan Jaka Tingkir juga membawa pertanyaan mengapa saya suka menamai motor. Buat saya menamai motor membuat suasana saat mengendara menjadi akrab. Saya juga tak lagi memandang mereka sebagai sebuah benda mati semata, melainkan teman yang punya hati. Tapi saya kemudian semakin ragu dengan alasan itu, sifat ini mungkin hadir karena saya laki-laki.
Qaris dalam artikel di U Magazine pernah mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan pada dasarnya tak berubah. Saat kecil laki-laki senang bermain motor-motoran juga mobil-mobilan. Setelah besar sebenarnya laki-laki hanya mengganti ukuran mainannya dengan yang lebih besar. Saya tersenyum membaca apa yang ditulis Qaris, ada benarnya juga.
Yang kemudian menjadi pikiran adalah mengapa kita senang mengganti ukuran. Boleh jadi jawabnya dua. Pertama adalah soal kepemilikan. Laki-laki senang menguasai. Hampir semua peperangan di dunia terjadi karena hasrat laki-laki untuk menguasai. Biasanya menguasai tiga hal, wilayah, uang dan tentu saja perempuan. Maka tak terhitung peperangan hanya karena hasrat menguasai itu. Penamaan kemudian menjadi sebuah menara keberhasilan menguasai.
Nama Jakarta berubah-ubah sesuai dengan siapa yang memenangkan pertarungan. Sunda Kelapa, Batavia dan Jakarta menjadi bukti hasrat penguasaan berimplikasi pada sebuah penamaan. Menamai adalah sebuah tanda penguasaan. Mereka yang dinamai adalah mereka yang kalah dan yang menamai berhak menganggap yang dinamai sebagai otoritas tunggal miliknya.
Boleh jadi Dwiki Dharmawan dan Jaka Tingkir hadir karena hasrat menguasai. Hadir karena hanya itulah yang bisa saya kuasai. Dwiki mau dibawa ke mana saja di seluruh penjuru Jogja. Pun begitu dengan Jaka Tingkir yang rela diduduki dan dibawa dari ujung hutan karet sampai ujung Lampung. Dan pada mereka saya sering membicarakan banyak hal, hasrat penguasaan atas omongan. Ya mungkin hasrat itu terjawantahkan pada Dwiki dan Jaka Tingkir.
Hal kedua yang menarik dari tulisan Qaris adalah bagaimana perubahan ukuran menjadi begitu penting bagi laki-laki. Buat saya ini menarik. Sejak kecil sebenarnya laki-laki suka terobsesi menjadi “besar” (secara ukuran). Contoh kecilnya ketika kita buang air kecil bersama teman-teman di WC sekolah maka yang memiliki “burung” terkecil akan menjadi bulan-bulanan. “Burung” sejatinya adalah kekuasaan yang dibawa dari lahir tak serta merta memuaskan laki-laki. Hasrat penguasaan sudah laki-laki miliki atas “adik kecilnya” ini, yang kemudian menjadi masalah adalah hasrat akan ukurannya.
Hal sama berlaku pada motor. Saya berani bertaruh jika kita naik motor bebek dan melintas sebuah Harley maka akan ada perasaan minder karenanya. Oke mungkin tidak minder tapi lebih pada pandangan akan sesuatu yang asing. Motor sudah kita kuasai namun faktor “besar” kita kalah. Maka yang terjadi seperti ketika pipis di WC sekolah, yang kecil harus menelan malu sementara yang besar berkuasa. Walau “burung” yang kecil dapat lari dengan lebih kencang, oke lupakan hal itu.
Bisa jadi ini yang membuat Moge alias motor gede disukai laki-laki. Sebab ia menjawab dua kebutuhan laki-laki sekaligus yakni hasrat kepemilikan dan hasrat “besar”. Lalu mereka dengan semena-mena berjalan di tengah jalan dengan gas yang brutal. Ada keinginan untuk menunjukkan sifat “laki-laki” itu.
Dwiki mungkin kini sedang santai dalam sebuah parkiran di Jogja. Pun Jaka Tingkir yang sedang naik kapal untuk dibawa ke Kalimantan. Saya memang berpisah dengan dua motor tersebut. Namun perpisahan tersebut setidaknya mengajari satu hal. Hasrat akan sebuah kepemilikan harus diimbangi dengan hasrat akan kehilangan. Tanpa hasrat kehilangan boleh jadi motor saya berikutnya bagaikan sebuah wilayah tak bertuan yang akan saya kuasai dengan sesuka hati. Tapi saya kan laki-laki, bukankah itu sudah kodrat saya? Sayang tak ada Dwiki dan Tingkir yang bisa kembali saya ajak ngobrol soal laki-laki.
Motor barunya beli yang agak sedikit berbentuk perempuan saja, jadinya kan enak. Eh, kok. Hehehe.
Salam.
LikeLike