Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Teriakan lima orang bersahut-sahutan malam itu, “Ah kenapa di dropshot, enggak dismash aja,” tutur seorang diantara mereka. “Hajar Ricky, nah gebuk Rexy, Yeah gitu!” ujar orang yang lain. Di ruangan berukuran tiga kali dua meter itu suara gemuruh terus bersahutan seiring dengan memanasnya pertandingan. Nama Ricky Subagja dan Rexy Mainaky terus didengungkan bersamaan dengan gerakan mata ke kiri dan ke kanan mengikuti gerak shuttlecock.
Malam itu adalah final bulutangkis sektor ganda putra antara Ricky/Rexy melawan Cheah Soon Kit/Yap Kim Hock di Olimpiade Atlanta 1996. Jika Ricky/Rexy kalah maka dipastikan kontingen Indonesia pulang tanpa sebuah medali emas setelah Susi Susanti dan Mia Audina, dua andalan Indonesia di sektor tunggal putri hanya mendapatkan perak dan perunggu. Saat itu semua orang berharap Ricky/Rexy menyelamatkan wajah negeri ini dengan medali emas.
Keluarga saya tak menyaksikan di Atlanta, kami hanya menyaksikan di depan sebuah televisi Sony berukuran 21 inch. Di depan televisi kecil itu kami sepenuh hati mendukung pasangan terbaik negeri ini. Komentator di televisi terus bicara soal strategi Ricky Rexy yang salah dalam set pertama. Dalam set pertama Ricky/Rexy kalah 5-15 dari pasangan asal negeri Jiran tersebut. Di depan televisi kami berharap pasangan ini dapat membalikkan keadaan. Berjarak ribuan kilometer namun di depan sebuah layar kaca kami dapat merasakan suasana pertandingan ini.
Di lain waktu, di ruangan yang sama, di televisi yang sama kami berteriak tatkala Widodo melakukan tendangan gunting ke gawang Kuwait. Gol pertama Indonesia di pentas Asia itu kami saksikan di ruangan itu. Saking senangnya sebuah gelas berisi air tumpah ketika kami melompat kegirangan saat Widodo mencetak gol. Di ruang televisi kami pernah merayakan sebuah gelak tawa kegembiraan.
Enam belas tahun setelah itu saya datang kembali ke ruangan itu. Sebuah televisi bermerk Sharp layar datar ada di sana. Ukurannya 24 inch, lebih besar dari televisi kami yang terdahulu. Secara kualitas televisi ini lebih tajam gambarnya. Suaranya juga lebih baik, tapi ruang itu sepi, tak ada sebuah gelak tawa perayaan kegembiraan. Tak ada gelas yang tumpah saat bergembira. Yang ada hanya sebuah ruangan kosong dengan televisi di depannya. Kami tak lagi bersama di dalamnya.
Beberapa rekan saya juga mengeluhkan hal serupa. Saat helatan Piala Thomas Uber belum lama ini saya tidak tertarik dengan kalahnya Indonesia di babak-babak awal. Melainkan bagaimana rekan-rekan saya mengeluhkan dinginnya suasana saat menonton Piala Thomas tahun ini. “Enggak seru kaya dulu,” kira-kira begitu kesimpulan mereka. Lantas kesalahan ditimpakan pada kontingen Tim Piala Thomas, mengatakan tak lagi ada pembinaan.
Sebuah laporan di National Geoghrapic Indonesia tahun lalu membuat saya berani mengatakan tak ada hubungannya kemandekan prestasi dengan suasana menonton di televisi. NG Indonesia membuat liputan panjang mengenai bagaimana atlet bulutangkis Indonesia melalui sebuah jalan berliku untuk menuju tangga juara. Tak ada yang berubah dari era Ricky/Rexy dengan era Simon Santoso saat ini.  Lantas mengapa suasana di depan televisi tak lagi hangat?
***

Raut wajah Ilham menampakkan sebuah keceriaan ketika mencoba baju baru. Setelah memakaikan baju baru, ibunya membedaki wajah Ilham yang baru saja mandi. Sementara Bapak Boiman bertelanjang dada setelah lelah memotong kayu di belakang rumah. “Ngadem sek Pak, ndelok TV (Ngadem dulu Pak, lihat TV),” ujarnya. Di depan ruang televisi mereka mengobrol santai.
Ruang televisi menjadi begitu penting bagi mereka. Pesawat TV mereka tak datar dan tak punya kualitas gambar yang prima. Suara yang dihasilkan juga tak istimewa ala televisi terkini. Mereka tak mengenal serial luar negeri ataupun berpolemik soal debat politik di televisi. Yang mereka tahu adalah menonton televisi. “Kui Ham, Kui Ham,” celetuk Pak Boiman sambil menunjuk sebuah tokoh di TV yang memainkan adegan slapstick dengan jatuh diatas cat yang masih basah. Mereka kemudian tergelak bersama.
Ruang televisi adalah sebuah ruang yang menarik untuk dicermati. Di sana keluarga berkumpul. Di sana keluarga berkompromi mengenai apa yang mereka ingin lihat. Apa yang terbaik bagi mereka dan apa yang mereka anggap menghibur. Di ruang itu secara tak langsung keluarga menyatakan diri sebagai sebuah kesatuan.
Keluarga Pak Boiman dan puluhan keluarga di desa masih melakukan ritual yang sama di depan televisi. Menyalakan TV, lalu menonton dan tergelak bersama. Namun kenapa hal serupa tak terjadi di kota? Bukan, jawabnya bukan karena rasa kekeluargaan yang berkurang atau hal klise lainnya. Tak ada hubungannya dengan itu menurut saya.
Saya ingat sebuah kisah ketika Baudrillard menemukan teori hiper realitas hanya karena menonton televisi. Ketika itu Baudrillard menemukan teorinya tersebut setelah membandingkan sebuah pertandingan sepakbola yang tampak heboh di layar kaca namun ternyata aslinya sepi-sepi saja. Teori yang dikenal dengan hiper realitas itu meleburkan batasan antara tontonan dengan kenyataan.
Tendangan gunting Widodo, smash 1000 watt Hariyanto Arbi atau pukulan kedut ala Taufik Hidayat misalnya adalah sebuah penggembungan realitas. Jika kita menyaksikan di stadion tentu tendangan gunting Widodo tak akan spektakuler seperti gerakan slow motion di televisi. Televisi memberi sebuah keterpukauan visual yang melebihi realitas sebenarnya.
Dengan akses informasi yang begitu deras. Pengaktualisasian diri di sosial media membuat apa yang terjadi di televisi menjadi biasa saja. Kita tak lagi memandang apa yang terjadi di televisi sebagai sebuah realitas yang begitu berjarak. Sehingga kita tak lagi berkumpul di sana. Kita memilih berkumpul misalnya di dunia maya.
Mungkin Baudrillard 2.0 adalah ketika kita berkicau soal motivasi atau petuah hidup sementara kita sedang buang air besar misalnya. Bukankah untuk berkicau soal motivasi kita tak perlu sedang dalam sebuah keadaan meresapi hidup begitu dalam. Apa yang terjadi di arena 2.0 bisa saja terlihat begitu memukau padahal sebenarnya adem anyep. Arena hiper realitas ala Baudrillard mungkin telah berpindah.
Sementara itu Pak Boiman yang kesehariannya menyadap karet. Istrinya yang senang menanam muntul (ubi manis) di belakang rumah. Atau tetangganya yang biasa menanam singkong hanya menemui sebuah hiper realitas di televisi. Mereka hanya dapat menengok kehidupan yang lain dari kehidupan yang tak mereka jalani di televisi. Televisi-lah katalisme utama kehidupan mereka, ruangan televisi bagaikan sebuah pusat perbelanjaan akhir pekan bagi masyarakat kota bagi mereka.
Dua hari lalu saya menatap televisi di rumah saya. Begitu kosong dan datar. Di ruangan yang pernah begitu hiruk pikuk kini semua kosong. Hanya ada sebuah kenangan bahwa kami pernah bersama di sana. “Apik iki (bagus ini) Pak Ardi acarane,” sebuah perkataan Pak Boiman membangunkan saya dari lamunan. Di ruangan ini keluarga Pak Boiman masih bersama.
*kisah hiper realitas Baudrillard dapat ditemui di novel Lenka (2011:99). Di Sana Kita Pernah Bersama adalah sebuah lead yang sedikit saya rubah dari tulisan “Teras dan Ruang Tamu dalam Nostalgia” oleh Ardi Yunanto di Majalah Bung #2. 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: