Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Sebuah panggilan masuk di telepon selular membangunkan saya malam itu. Saat itu saya sedang berada dalam Bus Damri menuju ibukota. Tak ada nama penelpon di layar telepon selular saya. Sambil malas-malasan akhirnya saya menerima telepon tersebut. Sebuah suara berat langsung memekakkan telinga saya, “Nyet dimana lo?”. Tanya suara di seberang telepon.
Saya mencoba mengingat-ngingat suara itu. “Siapa nih?” jawab saya dingin. “Anjrit, lupa sama gw lo Nyet, inget-inget lagi,” jawabnya dengan tetap memanggil saya menggunakan sapaan “Nyet”, singkatan dari Monyet. Teori sederhana saya mengatakan pasti orang di seberang telepon adalah teman akrab saya yang lama tak bersua. Tak mungkin sembarang orang memanggil dengan sapaan monyet bila tak akrab. Saya terus mengingat suara itu, sampai akhirnya sebuah nama terlintas.
“Kampret lo Le, ada apaan?” ya akhirnya saya ingat suara itu. Suara di seberang telepon itu milik Leo, teman akrab saya saat SMA dulu. Sambil tertawa Leo kemudian mengatakan ia hanya sekedar ingin tahu kabar saya. “Gw ngajar SD sekarang di Lampung, udah lulus ente?” ujar saya membuka perbincangan. Leo hanya kaget mendengar kabar saya. Menurutnya keputusan saya mengajar sedikit aneh, ia mengira saya sedang bekerja di media baik itu koran maupun televisi. “Cari pengalaman Le,” alasan saya singkat.
Kami kemudian berbincang panjang lebar soal banyak hal. Rencana masa depan, cita-citanya dan saya yang belum terlaksana. “Wah kayanya banyak berubah lo, kesambet setan apa?” celetuknya setelah saya menceritakan panjang lebar keadaan saya. Mendengar celetukannya, saya hanya tertawa. Ia pun ternyata banyak berubah, ia tak lagi mahasiswa abadi di kampus bilangan Kuningan, Jakarta. Pria ramah yang senang main basket itu kini mulai memikirkan masa depannya. “Udah tua ya kita boy?” tuturnya disertai tawa ketika mengetahui banyak perubahan yang terjadi.
Kami akhirnya memang sadar sudah tak bisa lagi bermain-main seperti saat menjadi mahasiswa. Perubahan juga terjadi pada rekan-rekan kami. Banyak yang sudah bekerja di Bank, menjadi pengajar di kampus kuning, meneruskan sekolah ke negeri kincir angin, bahkan beberapa sudah membina keluarga. “Semua berubah men, tapi tetep kita harus dukung Topik Pele ngecat rumah tetangga,” kelakar saya. Topik Pele adalah rekan kami yang punya hobi mengecat rumah, sebuah hobi yang sangat aneh. Padahal kini Topik sudah menjadi pria matang yang punya pekerjaan lumayan.
Semua memang berubah namun memang ada hal-hal yang takkan pernah berubah. Saya dan Leo tak berbincang soal kesuksesan kawan-kawan tapi kenangan kecil kami mengenai kebodohan mereka. Seperti sebuah dialog di Hari Untuk Amanda yang paling saya suka, “Kita seperti Jakarta yang terus berubah tapi sebenarnya tidak pernah berubah”. Ya saya dan Leo mungkin telah berubah namun kami sebenarnya tak pernah berubah, kami tetaplah pemuda awal 20-an yang merindukan cerita-cerita bodoh khas remaja.
Sekitar lima jam setelah selesai mengobrol dengan Leo, Bus Damri yang saya tumpangi sampai di Stasiun Gambir. Ah ibukota, pikir saya sedikit lega kala itu. Saya kemudian mengirim pesan pada Mimit, rekan kuliah saya, “Mit, mengko mbengi ketemuan yo nang Aksara Kemang, aku sisan meh tuku buku (Mit, nanti malam ketemuan ya di Aksara Kemang, aku sekalian mau beli buku),” setelah itu saya menekan tombol send di telepon selular saya. “Siap!” balas Mimit lima menit kemudian.
Malamnya saya dan Mimit telah duduk di KFC Kemang karena saya baru sampai sekitar pukul sebelas malam. “Aksara wes tutup cah, nang KFC wae sisan madang (Aksara udah tutup, ke KFC aja sekalian makan),” ajak Mimit. Saya pun hanya mengangguk tanda setuju. Kami kemudian mengundang satu orang lagi untuk bergabung, Sita atau biasa saya sapa dengan Kak Sita. Kami mengobrol sambil sesekali melirik mbak-mbak lucu di meja samping, cukup menghibur.
Kami bertiga kemudian saling berbagi kabar. Masing-masing orang punya kabarnya masing-masing. Mimit masih sibuk menjadi seorang fotografer lepas. Kak Sita baru saja melakoni pentas teater di Taman Ismail Marzuki. Dan saya bercerita mengenai pengalaman mengajar selama kurang lebih tujuh bulan. Kami semua menikmati pekerjaan kami, sangat menikmati malah. Dan kami tak mau kehilangan pekerjaan ini.
“Isohlah mesti (Bisalah pasti),” ucap Mimit menyemangati kami berdua dan saya yakin juga dirinya. Ucapan itu tercetus ketika kami bertiga saling berbagi cerita mengenai rencana kami tahun depan. Baik rencana personal maupun rencana bersama. Sebuah rencana yang keluar karena kami percaya bahwa kenyataan tak bisa memupuskan impian kecil yang ada di tiap diri kami.
Senang rasanya bisa berbagi rencana dengan mereka. Perbincangan itu membuat saya percaya masih ada orang yang berani tidak menyerah pada realitas hidup yang keras, ah bahasa saya berlebihan. Ya tapi benar, saya senang masih ada orang yang tidak menyerahkan begitu saja dirinya pada sebuah pekerjaan yang mematikan bakatnya dengan alasan tuntutan kehidupan. Mimit dan Sita mengajari saya banyak hal malam itu, tentu dengan sedikit hiburan “mbak-mbak lucu” di meja sebelah. Hampir lima jam kami mengobrol akhirnya Adzan Subuh membuat kami sadar sudah saatnya pulang.
“Aku bali sek yo Mit, salam ganteng di udara,” ketik saya saat pesawat menuju Lampung akan terbang. Dan kini saya kembali berada di Lampung. Liburan sekolah telah tiba, aktifitas mengajar tentu berhenti, berganti dengan ajang silaturahmi ke beberapa tempat. Beberapa rekan satu penempatan saya mengambil cuti untuk bertemu keluarga.
“Aku udah mau terbang, aku pulang kampung dulu ya, titip Tulang Bawang Barat dan semangat terus!” pesan Arga masuk di telepon selular saya pagi ini. Arga adalah koordinator Pengajar Muda di daerah penempatan kami. Saya pun kemudian membalas dengan menitip salam untuk keluarga Arga. “Keluarga sehat semua Ga? Salam ya buat keluarga,” ketik saya di pesan pendek untuk Arga.
Setelah beberapa lama, tepat ketika saya mengetik tulisan ini tiba-tiba pesan pendek dari Arga datang. “Sehat Bung Awe, ini aku lagi seneng banget soalnya bisa main sama keponakanku,” tulis Arga di pesan pendek. Arga memang baru saja memiliki seorang keponakan berusia satu tahun. Salah satu tujuan ia cuti adalah untuk bertemu keponakannya.
Saya mengingat lagi perbincangan dengan Leo, Mimit dan Sita serta Arga di minggu pagi lalu. Sambil memikirkan hal itu lantunan lagu dari Jens Lekman dan Adhitia Sofyan menemani saya. Teduh rasanya. Kadang waktu memang merubah kita, membuat kita menyerah pada keadaan. Namun ada hal-hal yang tak pernah berubah. Kita menyusun itu, mencoba membangun itu dengan serpihan harapan yang tak hancur oleh kenyataan. Namun pada akhirnya kita akan kembali pada hal yang paling kita rindukan. Seperti Arga yang kembali sekedar untuk menemui keponakannya. Siklus itu akan terus berulang. Lamat-lamat suara Adhitia Sofyan di lagu ‘Carnival’ hadir di kepala saya, “Nobody knows whats tomorrow, it might brings us to our last”.  

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: