Bli Gede mempersilakan saya masuk ke bagian belakang Pura. Ia mengajak saya duduk di sebuah papan yang mirip dengan dipan. Bagian dalam pura tersebut terdiri dari dua buah dipan berhadap-hadapan yang digunakan untuk istirahat, bahan material untuk membangun pura dan beberapa cemilan kecil pengisi perut. Sambil meminta izin untuk menenggak segelas air putih Bli Gede mempersilakan saya duduk sebagai tanda mengawali perbincangan pagi itu.
I Gede Suparta nama lengkapnya namun ia pernah mengatakan pada saya, “Paggil Bli Gede saja,” ujarnya dengan pengucapan huruf vokal “e” yang khas Bali. Pagi itu ia tak sendiri, sekitar sepuluh orang pemuda dan tiga orang perempuan paruh baya menemaninya di Pura. Wajah Bli Gede dan beberapa pekerja sedikit menampilkan kelelahan namun senyum hangat mereka tetap tersaji saat meladeni saya mengobrol.
Wajar jika Bli Gede dan rekan-rekannya tampak kelelahan, mereka sedang membuat Pura Kayangan Tunggal untuk desa. “Kalau di Bali biasanya ada pura pusat, pura desa dan pura dalam, jadi satu daerah biasanya ada tiga pura. Tapi ekonomi kami hanya cukup untuk bikin satu pura. Ketiga pura itu kita jadikan satu makanya namanya Pura Kayangan Tunggal, Tunggal itu kan artinya satu,” jelasnya membuka obrolan.
Meski masih lekat dengan budaya Bali dan logat Pulau Dewata begitu kental keluar dari lidah Bli Gede namun kami tidak sedang berbincang di Pulau Bali. Saya, Bli Gede dan puluhan orang di Pura Kayangan Tunggal berada di Tulang Bawang Barat, Lampung. Arus transmigrasi yang begitu besar di sekitar tahun 1980-an membuat banyak masyarakat Bali pindah ke Lampung. Orde Baru menjadikan Lampung sebagai salah satu lokasi transmigrasi yang utama. Menara gading kesuksesan transmigrasi pun dijawantahkan dengan pembuatan Museum Transmigrasi di Lampung. Masyarakat Bali terbawa arus ini, mereka yang merasa tak memiliki peruntungan di pulau surga itu rela pindah ribuan kilometer ke daerah ini. Bli Gede salah satunya.
Bersama dua puluh delapan kepala keluarga di Desa Adat Nusa Mertadadi, Bli Gede mempertahankan tradisi Bali di tanah Lampung. “Ada beberapa Banjar Adat di Tulang Bawang Barat ini, misalnya banjar adat nusa mertadadi, itu banjar adat kami, juga ada banjar adat Bali Agung yang lebih besar,” ujarnya sambil mengelap keringat di keningnya. Banjar Adat sendiri adalah sebutan untuk sebuah kawasan khusus yang dihuni oleh masyarakat Bali dengan memakai peraturan dan adat Bali. Masyarakat dari luar Bali biasa menyebut Banjar Adat dengan “Kampung Bali” beberapa juga menyebutnya “Balian”.
Meskipun bukan yang paling tua diantara warga Banjar Adat, Bli Gede didaulat menjadi kepala banjar adat. Tugasnya sebenarnya mirip dengan lurah dalam birokrasi pemerintahan atau kepala adat di pemerintahan tradisional. Ia bertugas mengoordinir warga bila ada hajatan atau upacara bersama. “Tapi kalau memimpin upacara adat bukan tugas saya, itu tugas serimpu atau pinandita,” ucapnya pada saya. Dua istilah yang disebutnya merujuk pada istilah lain pendeta atau pemimpin umat agama.
Dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai Ketua Banjar Adat itu pula ia kini memimpin masyarakatnya membuat Pura. Dengan menggunakan pakaian lengan panjang berwarna putih bercampur biru ia memimpin pembuatan pura di desanya. Bajunya sudah lusuh terkena keringat dan cipratan cat. Namun semangatnya memimpin warga tak selusuh pakaiannya.
Seperti mengamini semangat pemimpinnya beberapa pemuda dan bapak-bapak yang membuat pura juga tak kalah semangat. Mungkin mereka sedang menjalani salah satu falsafah Hindu yakni tat twam asi. Falsafah itu mengajarkan aku adalah engkau, kerjaku adalah kerjamu, hasil kerja saya adalah hasil kerja dia. Sebagai seorang Muslim saya menjadi ingat falsafah Islam yang mengatakan bahwa sesama muslim bagaikan satu tubuh, satu sakit yang lain akan merasakannya. Mungkin tat twam asi mirip dengan falsafah itu.
Saking semangatnya membuat pura mereka semua tampak letih. Wajah mereka memerah terbakar sinar matahari. Beberapa dari mereka membuka baju untuk mengusir keringat bandel di pakaian mereka. Pemandangan yang sama sekali berbeda dari apa yang saya temui satu minggu sebelum kedatangan saya hari ini.
Seminggu lalu sebuah sejarah tercipta di Banjar Adat Nusa Mertadadi. Tak ada pakaian lusuh atau raut wajah kelelahan, lupakan pula soal telanjang dada karena kegerahan. Minggu lalu yang adalah puluhan warga mengenakan baju terbaiknya. Semua warga tumplek blek di halaman rumah Bli Gede. Minggu lalu mereka melaksanakan upacara Ngaben pertama kali sejak berdirinya banjar ini tujuh tahun lalu.
***
Jumat siang itu tepatnya pada tanggal 26 Juni 2012 semua warga Banjar Adat Nusa Mertadadi berkumpul di halaman depan rumah Bli Gede melaksanakan Upacara Ngaben. Berita mengenai hal ini telah tersiar sampai ke kampung lain yang masyarakatnya tak menganut agama Hindu. “Mau ada Ngaben di Balian,” begitu kira-kira kabar yang tersiar di kampung sekitar Banjar Adat yang Bli Gede pimpin. Berita itu pun sampai di telinga rekan saya, Meiske, yang kemudian mengajak saya menyaksikan upacara pembakaran jenazah tersebut.

Di tengah-tengah upacara, pria yang sehari-hari bertani ini menyempatkan menanggapi rasa penasaran saya mengenai upacara yang kerap saya dengar namun tak pernah saya lihat langsung. Ia mempersilakan kami duduk di depan rumahnya, seorang peserta upacara mengantarkan kami air mineral kemasan dan beberapa kue kering. Sajian yang amat sederhana namun menggambarkan keramahan yang sangat terhadap tamu. Di bangku itu Bli Gede menceritakan banyak mengenai upacara yang baru sekali dilaksanakan di Banjar Adatnya tersebut.
Adalah Made Umbreg sosok yang menjadi buah bibir hari itu. Ia adalah seorang nenek berusia lanjut yang hari itu di-ngabeni. Menurut anak laki-lakinya yang bernama Nengah Wantra, usia ibunya telah mencapai 116 tahun. Saya hanya manggut-manggut mendengarnya. Mungkin ketiadaan akte kelahiran dan langkanya pencatatan membuat umur seseorang tak dapat terdeteksi dengan baik. Namun berapapun umur Made Umbreg satu yang pasti semua orang hari ini mengantarkan kepergian beliau melalui Upacara Ngaben.
Bli Gede membuka obrolan dengan menyatakan bahwa warga banjar adatnya sudah tiga kali melakukan upacaran ngaben. “Sudah ada tiga orang yang meninggal sejak berdirinya desa adat ini, tapi dua yang pertama di-ngabeni di Kalianda,” buka Bli Gede siang itu. Kalianda adalah nama daerah lain di kawasan Lampung yang juga banyak dihuni masyarakat Bali. Daerah ini kerap mengadakan upacara Ngaben massal dan banyak warga Bali dari daerah lain yang ikut ngaben di sana. “Baru Made Umbreg yang pertama kali ngaben di desa ini, pertama kalinya sejak desa ini berdiri,” tambah kepala adat ini sambil mempersilakan kami menikmati sajian yang diberikan warga.
Menyambung Bli Gede, Nengah Wantra mengatakan bahwa sudah tradisi keluarga mereka melakukan ngaben sendiri, bukan massal. “Dua bulan ini sudah ngabeni dua orang tapi sebelum ibu ngabennya bukan di banjar ini,” jelas anak kelima dari enam bersaudara ini. Sebenarnya Masyarakat Bali di Kalianda juga akan mengadakan Upacara Ngaben massal di bulan Agustus tahun ini, namun pihak keluarga Made Umbreg memilih melakukan Upacara Ngaben sendiri. “Kalau nunggu yang di Kalianda kelamaan mas,” ujar Nengah memberi alasan.
Melihat raut wajah saya yang bingung dengan penjelasan Nengah Wantra, Bli Gede mengambil inisiatif untuk menjelaskan. “Ngaben itu kan ada yang sendiri ada yang massal, tergantung kemampuan masing-masing. Bagi yang tidak mampu mungkin milih ngaben massal namun bagi yang mampu boleh ngaben sendiri, tidak ada paksaan, semua tergantung kemampuannya,” ujarnya bijak.
Tak sampai disitu ia kemudian melanjutkan dengan menjelaskan tiga jenis tingkatan Ngaben. “Upacara Ngaben sendiri ada tiga jenisnya. Pertama itu nista, ini yang sederhana, sebisa mungkin menghemat biaya. Yang kedua Madya, madya kan artinya tengah atau sedang, ini ya kelas menengah lah, sesajennya juga lebih banyak dari nista. Terakhir itu Utama, ini sesajennya banyak, kelas atas lah, biayanya pun besar. Tapi tak ada keharusan harus melaksanakan yang mana, semua tergantug kemampuan keluarga yang Ngaben,” jelasnya panjang lebar.
Upacara Ngaben Made Umbreg sendiri adalah Ngaben utama. “Sudah tradisi keluarga soalnya,” alasan Nengah Wantra sebagai pihak keluarga mengenai upacara Ngaben ibunya. “Kalau ngelakuin Ngaben sendiri bisa sampai puluhan juta kalau ikut massal yang di Kalianda mungkin hanya sampai lima juta,” tambahnya mengenai jumlah biaya yang dikeluarkan. Jelas bukan jumlah yang sedikit bila mengingat bahwa harga getah karet, komoditas yang dijadikan sumber utama mata pencaharian warga banjar ini sedang menukik turun.
Mendengar angka sebesar itu membuat saya bertanya-tanya mengapa upacara ini harus dilakukan? Mengapa upacara ini begitu sakral? Juga selintingan pertanyaan mengenai apakah upacara ini jadi terkesan memaksakan secara ekonomi? Berbagai pertanyaan tersebut mencuat dan tak bisa saya biarkan begitu saja di ujung lidah. Saya tahu Bli Gede bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Dan nyatanya benar, sambil tersenyum ia menjawab pertanyaan saya dengan menerangkan filosofi ngaben.
“Dalam ajaran Hindu, tubuh manusia itu terdiri dari unsur-unsur. Biasa disebut nyatur. Nyatur atau catur itu kan artinya empat, ada empat unsur tubuh manusia ditambah satu unsur lagi yang disebut panca mahabuta. Manusia itu kan berasal dari unsur pertiwi (tanah), apah (air), teje (api), bayu (angin) dan akase (zat hampa). Saat ngaben manusia yang berasal dari tanah dibakar lalu menjadi abu. Abu itu dilarung ke laut. Abu itu juga terbawa oleh angin ke zat hampa lalu kembali ke alam semesta,” jelasnya panjang lebar. “Sekali lagi, bagi yang tidak mampu kan bisa ikut ngaben massal atau yang sederhana saja,” ujarnya mengingatkan bahwa semua tergantung dengan kemampuan masing-masing.
Penjelasan Bli Gede mengingatkan saya pada tulisan Putu Setia dalam buku Menggugat Bali. Pada tahun 1963 Bali merencanakan akan mengadakan Upacara “Eka Dasa Rudra”. Sebuah upacara besar yang diadakan seratus tahun sekali. Syarat dari upacara ini adalah semua jenazah umat Hindu di Bali sudah harus bersih dibakar. Sayangnya kondisi ekonomi masyarakat sedang menurun, sehingga dibuatlah kampanye Ngaben hemat di desa-desa. Petunjuk Ngaben hemat itu sendiri terdapat dalam lontar Yama Purwana Tatwa.
Saya senang bagaimana Putu Setia memandang permasalahan Ngaben hemat ini, ia menulis, “Untunglah tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan yang membuat hidup jadi susah”. Seketika saya ingat tradisi Yasinan saat Umat Islam meninggal. Ketika memang tak mampu melaksanakan maka tak ada salahnya ditinggalkan. Benar kata Bli Gede, semua tergantung kemampuan masing-masing.
Saya kemudian pamit ke depan rumah untuk menyaksikan upacara ngaben dan mengambil beberapa foto. Setelah memohon ijin mengambil gambar pada Bli Gede dan serimpu atau pendeta pemimpin upacara untuk memfoto maka saya berkeliling di sekitar lokasi upacara. Seorang wanita berusia sekitar 50-an tahun tersenyum ramah pada saya. Ia mengenakan pakaian putih-putih dengan hiasan pada rambut. Wayan Swarni namanya.
Wayan Swarni merupakan menantu Made Umbreg. Beberapa kali ia menyatakan ini pertama kalinya Ngaben dilaksanakan di desa ini. “Pertama kali lho Mas,” ujarnya beberapa kali saat saya memfoto dirinya. Ada sebuah kebahagiaan dan kebanggaan terpancar dalam dirinya siang itu. Di luar kesedihan karena harus melepas sang mertua ke alam semesta ada kebanggaan terselip dengan keberhasilannya mengadakan upacara ngaben ini.
Sambil menggendong abu prerai Wayan Swarni terlihat begitu senang dengan lancarnya upacara ngaben di siang itu. “Abu Prerai” adalah abu dari jenazah yang akan dilarung. Ia dibungkus dengan kain kuning dengan sebuah kayu kecil bergambar wajah manusia di atasnya. Setelah upacara di depan rumah Bli Gede selesai maka abu prerai ini akan dilarung ke laut.
Di banjar adat ini tak ada laut, padahal abu prerai harus dilarung ke laut. Banjar yang dipimpin Bli Gede ini disebut juga tandusan, yang berarti sebuah daerah tandus. Wajar saja disebut demikian karena memang daerah tersebut jauh dari laut. Namun ada sebuah sungai besar di ujung banjar tersebut. Masyarakat percaya bahwa sungai akan berhilir ke laut, maka abu jenazah bisa dilarung ke sungai tersebut. Mereka menggunakan truk untuk menuju ke sungai tersebut, semua peralatan ngaben dibawa ke sungai, sejak tujuh tahun berdiri inilah larungan pertama yang diadakan.
Sekitar setengah jam rombongan telah sampai ke sungai. Ketut Patre sebagai pinandita memimpin upacara kecil sebelum abu jenazah dilarung. Ada ratusan orang yang menyaksikan larungan pertama semenjak tujuh tahun berdirinya banjar ini. Wajah Wayan Swarni dan Nengah Wantra sangat sumringah. Sebagai anak dari Made Umbreg mereka telah menjalankan tradisi keluarga, melakukan upacara ngaben. Di sungai ini mereka meletakkan sejarah, melakukan upacara ngaben pertama kalinya di desa ini. Saya melirik Bli Gede, raut wajahnya tampak puas, ia berhasil memimpin warganya melaksanakan upacara ngaben pertama. Ribuan kilometer dari tanah Bali upacara ngaben telah dilaksanakan, penanda sebuah sejarah telah tercipta.
***
Sejarah itu telah berlalu seminggu lalu. Kini bersama Bli Gede dan beberapa warga, Nengah Wantra duduk bersama saya. Pakaian yang ia kenakan sama dengan Bli Gede, mungkin itu pakaian pemberian sebuah produk pertanian tertentu. Warna putih dan biru pada pakaian itu bercampur dengan keringat yang menempel di tubuh Nengah. Ia sedang kelelahan setelah membangun Pura Kayangan Tunggal.
Sambil menyeka wajah yang basah oleh keringat, Nengah Wantra menceritakan bagaimana ia sampai di tempat ini. “Saya pindah ke Lampung tahun 1981,” bukanya. Ia datang bersama istrinya, Wayan Swarni, dan seorang anaknya ke Kalianda, daerah di Lampung yang kemudian menjadi salah satu pusat kawasan masyarakat Bali. Ia tak menyangka bisa sampai di sini. Arus transmigrasilah yang membawanya sampai di tempat ini.
Dengan polos saya bertanya, mengapa ia tertarik pindah ke Lampung. “Dulu saya tinggal di Jembrana, itu di Bali Barat, tahun segitu enggak ada pekerjaan di sana. Saya cuma tengak-tengok aja di sana. Enggak ada kerjaan lah,” keluhnya pada saya. Sorot mata Nengah tampak sedikit menerawang, mungkin ia sedang bernostalgia dengan masa lalunya.
Keluhan Nengah ada benarnya. Bali selalu dikenal dengan pariwisatanya, namun hal itu seperti ditulis Putu Setia membuat daerah Bali bagian selatan dan timur yang penuh dengan kantung-kantung pariwisata bergerak begitu cepat. Sementara Bali bagian lain termasuk Barat yang ditempati Nengah tak secepat pertumbuhan bagian selatan dan timur, sehingga lapangan kerja pun minim.
Hal senada secara implisit disampaikan oleh Erwin Arnada dalam pengantar novelnya, Rumah di Seribu Ombak, ia menulis bahwa ia terbiasa menghabiskan waktu di bagian selatan. Daerah yang sarat dengan kontaminasi pariwisata. Artinya Bali bagian Bali di luar selatan dan timur memang jauh dari sorotan. Dan Nengah berada di daerah tanpa sorotan tersebut. Ditambah kenyataan tak memiliki pekerjaan. Transmigrasi kemudian menjadi pilihannya, Lampung adalah tanah harapannya.
Setelah pindah beberapa kali di daerah Lampung akhirnya Nengah Wantra menemukan pelabuhan terakhirnya di Banjar Adat Nusa Mertadadi. Ia tiba di desa adat ini pada tahun 2005, bersama sekitar dua puluhan kepala keluarga lain dari etnis Bali ia membangun desa ini. Membangun harapan di tanah perantauan.
Nengah dan istrinya bukan kemudian melupakan Bali. “Setahun bisa dua kali ke Bali,” ujarnya. “Tahun 2008 itu ayah saya meninggal di Bali, akhirnya ibu saya bawa ke sini,” tambahnya. Sejak 2008 itulah Made Umbreg yang minggu lalu dingabeni tinggal bersama anaknya di desa adat ini.
Desa adat ini menjelma menjadi rumah mereka. Sambil kembali meneguk segelas air mineral Nengah mengatakan ia senang berada di daerah ini. Bertemu dengan teman-teman sesama orang Bali. Saya kemudian bertanya singkat, “Enakan disini apa di Bali Bli?” Ia tertawa mendengar pertanyaan saya.
Di akhir tawanya ia menjawab dengan serius, “Di Bali enak tapi saya nggak punya kerjaan di sana, di sini saya punya kerjaan, bisa ngumpulin uang,” jelasnya pada saya. Bli Gede yang berada di samping saya mengangguk kecil, mungkin tanda sependapat dengan salah satu warganya tersebut.
Setelah itu obrolan kembali berlanjut dengan cerita Nengah Wantra mengenai persiapan upacara ngaben ibunya. Seperti wajah istrinya saat hendak melarung abu jenazah ada sebuah kebanggaan terpancar dalam dirinya. Meski sudah berlalu selama seminggu namun dari apa yang diceritakan Nengah serasa upacara Ngaben baru berlalu beberapa jam yang lalu, detail dan penuh antusias ia menceritakannya.
Matahari mulai meninggi, beberapa pekerja yang masih sibuk mengecat pura mulai menyerah dan istirahat di dekat kami. Tiga orang ibu datang dengan menyunggi beberapa kudapan yang akan dinikmati untuk makan siang. Di bagian belakang Pura Kayangan Tunggal ini mereka tertawa bersama menyambut waktu istirahat.
Bli Gede melihat pura itu dengan mata yang berbinar. “Bisa buat upacara Galungan Agustus nanti,” ujarnya. “Datang aja Mas pas Galungan,” sahut seorang pemuda. “Sambil foto-fotoin lagi,” sambung pemuda yang lain disertai gerakan seakan-akan sedang memegang kamera. Sambil menikmati kudapan saya mengeluarkan laptop saya, menampilkan foto-foto ngaben minggu lalu.
Bli Gede, Nengah Wantra dan puluhan pemuda berkumpul di depan laptop. Mereka sedang menyaksikan sejarah desa ini terdokumentasikan. Sesekali mereka tertawa melihat wajah mereka sendiri ada di layar laptop. Sesekali mereka manggut-manggut. Saya yakin ada sebuah kepuasaan tersendiri bagi mereka telah melaksanakan upacara ngaben untuk pertama kalinya di desa ini.
Melihat mereka seperti melihat Bali yang begitu ramah nan indah. Senyuman mereka, bahasa mereka dan semangat mereka membuat Pura menyadarkan saya akan satu hal. Bali bukan sebuah batasan geografis, ia jauh melebihi itu. Pada Bli Gede dan Nengah Wantra saya percaya Bali bukan sekedar laut lepas atau foto eksotis khas brosur wisata. Ribuan kilometer dari Pulau Bali saya justru menemukan keramahan khas Bali.