Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Tak seperti malam biasanya, malam kemarin televisi di ruang depan rumah Mbah Satinah tak menyala. Saya dan Mbah lebih memilih mengobrol banyak hal. “Kiro-kiro ibu kulo kangen kalian kulo mboten geh Mbah (Kira-kira ibu saya kangen dengan saya tidak ya Mbah)?” tanya saya membuka perbincangan malam itu. Mbah tak langsung menjawab pertanyaan saya, ia tertawa sampai terlihat bagian giginya yang ompong. Selesai tertawa ia baru menjawab, “Nek sampean gelisah niku geh ibu sampean tandane kangen, anak ro ibune niku lak sak pikiran tho Pak (Kalau kamu gelisah tandanya ibu juga kangen, anak sama ibunya kan satu pikiran Pak),” ujarnya sambil tersenyum.

Saya juga tersenyum mendengar kata-katanya, enteng namun selalu membuat saya tenang. Entah sudah berapa kali saya tersenyum karena perkataannya. Malam kemarin adalah salah satunya. Bedanya malam-malam sebelumnya kami berbincang sambil menonton televisi. Malam kemarin kami berbincang dalam sunyi diiringi lagu lir-ilir dari radio rumah sebelah. Tenang rasanya.

Mbah melanjutkan obrolan dengan berbagi beragam nasehat. “Dadi uwong niku koyo ande-ande lumut pak, mboten ndelok rupone uwong tapi jero atine (Jadi orang itu kaya Ande-Ande Lumut Pak, jangan lihat wajahnya tapi lihat hatinya),” nasehat Mbah pada saya. Mbah memang sedang mengambil cuplikan dongeng Ande-Ande Lumut yang lebih memilih Klenting yang baik hati daripada berparas cantik. Saya tersenyum mendengarkan nasihat Mbah. “Kok malah guyu (ketawa) lho Pak Ardi,” protesnya sambil tertawa. Dan seperti biasanya kami tertawa bersama.

Rekan sepenempatan saya, Arga, pernah mengatakan, “Mungkin kita bakal kangen hal-hal kecil yang kita temuin di sini We, jalanan di hutan karet, jatuh dari motor, sama Mbah Satinah kali ya,” ujar ketua kelompok saya ini sambil menyetir motor. Malam kemarin saya sangat mengamini apa yang dikatakan Arga. Saya akan sangat merindukan obrolan dengan Mbah Satinah. Saya sangat nyaman mengobrol dengan Mbah.

Seminggu sebelum mengobrol dengan Mbah saya mengantar rekan satu penempatan, Acha, ke kediamannya di kampung sebelah. “Di tempat gw ada anak KKN We, coba nanti kita samperin aja,” ujarnya setelah dekat dengan desa kediamannya. “Sip Cha,” jawab saya singkat. Benar saja beberapa menit setelah Acha mengatakan hal itu kami menemukan beberapa anak muda usia 20-an awal berjalan ke arah kami.

Mereka kebanyakan mengenakan T-Shirt, wajah mereka segar, sambil berjalan mereka mengobrol dan tertawa kecil. “Ini nih Cha kayanya anak KKN-nya,” ujar saya. “Kayanya We,” kali ini Acha yang menjawab singkat. Kami pun mencoba mendatangi kediaman Pak Lurah di desa Acha. Berharap menemui anak-anak KKN yang tadi kami temui. Dan benar saja kami menemui orang yang tadi kami lihat.

Mereka adalah anak UNILA yang sedang menjalankan tugas KKN di desa yang sama dengan Acha. Kami kemudian mengobrol dengan mereka. Kejadian sama saya alami saat mengunjungi KKN UGM di desa yang lain. Bersama Arga saya berdiskusi santai dengan mahasiswa Kampus Biru ini. Pertanyaan mahasiswa KKN ini biasanya seputar demografis dan sosiologis desa. Tantangan apa yang akan mereka hadapi dan bagaimana trik menghadapinya. Saya senang meladeni pertanyaan mereka. Bisa dibilang mereka ingin berkontribusi untuk perubahan di desa dan saya sangat mengapresiasinya.

Senang berdiskusi dengan mereka, namun ada keanehan yang saya rasakan. Dalam studi komunikasi, sebuah komunikasi akan efektif bila memiliki field of experience yang sama. Istilah field of experience dalam bahasa yang lebih simpel bisa dimaknai sebagai latar belakang, referensi dan pengetahuan yang sama. Saya memiliki latar belakang yang sama dengan anak-anak KKN ini. Datang dari kota, kelas ekonomi, asal dan pendidikan yang sama. Semestinya saya dapat berkomunikasi dengan mereka secara lebih lancar, nyatanya saya merasa kikuk dengan mereka.

Dalam perbincangan dengan mereka saya seperti orang desa yang bertemu orang kota. Ada perasaan memandang lebih mereka. Ada perasaan bahwa saya bukan bagian dari mereka. Mahasiswa ini adalah tamu, saya tuan rumah yang tinggal di desa. Padahal saya baru delapan bulan di desa ini, saya sebenarnya juga tamu. Tepatnya tamu yang lebih dulu datang. Anehnya saya justru merasa sebagai bagian dari orang desa yang kedatangan tamu.

Saya kembali mengingat perbincangan dengan Mbah Satinah. Nyaman rasanya berbincang dengan Mbah meski field of experience kami jauh berbeda. Mungkin ini bukan lagi masalah latar belakang tapi soal identitas yang menghilang. Saya seperti mempertanyakan identitas saya. Apakah saya kini adalah bagian dari desa atau justru masih bagian dari kota? Ah dikotomi itu.

Setahun lalu saya dengan tegas mengatakan, “Saya biasa jadi observer Mbak, mengamati, memfoto, nulis, saya mau nyoba hidup sama mereka, tinggal sama mereka, saya mau tahu apa saya benar-benar diciptakan jadi observer?” jawab saya saat ditanya mengenai salah satu alasan mengikuti program Indonesia Mengajar saat sesi wawancara. Kini masihkah saya seorang observer? Masihkah saya tega memakai kata ganti “mereka”? Ataukah saya kini adalah bagian dari yang saya sebut “mereka”? Dulu saya percaya semua harus berjarak, yang tak berjarak bagi saya hanyalah romantisme semata. Pemikiran yang sangat observer.

“Sampean niku koyo wayang Setyaki Pak Ardi (Kamu itu seperti tokoh Wayang Setyaki Pak Ardi),” ucap Mbah tiba-tiba saat kami tertawa bersama setelah ia menyuruh saya segera menikah. “Setyaki niku uwong e apikan tapi bingungan (Setyaki itu orangnya baik tapi sering bingung),” jelas Mbah mengenai tokoh wayang yang disebutnya.

Setyaki sendiri adalah tokoh wayang yang terkenal karena ia cepat menjadi dewasa. Setyaki atau Sencaki adalah anak Prabu Setyajid dengan Dewi Wresini. Ia lahir saat ibunya ngidam menaiki harimau. Sayang malang tak dapat ditolak, sang ibu justru melahirkan saat menaiki harimau. Bayi Setyaki yang masih merah pun jatuh di dekat harimau. Sang harimau pun ingin memakannya. Namun keajaiban datang, Setyaki berubah menjadi pria dewasa. Ia berani melawan harimau tersebut. Ia sosok yang besar namun dengan pemikiran yang tak sesuai ukuran tubuhnya.

Mungkin Mbah ada benarnya, identitas ada kaitannya dengan kedewasaan. Setyaki membuktikan hal itu. Ia bingung atas identitas dirinya. Jika tokoh wayang ini bingung akan identitas biologisnya, saya bingung dengan identitas desa dan kota. Jika desa dan kota adalah sebuah tebing yang dipisahkan jurang, boleh jadi saya berada di tengah jurang tersebut.

Tiba-tiba saya ingat sebuah filsafat Tiongkok mengenai perjalanan dari buku Agustinus Wibowo. “Seni sebuah perjalanan adalah manakala kita melupakan siapa diri kita”. Satu tahun adalah sebuah perjalan dan di tengah perjalanan ini saya mulai kehilangan diri saya sebenarnya. Mungkin saya tak lagi berjarak, mungkin keangkuhan saya menjadi observer sudah luluh. Saya tak tahu. Di tengah kebingungan itu Mbah meminta saya menyalakan televisi. Kami melihat riuh rendah pemilihan gubernur ibukota. Melihat calon pemimpin kota saya di televisi. Rasanya justru begitu jauh. Sangat jauh.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: