Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Gambar gagang telepon berwarna hijau muncul di telepon selular saya, sebuah pesan WhatsApp masuk. Nama Andrea muncul di layar. Ia menulis singkat, “Kangen gw sama lo We”. Saya tahu jika Andrea menulis seperti itu berarti hanya ada dua kemungkinan, pertama ia sedang butuh teman membincangkan hal-hal tidak jelas. Kedua, ia mau berdebat dengan saya tentang sebuah hal. Malam itu ia memilih opsi yang pertama.

“Jogja sepi tapi gw nyaman banget” tulis Andrea membuka perbincangan. “Anak-anak banyak yang ke Jakarta ye?” balas saya singkat. Andrea kemudian bercerita memang banyak anak-anak yang ke Jakarta, “Kenapa semua orang tujuannya ke Jakarta ya?” tanyanya retoris. Dari pertanyaan itu saya tahu arah perbincangan ini akan kemana.

Anda benar, kami kemudian membincangkan hal-hal klise seputar obsesi pribadi vis a vis dengan realitas hidup pasca melepas status mahasiswa. Tentang rekan-rekan yang tak sejalan dengan pemikiran kami. Tentu tak ketinggalan soal kami yang masih percaya ada secuil harapan untuk tak menyerah pada kerasnya kehidupan pasca kuliah. Kami kemudian saling menyemangati bahwa masing-masing dari kami bisa meraih obsesi pribadi. “Teruslah bermimpi We, karena itu bikin hidup lebih hidup, alias iklan,” pesan Andrea terlalu klise.

Di luar bahasan klise itu saya suka sebuah potongan perbincangan kami. “Seru kali ya kalau temen-temen bisa dongengin cerita tentang lo atau gw buat pengantar tidur.” Meski tak jelas, kami tetap setuju dengan pikiran aneh soal cerita pengantar tidur tersebut. Secara implisit menurutnya dalam sebuah lingkaran pertemanan harus ada beberapa orang yang berani melawan keteraturan. Andrea melakukannya dengan tinggal di Jogja menempuh pekerjaan yang “kurang seksi” namun sangat nyaman bagi dirinya di masa pasca perkuliahan. Wanita penggemar film “UP” ini membuat pikiran saya melayang pada “Apin”.

Nama tokoh itu sederhana, Apin. Ia adalah seorang tokoh dalam film Mengejar Matahari. Dari beragam ulasan mengenai Mengejar Matahari, saya paling suka ulasan yang dimuat di situs layarperak (saya lupa siapa penulisnya, sepertinya situs ini juga sudah lama mati). Dituliskan di situ bahwa empat sekawan dalam Mengejar Matahari adalah sketsa negeri ini. Tokoh Ardi (Winky Wiryawan) adalah gambaran aparat negeri ini. Nino (Fedi Nuril) sketsa kaum kerah putih yang jauh dari dunia politik. Damar (Fauzi Baadilla) gambaran premanisme. Di ulasan itu disebutkan bahwa tiga peran itu adalah sentral cerita, pun sentral kehidupan bernegara. Carut marut dan interaksi ketiganya adalah gambaran nyata negeri ini. Namun di tengah hal-hal besar itu muncul Apin (Udjo Project Pop).

Apin adalah saksi kecil hal tersebut. Kegemarannya pada media rekam mempengaruhinya membuat catatan kecil agar kelak anak cucunya bisa melihat apa yang terjadi. Semua orang terkadang ribut menjadi Ardi, Nino ataupun Damar, tak ada yang mau menjadi Apin. Menjadi sosok kecil yang hanya melihat dan mewariskan cerita kecil tentang pergolakan besar. Saya pribadi selalu ingin menjadi Apin, mungkin Andrea juga.

Hanya ada satu sosok Apin yang saya kenal, meski tak secara langsung. Saya mengenalnya dari tulisan-tulisan di blog. Mungkin pria ini berusia akhir 30-an, saya tak tahu pasti, yang saya tahu ia seorang ayah muda. Entah kenapa saya yakin ia membuat blog agar dibaca anaknya kelak, setelah beranjak dewasa.

Ada sebuah tulisan dalam blognya yang menunjukkan semangat ala “Apin”. Tulisan  ini berkisah soal usahanya membuat sebuah antologi. Ia menghimpun tulisan teman-temannya untuk kemudian diterbitkan. Sayangnya ia menemui kesulitan, dan petikan ini menunjukkan ia sosok Apin yang nyata. “Saya mengirim surat elektronik kepada sejumlah kawan secara khusus. Meminta donasi. Istri saya bilang, “Ini yang terakhir, ya.” Agaknya ia rada malu mengetahui saya melakukannya. Saya mengiyakan meski mungkin tak bisa menepati.”

Saya menelan ludah membaca itu. Saya tahu sedikit orang yang rela meluangkan waktunya untuk hal seperti itu. Ia melakukannya demi secuplik cerita, demi sebuah karya yang bisa membuat orang mengingat teman-temannya masih ada. Mengingat bahwa “Ardi”, “Nino” dan “Damar” masih rela turun tangan demi kepentingan orang banyak.

Tulisan itu mengingatkan saya pada Bapak. Saat saya duduk di bangku awal SMA bapak menunjukkan kertas usang. Isinya panggilan menjadi seorang mahasiswa di universitas swasta. Sebuah nominal tercantum di kertas itu. Seingat saya tertulis Rp 25.000,- angka yang tergolong besar pada jamannya. “Bapak cuma punya uang sepuluh ribu, nanti kamu kuliah yang bener ya,” ujarnya malam itu. Malam itu saya tahu menjadi sarjana adalah harga mati membahagiakan dirinya.

Bapak tak pernah mengajarkan saya menjadi “Apin”. Ia meminta saya menjadi “Nino” birokrat kerah putih yang tangannya bersih. Dulu ia berusaha mencoba menjadi “Nino” dan gagal. Bapak hanya mau saya menjadi “Nino”, mengobati kegagalannya mungkin. Saya memilih menjadi “Apin”. Tak sesuai dengan harapannya namun setidaknya saya berani mencoba, tak menyerah begitu saja. Maaf Pak.

Gambar gagang telpon hijau itu muncul lagi, nama Andrea kembali tertera di layar telepon saya. “Semua orang bermimpi akan ke Jakarta We, gw terlalu anti metropolitan kayanya, atau gw sok indie,” tulis pemakai toga dari ilmu ekonomi ini. Saya hanya menjawab, “Hahaha taeee”. Namun saya tahu ada keinginan melawan dari tulisan Andrea.

Mungkin semua orang pernah melawan layaknya Andrea lalu menyerah begitu saja. Malam itu kami tahu memperjuangkan hal itu sulit. Jika semua orang menjadi Nino, Ardi, dan Damar lantas siapa yang menjadi Apin? Cita-cita kami hanya mau menjadi Apin. Mewariskan kenangan kecil dan besar ke banyak teman, membuat mereka rela menceritakan kisah “Apin” ketika anaknya hendak tidur. Tapi lebih dari itu saya mau menjadi “Apin” karena satu hal. Kelak saya mau menatap mata Lili, Nixi serta Nadira sebelum tidur dan berucap, “Bapak pernah mencoba”.

* Tadi malam Andrea mengabari dirinya akhirnya akan ke Ibukota sebentar lagi. Tak perlu kecewa Ndre, setidaknya kamu pernah melawan. Mencoba melawan adalah keberanian bentuk lain, saya percaya itu. Lili, Nixi dan Nadira adalah nama-nama yang ingin saya pakai sebagai nama anak-anak saya kelak.

One thought on “Menjadi Apin

  1. haha, entah kebetulan atau bagaimana. persis banget dengan obrolan kemarin sore yang panjang dengan seorang teman saya mas.

    persis sekali. tentang kami yang resah. tidak ingin menjalani kehidupan pasca kuliah seperti yang dijalani orang lain kebanyakan. kami bingung tentang bagaimana melawan keteraturan yang membosankan. akhirnya dia menyatakan akan mencoba menjadi pengajar muda sesuai passionnya, sementara saya masih bingung sampai sekarang.

    *curhat

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: