“Azalea”
“Alex”
Mereka berdua saling menatap. Pupil mata Alex membesar.
***
Sambil menenggak air mineral dalam botol kemasan Azalea menatap trotoar di depannya. Tak seperti kebanyakan trotoar yang lebarnya tiga perempat tinggi orang dewasa, trotoar ini lebih lebar. Bila dihitung lebar trotoar ini mungkin bisa mencapai satu setengah kali tinggi orang dewasa. Ia menenggak lagi air kemasannya. “Akhirnya,” ucap Azalea singkat.
Lima tahun sebelum ia mengucap “Akhirnya” di tempat yang sama orangtuanya mengakhiri hidup. Astungkara, ayah Azalea dan sang istri tak pernah menyangka trotoar itu saksi bisu kematian mereka. Tak ada yang spesial dengan keluarga Astungkara sore itu. Astungkara mengajak istrinya pergi ke toko buku. Istrinya menyanggupi, “Lea, ayo navigatori bapak dan Ibu,” pinta sang Ibu pada anak semata wayangnya.
Azalea tahu ia tak bisa menolak ajakan sang ibu. Sambil membawa buku “Sukses Ujian Perguruan Tinggi” ia menavigasi kedua orangtuanya. Saat itu Azalea akan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Ia hanya punya satu cita-cita, masuk jurusan komunikasi. Ia cinta dengan jurusan itu karena ingin menjadi penulis. Azalea remaja percaya menulis adalah bekerja untuk keabadian. Namun di sore itu ia harus mengabdi kepada orangtuanya untuk menavigasi.
Hampir setiap sore ia menavigasi orangtuanya di trotoar. “Untuk trotoar yang kurang lebar, butuh orang ketiga buat bapak dan ibu,” ujar Dokter Nila sambil memperagakan bahasa isyarat pada orangtua Azalea. “Lea, mungkin menjadi navigator membosankan, tapi ayah dan ibumu perlu navigator,” pesan dokter pada Lea kecil. Dan semenjak itu ia punya tugas baru setiap sore, menemani ayah dan ibunya berjalan-jalan di trotoar.
Astungkara lebih senang berbicara ketimbang menggunakan bahasa isyarat pada istrinya. Sang istri juga demikian. Sayang terkadang mereka berdua tak mendengar apa yang diucapkan pasangannya. Sehingga mau tak mau bahasa isyarat kerap menyempil diantara perbincangan pasangan ini. Jika itu terjadi Azalea hanya bisa tersenyum kecil karena sang ayah dan ibu bisa berkomunikasi tanpa bicara.
Astungkara hanya bisa menangkap suara di ambang 61-90dB, sehingga ia digolongkan tuli berat. Sedikit lebih beruntung dari sang suami, ibu Azalea bisa mendengar suara di ambang 31-60dB. Karena itu mereka terkadang menyisipkan bahasa isyarat dalam perbincangan.
Bahasa isyarat membuat Astungkara dan istrinya perlu jarak saat bersebelahan. “Trotoar kita tak mendengar orang yang tak bisa mendengar,” tulis Astungkara di majalah arsitektur dan tata kota. Ia tak sedang berbohong, nyatanya memang trotoar di sini diciptakan hanya untuk mereka yang menamakan diri mereka “normal”. Karena itu Astungkara dan istri butuh navigator, mereka butuh Azalea. Dua orang tunarungu yang berjalan di trotoar harus diawasi oleh seorang navigator. Sore itu Azalea sedang menjalani tugasnya seperti biasa.
Sayangnya obsesinya menjadi penulis membuatnya tak berkonsentrasi menjadi navigator sore itu. Sambil membaca buku ujian masuk perguruan tinggi negeri ia lupa memperhatikan orangtuanya. Astungkara yang tak dapat melihat dengan seksama gerakan tangan istrinya karena jarak yang terlalu dekat, melebarkan dirinya ke sisi trotoar. Mereka berdua tak sadar tak lagi di batas aman trotoar.
Buku ujian masuk perguruan tinggi Azalea terjatuh karena sang pemilik kaget melihat apa yang ada di depannya. “Cara Membuat Paragraf Akhir” sebuah tulisan di buku Azalea tertutupi warna merah darah. Yang terbaca kemudian hanya “Akhir”. Di depannya Astungkara dan istri terkapar tak berdaya. Mereka berdua tertabrak rombongan orang pawai dengan baju putih-putih. “Innalillahi Wa Innailaihi Rajiun,” orang di belakang Azalea mengucapkan kata pamungkas penutup hidup. Azalea hanya bisa diam terpaku. Sore itu ia gagal menjadi navigator orangtuanya menuju toko buku. Sore itu ia menjadi navigator keduanya menuju surga.
“Akhirnya Lea. Ayah dan ibu pasti bangga sama kamu, Alex juga,” ujar Eri tiba-tiba. “Makasih Ri,” balas Azalea datar sambil tetap memandangi trotoar khusus tunarungu buatannya. Eri mengenal Azalea karena dirinya pernah meminta Lea mendesain rumah kakak iparnya yang juga mengalami gangguan pendengaran. Sambil menunggu peresmian trotoar, Azalea memainkan botol minumnya.
Azalea ingat selama seminggu setelah kematian orangtuanya ia memainkan contrabass sendirian. Aneh memang memainkan alat musik berdesibel tinggi ini sendirian namun memang itu yang kerap ia lakukan untuk orangtuanya. Dengan tingkat pendengaran yang rendah orangtuanya hanya bisa mendengar alat musik berdesibel tinggi, dan contrabass salah satunya.
Selama bertahun-tahun ia melakukan ritual memainkan contrabass di hadapan orangtuanya. Tepatnya sejak Dokter Nila mengatakan bahwa hanya beberapa alat musik yang bisa didengar oleh Astungkara dan istrinya. Dari beberapa alat musik yang disarankan dokter, Azalea memilih contrabass.
Ia senang melihat ayahnya menganggukkan kepala dan ibunya mengetuk-ngetukkan kaki saat ia memainkan alat musik itu di hadapannya. Adakah yang lebih indah selain musik untuk mereka yang tak pernah mendengar musik? Saat mendengarkan anaknya memainkan contrabass kedua orangtuanya sering saling menatap. Pupil mata keduanya membesar, menandakan kasih sayang diantara keduanya.
Tanpa sebuah komunikasi oral yang intens, Dokter Nila mengatakan pada Azalea, “Lihat pupil orangtuamu, pupil membesar bisa berarti rasa sayang atau kemarahan yang memuncak,” ia hanya mengangguk mendengar ucapan dokter. Semenjak itu ia kerap mencuri pandang ketika ayah dan ibunya saling memandang, ya pupil mereka membesar. Azalea senang mendapatkan fakta baru itu.
“Lea, aku jemput Alex dulu ya,” tanpa menunggu jawaban Azalea, Eri pergi begitu saja. Azalea hanya sempat menengok sebentar ke arah Eri pergi lalu kembali mengingat hari-hari setelah ia gagal menjadi navigator untuk orangtuanya.
Buku yang dibawanya penuh darah. Ia melihat halaman dimana tulisan “Akhir” dalam buku itu tertutup darah. Sambil meletakkan contrabass malam itu cita-citanya menjadi penulis pun bernasib sama dengan orangtuanya.
Trotoar yang lebar. Hanya itu yang ada di pikirannya. Satu-satunya cara ia harus menjadi arsitek. Mungkin nasib orangtuanya juga dialami oleh banyak orang lain. Dan entah ada berapa anak yang menjadi navigator seperti dirinya.
Hari ini ia mewujudkan itu. Mewujudkan mimpi semua navigator trotoar, meuwujudkan angan orang-orang yang bernasib sama dengan orangtuanya. Sekali lagi ia meneguk minum dari botol yang tadi ia mainkan. Ia berhasil menciptakan trotoar yang ramah dengan tunarungu. Kini cita-citanya ada di depan matanya.
Ia baru benar-benar tersadar, Eri menjemput Alex. Ya nama itu terkesan samar-samar selalu terdengar oleh Azalea. Alex adalah obsesinya yang ikut mati di trotoar. Ia tahu Alex mencari dirinya, tapi ia malas menemui penulis. Ada perbedaan besar yang sulit dijembatani antara dua profesi itu.
Azalea belajar bahwa titik adalah sebuah awal dari perancangan. Semua bangunan diawali oleh titik. Namun Alex percaya titik adalah akhir dari sebuah cerita. Sebuah tulisan tanpa titik tak berarti apa-apa, ia mengambang dan tak ada manusia yang ingin mengambang. Semua manusia butuh titik. Sayangnya Azalea dan Alex menggunakannya secara tak bersama.
Azalea menggemari tulisan Alex, ia tahu frase apa yang akan digunakan Alex saat ia mengagumi sesuatu. Ia hapal nama pengarang yang sering ia catut di tulisannya. Layaknya Alex yang hapal bangunan apa yang telah Lea buat. Mereka saling mengintip, dan lubang intipan itu adalah Eri. Azalea dan Alex tak pernah benar-benar berani bertemu. Membuka lubang intipan bernama Eri. Mereka bagai dua orang tunarungu yang berjarak dan hanya memainkan bahasa isyarat, dengan Eri sebagai navigatornya. Tanpa sadar Eri sang navigator telah datang bersama seseorang.
***
“Azalea”
“Alex”
Mereka berdua saling menatap. Pupil mata Azalea membesar.
*cerpen ini adalah balasan untuk cerpen Shofia Wanis yang ditujukan pada saya. Cerpen Shofia bisa dibaca di http://shofisme.wordpress.com/2012/05/18/hari-18-mencari-azalea/ . Arsitektur untuk tunarungu secara lengkap dapat dibaca di buku “Mata Yang Mendengar” (Meutia Rin Diani). Cerita soal pupil mata saya dapatkan dari Mas Iwan Pribadi (@temukonco). Ah senangnya bisa menulis cerpen lagi.
Mas komenku yang dulu ternyata nggak masuk yak? haha sudah kuduga, soalnya waktu itu jaringan internetnya error.
Makasih mas balesan cerpennya. Aku jalan2 lagi ke blog ini dan baca ini lagi, jadi senyum sendiri. Semoga Azalea bisa memaafkan dirinya sendiri ya 🙂
LikeLike