Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Ruang Makan di Rumah.

Ada cerita kecil dalam buku Selimut Debu (Agustinus Wibowo) yang menarik perhatian saya. Dalam buku yang bercerita mengenai perjalanan sang penulis ke Afghanistan tersebut tentu kita bertanya di mana ia biasa merebahkan tubuhnya untuk beristirahat. Ia kerap menumpang menginap di rumah warga, sebuah hal “biasa” bagi para petualang. Yang menarik kemudian adalah adanya ruang khusus bagi para tamu untuk menginap.
Mehmankhana adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut ruangan yang disediakan tuan rumah untuk para tamunya. Diceritakan beberapa kali Agustinus menginap di mehmankhana beberapa rumah. Bagi saya ini sebuah hal menarik. Lebih dari tiga dekade Afghanistan diselimuti perang. Hal ini membuat banyak warga berada di bawah garis kemiskinan. Namun mereka tetap memuliakan tamu melalui mehmankhana.
Hampir serupa dengan mehmankhana, kakek saya pernah bercerita di rumahnya yang berada di pinggiran kota Solo banyak musafir lewat. Kakek dan orang-orang di kampungnya memang tidak menyediakan sebuah kamar untuk para musafir tersebut. Tak ada sebuah mehmankhana yang disediakan oleh kakek. Namun ia dan warga di kampung punya cara lain menyambut seorang tamu.
Kakek dan para warga lainnya biasa menyediakan sebuah teko berisi air putih di halaman depan rumah. Teko berisi air itu dimaksudkan agar para musafir dapat menikmatinya jika kerongkongan para pejalan mulai mengering. Musafir boleh meminum air di teko tanpa dipungut bayaran. Menyediakan sebuah air untuk musafir menjadi semacam peraturan tak tertulis di kampung kakek saya. Bila warga Afghanistan memilih memuliakan para musafir dengan mehmankhana maka kakek melakukannya dengan sebuah air dalam teko. Meski bukan keluarga namun beberapa kebudayaan sangat memuliakan para musafir.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat musafir dengan pengertian yang menarik. Musafir diartikan sebagai orang yang bepergian meninggalkan negerinya (selama tiga hari atau lebih). Tentu pengertian “negeri” sendiri tak hanya merujuk pada negeri dalam pengertian sebuah kesatuan ekonomi politik. Sebab dalam KBBI negeri juga dapat merujuk pada kampung halaman. Artinya orang yang meninggalkan rumahnya selama lebih dari tiga hari bisa disebut sebagai musafir.  
***
Menu makanan di rumah.
Sudah hampir delapan bulan saya menjadi musafir (atau musafirin). Sejatinya saya tinggal di Jakarta namun karena sebuah pekerjaan saya kini tinggal di Lampung. Bagi saya ini adalah status musafir yang kedua setelah sebelumnya pernah tinggal di Jogja selama lima tahun untuk kuliah. Karena ini merupakan pengalaman kedua saya menjadi musafir tentu sama sekali tak sulit menjalaninya. Saya terbiasa hidup sendiri sehingga memudahkan ketika jauh dari keluarga.
Setidaknya ada dua hal penting yang memudahkan kita merasakan “rumah” di setiap tempat. Dua hal itu adalah bangunan dan makanan. Bangunan merujuk pada tatanan rumah dan lingkungan. Tentu sulit menciptakan bagunan serasa rumah sendiri. Jean Nouvel, seorang arsitek Prancis, mengatakan bahwa setiap kebudayaan pasti akan menciptakan sebuah arsitektur yang baru. Dengan mengunjungi daerah lain yang punya kebudayaan lain sudah pasti kita akan menemui bangunan yang tak sama dengan yang ada di lingkungan asal kita.
Meski setiap kebudayaan memunculkan bangunan yang khas, seorang musafir akan lebih mudah menemukan “rumah” lewat bangunan. Sebab kita cenderung akan membandingkan sebuah bangunan yang kita temui dengan bangunan yang kita tinggali. Ingatan fotografis akan sangat membantu hal tersebut. Di satu sisi setiap kebudayaan memang menghasilkan arsitektur berbeda, namun di sisi lain setiap orang akan memandangnya sebagai “rumah” yang lain.
Setiap bangunan bisa menjadi rumah bagi seseorang karena pengalaman kita akan rumah dibentuk ketika kita meninggalkannya. Helmut Jahn mengatakan bahwa pengalaman manusia dengan bangunan akan terbentuk ketika kita justru terpisah dari bangunan tersebut. Itu mengapa seseorang mudah beradaptasi dengan sebuah bangunan baru. Karena ia akan cenderung menjadikan bangunan tersebut sebagai rumah yang sama dengan rumah yang ia tinggalkan. Kejadian sebaliknya terjadi untuk makanan.
***
Meja makan di rumah.
Belum lama ini saya berkesempatan pulang ke Jakarta selama dua hari untuk kepentingan pekerjaan. Aneh rasanya pergi ke Jakarta setelah lama tak merasakan hiruk pikuk kota ini. Gedung-gedung tinggi, orang tergesa-gesa, antrian kendaraan umum yang tak teratur. Semua itu membuat saya merasa kota ini memang sakit. Di tengah kekacauan itu ada sebuah kenyamanan ketika saya menjejakkan kaki di rumah.
Sampai rumah saya langsung menuju meja makan. Ada beberapa potong ayam goreng, sayur bayam, ikan teri dan sambal merah buatan ibu. Lama saya tak menyantap masakan ibu, mungkin sekitar satu tahun lebih saya tak makan di rumah. Sebenarnya tak ada yang spesial dengan makanan ini. Ayam gorengnya terasa kurang gurih, sayurnya seperti kelebihan garam, dan sambalnya sedikit kurang pedas di lidah. Namun hal itu tak mengurangi kenikmatan dalam melahap makanan tersebut.
Saya jadi ingat cerita Agustinus Wibowo di bukunya saat menceritakan pengungsi Afghan yang terbuang sampai ke Indonesia. Sang pengungsi bercerita bahwa ia sama sekali tak betah hidup di Indonesia hanya karena orang Indonesia tak suka makan roti. Makanan pokok di tanah konflik Taliban tersebut adalah roti. Memakan nasi sama sekali tak membuatnya merasa di rumah. Ia juga merasa amat beruntung jika bisa makan roti di Indonesia, serasa seperti berada di rumah katanya.
Menarik mendengar cerita tersebut. Sebuah negeri besar yang terbentang antara Rusia dan negeri-negeri Asia Tengah hanya dikenang oleh warganya lewat sebuah roti. Mungkin jika keadaannya dibalik akan terjadi hal serupa. Ketika orang Indonesia dilempar ke belahan dunia lain maka ia akan merindukan makanan rumahnya, apalagi kalau bukan nasi. Artinya memang makanan menghadirkan sebuah panggilan akan rumah.
Hampir senada dengan cerita Agustinus, sebuah adegan di Almost Famous juga bercerita soal makanan. Ketika William Miller pulang dari tugasnya meliput tur sebuah band dan sang kakak, Anita Miller, berdamai dengan sang ibu mereka berkumpul di meja makan. Suasananya begitu cair, William digambarkan berbincang dengan sang kakak dan ibu. Mereka juga kemudian tertawa lepas di meja makan. Kerinduan akan sebuah “home sweet home” terobati dengan makan bersama. Makanan menyatukan mereka.
Jika makanan menjadi sebuah bel akan kerinduan pada rumah, boleh jadi apa yang terjadi di meja makan adalah sebuah obat mujarab memahami keluarga. Makanan yang enak dan perbincangan yang hangat bisa jadi perpaduan paling sempurna mengartikan arti pulang bagi para musafir. 
Sayangnya tak seperti William saya makan sendiri di meja makan. Orang-orang di rumah tak ikut makan tatkala saya melahap hidangan di meja makan. Meski tak ditemani orang di rumah kenikmatan yang saya rasakan tak berkurang. Saya menambah nasi beberapa kali, bukan karena makanannya yang enak. Mungkin karena saya lama tak merasakan makanan ibu. Sambil makan saya merenung sendiri memikirkan makanan rumah.
Sejak kecil saya jarang makan apa yang diistilahkan dengan makanan rumah. Karena tuntutan pekerjaan  orangtua saya sudah pergi sejak pagi. Saya lebih sering ditinggalkan uang untuk membeli makanan daripada menyantap makanan di rumah. Menyantap makanan di rumah hanya bisa dilakukan di akhir pekan. Mungkin itu pula yang membuat saya senang menikmati akhir pekan. Ibu biasa memasak cumi, udang ataupun ayam goreng, ditambah dengan beberapa tumis dan terkadang kering tempe. Meski sederhana namun ada keistimewaan saat menikmatinya.
Menjadi musafir selama beberapa tahun saya baru sadar hal yang paling sulit untuk dilakukan adalah menghapus ingatan akan makanan rumah. Menikmati makanan rumah adalah sebuah sambutan paling hangat berada di rumah. Mungkin hal ini hanya berlaku pada saya.
Banyak kebudayaan memang memuliakan tamu atau musafir. Afghanistan dengan mehmankhana, pinggiran solo dengan teko di depan rumah dan banyak lagi contoh lainnya. Kita disambut seperti keluarga lewat hal-hal tersebut. Tidur seperti di rumah. Mendapat kehangatan seperti keluarga. Namun seperti kata sebuah tagline iklan, “lidah tak bisa berbohong”. Hati kita bisa dilingkupi oleh kehangatan keluarga baru. Sayangnya lidah takkan pernah bisa menemukan keluarga barunya.
Saya kembali menengok makanan di depan saya. Ayam goreng kurang gurih, sayur terlalu asin dan sambal yang kurang pedas. Saya melahapnya dengan semangat. Ketidaksempurnaan rasanya seperti sebuah gambaran akan rumah yang tidak sempurna. Namun kita selalu merindukan ketidaksempurnaan itu. “Gak nambah lagi?” tanya ibu tatkala saya menghabiskan piring kedua.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: