Saya percaya menjadi mahasiswa adalah soal mengisi waktu luang. Mahasiswa bukan soal mata kuliah, Indeks Prestasi tinggi atau tetek bengek akademis lainnya. Sekarang mari kita ingat, apa yang paling dirindukan saat menjadi mahasiswa? Pasti bukan teori Laswell yang njelimet. Atau sembilan elemen jurnalisme yang menjelma jadi kitab suci wartawan. Saya tak kangen dengan hal-hal itu. Yang membuat saya rindu menjadi mahasiswa adalah kegiatan kurang kerjaan yang saya lakukan.
Selo. Istilah selo sulit untuk dipadankan dalam Bahasa Indonesia. Selo bisa diartikan sebagai waktu luang, tidak sibuk dan kosong. Namun ketika seseorang berucap, “Wah selo tenan (Wah selo sekali)” berarti ia merujuk pada satu hal. Selo berarti kegiatan kurang kerjaan. Kegiatan yang tak memiliki esensi. Mungkin selo adalah kakeknya iseng. Tingkatannya lebih tinggi dari sekedar iseng.
Kegiatan selo-lah yang membuat saya kangen menjadi mahasiswa. Saya yakin tiap orang memiliki kenangan akan kegiatan selonya masing-masing, pun begitu dengan saya. Karena saya sedang kangen dengan teman-teman kuliah dan kegiatan selo yang saya lakukan bersama mereka, maka pada kesempatan kali ini saya akan membuat Pancaselo. Istilah Pancaselo berarti lima kegiatan paling selo yang pernah saya lakukan dan amat saya rindukan malam ini. Tiap orang pasti memiliki Pancaselo-nya masing-masing. Inilah Pancaselo versi saya:
5. Pesugihan di Bukit Bintang
Cerita ini bermula ketika saya Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kebetulan lokasi KKN saya dekat dengan Bukit Bintang. Bagi masyarakat Jogja tempat ini dinilai indah karena lokasinya yang tinggi di perbukitan membuat kita dapat melihat kerlap-kerlip lampu kota layaknya bintang. Sayangnya kini tempat itu banyak dipakai untuk pacaran dan tak jarang berbuat mesum.
Saya mengajak teman KKN saya yang paling aneh, Danang namanya. Anak teknik ini terobsesi menjadi Rangga yang puitis. Ketika kami tidur ia kerap berlatih membaca puisi. Bahkan ia merasa dirinya adalah Gie di milennium baru. Karena ia cukup selo maka saya mengajak dirinya mengaji di Bukit Bintang.
Saya mengaji bukan karena alim tapi memang iseng saja. Di tempat itu banyak orang pacaran dan mesum, kayanya kalau membuat tren baru mengaji di bukit bintang asyik juga. Kami pun mengambil posisi mengaji yang enak. Di bawah pohon beringin kami mengaji, sayang kami salah strategi. Ternyata pohon beringin tersebut cukup angker. Kami justru dikira sedang melakukan pesugihan oleh warga setempat.
Alhasil kami diusir tanpa hormat dari bukit bintang. Ternyata membuat tren mengaji di bukit bintang adalah pekerjaan sulit, sungguh sulit. Saya dan Danang gagal membuat tren baru di bukit bintang.
4. Melayani Jaki Jogja-Semarang
Kadang sebuah perjalanan dimaknai dengan sangat keren. Film-film road movie misalnya membuat tokoh-tokohnya berubah karakter atau berdamai dengan rekannya di akhir film. Saya mengharapkan memiliki perjalanan keren seperti itu. “Nelusuri Jogja sampe Semarang, kaya Nicholas Saputra di Tiga Hari Untuk Selamanya, sangar kan?” pancing Jaki mengajak saya. Sayang seribu sayang saya salah memilih rekan perjalanan. Ya saya memilih Jaki, salah satu penggiat Partai Selo Indonesia (PSI).
Saya dan Jaki melakukan perjalanan menyusuri rel mati Jogja-Semarang untuk tugas Sinematografi. Kedengarannya keren ya? Nyatanya selo sekali. Saya tak habis pikir dengan manjanya Jaki. Di pagi hari ia meminta dihangatkan air untuk mandi. Pun di malam harinya saya diminta menemani tidur seranjang karena dia takut bobo sendiri alasannya. Sungguh tak jantan dirinya, tak ayal perjalanan ini pun menjadi sebuah ajang melayani Jaki.
Saya berharap ada perbincangan soal Kurt Cobain atau mati muda layaknya Nicholas Saputra dan Adinia Wirasti di Tiga Hari Untuk Selamanya. Sayangnya yang kami bicarakan malah dedek-dedek lucu di jurusan serta urusan yang saru-saru. Sungguh Jaki ini membuat pikiran saya yang lugu bagaikan lagu Wali di Bulan Ramadhan jadi sekotor lagu Surti Tejo.
3. Lomba Foto Roy Suryo
Saya kadang iri dengan mahasiswa yang merengek di sosial media soal uang bulanan tak kunjung datang. Harusnya mereka bersyukur karena jaminan keuangan mereka aman. Di akhir perkuliahan uang bulanan saya memang sangat jarang datang. Mau minta tidak enak, alhasil saya melacur ikut lomba sana-sini. Lomba yang paling sering saya ikuti adalah lomba foto, hadiahnya lumayan untuk biaya hidup satu bulan.
“Cuk, Roy Suryo ngadakke loma foto spanduk, mayan hadiah e (Cuk, Roy Suryo ngadain lomba foto spanduk, lumayan hadiahnya),” ujar Meylan. Di ajang kampanye Pemilu 2009 Roy Suryo memang mengadakan lomba memoto spanduk kampanyenya. Oh iya jika anda tak kenal Meylan coba saksikan Film Dono, Kasino, Indro nah Meylan lebih bemo dari Dono. Hadiah lomba ini adalah sebuah laptop. Spanduk kampanye Roy Suryo yang harus dipotret tersebar di seluruh kabupaten di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Karena wilayahnya yang besar saya dan tiga orang teman yakni Yogi, Dwi dan Meylan menyusun taktik curang. Harusnya lomba ini hanya diikuti oleh satu orang namun kami melakukannya berempat dengan satu nama pendaftar. Saya menyisir daerah Bantul dan Jalan Solo, Yogi daerah Jalan Wates, Meylan daerah Kota Yogyakarta dan ya anda pasti tahu siapa korban yang ke Gunung Kidul, Dwi. “Gunung Kidul hujan,” tulis Dwi di pesan pendek pada saya berharap dikasihani. Saya hanya menjawab, “Urusanmu!”.
Karena yakin memenangkan laptop kami sempat berkelahi mengenai persentase hadiah. Saya, Meylan dan Yogi sekali lagi mengadali Dwi. “Dwi dinei (dikasih) 2,5% hadiah aja, itung-itung zakat fitrah,” begitu konsensus terselubung kami. Di sekre pers mahasiswa B21 UGM kami berdebat panjang soal pembagian hadiah. Sampai lupa sudah tenggat waktu pengumpulan foto.
Akhirnya pukul 01.00 WIB dini hari kami mengunjungi rumah Roy Suryo. Ingin mengumpulkan foto niatnya. “Wes diketok wae, mengko lak ngebukakke Roy Suryo-ne (Udah diketok aja entar juga dibukain sama Roy Suryo),” saran Yogi enteng. Sayang idenya tak sebrilian jambulnya. Kami malah dikira maling oleh warga sekitar, nasib.
Perjuangan ini sayangnya tak menghadirkan laptop di tangan. Rencana bagi-bagi uang hadiah pun sirna. Bayar kuliah harus tertunda dan kami semua menyalahkan Roy Suryo. Niat zakat fitrah ke Dwi pun gagal.
2. Hotel Indomaret
Lagi-lagi Dwi, Dwi lagi-lagi. Entah kenapa hidup saya di perkuliahan berakhir dengan Dwi dan Dwi. Semua bermula ketika sebuah running text di sebuah TV swasta mengabarkan bahwa maestro keroncong, Gesang, meninggal dunia. Dengan bergaya layaknya Bill Kovach mendapat berita saya langsung mengajak Dwi pergi ke Solo. “Penting ini We, harus kita lihat langsung,” kata Dwi bergaya seperti Jakob Oetama muda. “Hajar Wi!” balas saya, dan kami pun berangkat ke kotanya Didi Kempot.
Sayang TV milik Bakrie tersebut salah mengabarkan, ternyata Gesang saat itu belum meninggal. Alhasil kami hanya bingung di tengah jalan mau lanjut atau balik ke Jogja. Akhirnya kami memutuskan lanjut ke Solo. Sayang sekali lagi kesialan menjemput saya dan Dwi. Ban motor kami bocor di Klaten pukul 02.00 dini hari.
Karena tak ada tambal ban kami terpaksa menginap di jalan. Indomaret kami pilih sebagai tempat menginap. Jadilah malam itu saya dan Dwi kelonan di depan Indomaret beralaskan kardus aqua. “Romantis ya kita We,” kata Dwi saat kami sedang kelonan karena kedinginan. Di momen itu rasanya saya ingin meninju gigi taring Dwi yang membuat emosi. Tapi di momen itu pula saya sadar Dwi adalah teman yang baik, jarang ada orang yang mau senasib sepenanggungan di kala sulit. Dan Dwi melakukannya untuk saya.
1. Tokek oh Tokek
Bagi saya nama-nama ini adalah deretan orang-orang selo nomor wahid, mari kita sambut Kemas, Andi, Cemi, Dwi, Rocky dan Yogi. Bergabung dengan mereka berarti kekuatan melakukan kegiatan selo menjadi berlipat ganda. Kami tergabung dalam kelompok Jurnalisme Penyiaran. Saat itu tugas akhir mata kuliah ini adalah membuat feature televisi berdurasi 15 menit.
Kami pun mempersiapkan tugas tersebut. Dengan semangat ala FBR kami ingin membuat feature tentang hubungan Shaggydog dengan Sayidan. Keren ya? Sepertinya keren, nyatanya? Kami sibuk bisnis jual beli tokek.
Semua bermula ketika kumpulan orang selo ini kehabisan uang bulanan. Saat membuka Kaskus kami tahu bahwa harga hewan tokek mencapai puluhan juta. Dengan tekad bulat kami pun merubah rencana jadwal shooting menjadi jadwal mencari tokek di pasar hewan. Tak sampai di situ Yogi googling cara menangkap tokek. Suatu malam dengan peralatan sederhana kami menyerbu Kos Andi berharap mendapat Tokek untuk dijual. Dua usaha itu sia-sia ternyata.
Kebutuhan duit yang mendesak membuat kami berencana pergi ke rumah nenek Andi di Gombong untuk menangkap tokek. “Banyak tokek di tempat nenek gw,” ujar Andi. Sayang kami tak punya uang ke Gombong. Untungnya seminggu kemudian kami berhasil menangkap tokek di kos Andi. “Dipakani sek ben lemu, lagi didol (Dikasih makan dulu biar gemuk, baru dijual),” saran Yogi. Ya kita tahu kalau Yogi hanya jago memberi saran tapi prakteknya minim, alhasil siapa lagi yang memberi makan kalau bukan Dwi.
Dwi memelihara tokek ini di rumahnya. Kami sering mengunjungi tokek itu, berharap ia segera besar dan bisa dijual. Sayangnya harapan kami sirna, tokek semakin lama justru semakin kurus. Dwi pun melepas tokek tersebut dengan kasih sayang. Mungkin sekitar tiga bulan kami terlibat dalam bisnis tokek ini. Sementara tugas kami terbengkalai begitu saja. Kini setiap melihat tokek saya selalu mengenang kumpulan orang selo ini.
***
Itulah tadi Pancaselo versi saya. Dulu kegiatan tersebut tampak selo. Sangat selo bahkan. Namun sekarang ketika kami sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing kegiatan itulah yang membuat kami tetap bisa tersenyum. Bagi saya di titik-titik selo itulah arti seorang kawan benar-benar teruji.
Saya rindu diusir dari bukit bintang. Saya rindu membuatkan Jaki air hangat. Saya rindu memoto spanduk Roy Suryo. Juga rindu kehangatan karton aqua di depan indomaret. Tak lupa sangat kangen melihat bursa harga tokek. Tapi lebih dari itu saya merindukan sosok-sosok selo yang mendampingi saya mengarungi pancaselo.
we, uripmu selo tenan :)))
LikeLike