Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Sebuah pesan pendek membangunkan saya pagi-pagi. Isi pesan itu sederhana, “Mas Awe aku pamit ya besok balik”. Sambil membalas pesan tersebut saya mengangguk kecil. “Iya sip hati-hati As,” balas saya singkat. “As” di pesan saya merujuk pada nama Astrini, adik angkatan yang baru saja merampungkan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa tempat penempatan salah satu rekan saya, Meiske.

Tempat KKN Astrini berjarak sekitar 25 km dari desa saya. Beberapa kali saya main ke posko KKN-nya. Sekedar berbincang soal keadaan desa, meminta bantuan untuk beberapa program dan kadang bermain kartu remi bersama. Meski tak intens, pertemuan-pertemuan ini membuat saya mengenang kembali KKN sekaligus tak bisa dielakkan membandingkan dengan diri saya sendiri saat ini.

Selesai menerima pesan pendek dan sedikit merenung saya kemudian merencanakan satu hal. Di desa saya juga terdapat KKN yang diadakan oleh Universitas Lampung (UNILA). Saya meminta mereka terlibat dalam pembangunan perpustakaan di sekolah. Mereka sangat kooperatif dan banyak membantu pembangunan tempat baca di sekolah ini. Hal itu dapat terlihat dari begitu antusiasnya murid-murid ketika kakak-kakak KKN ini datang ke sekolah. Hari ini saya ingin tahu bagaimana murid-murid memaknai KKN.

“Teman-teman, kemarin kita kedatangan kakak-kakak KKN, ada yang ingat KKN itu apa?” buka saya di kelas 5. Mereka ternyata lupa, maka saya memancingnya dengan mengatakan, “KKN itu singkatan dari Kuliah Kerja, hayo N-nya apa?”. Rino mengacungkan jarinya, “Kuliah Kerja Negara Pak,” ucapnya sambil tersenyum kecil. “Oke teman-teman, Rino bilang Kuliah Kerja Negara, kenapa Negara ya, ada yang bisa bantu Rino?”. Kali ini Amar yang menjawab, “Karena mereka dari Karang Pak, dari negara,” ujarnya lantang. Karang adalah sebutan lain Bandar Lampung yang lebih populer di desa ini.

Mendengar jawaban Amar saya sedikit kaget. Sulit bagi saya mencari hubungan antara Negara dengan Karang, dua hal yang tak berkaitan. “Kakak-kakaknya dari Negara Pak dikirim ke sini, ke kampung kita,” tambah Amar melihat raut muka saya yang bingung. “Kenapa mereka dikirim ke sini Mar kira-kira?” tanya saya mengujinya. “Biar tahu hidup di desa gimana Pak,” balasnya singkat. Saya kini mulai paham.

Bagi anak-anak ini kakak-kakak KKN adalah wakil dari sebuah konsep bernama kota. Mereka hadir untuk mengajak berpikir di luar daerah ini masih ada sebuah kehidupan. “Karang” adalah sebuah istilah yang mudah diucapkan namun sulit diraih. Mereka merasa Karang adalah bagian lain dari tubuh mereka. Kehadiran “Kakak-Kakak Negara” ini adalah sebuah ironi atas abainya kita menghapuskan dikotomi desa dan kota. Ah saya terlalu berat.

Saya kemudian ingat perbincangan dengan rekan saya, Dina Camen dan Topik saat menjalani KKN sekitar tiga tahun lalu. Saat menuju perbukitan bersama kami mengobrol soal KKN. “Entah kenapa gw suka lho KKN,” ucap Dina singkat. “Kenapa emang Din, bantu orang ye?” tanya Opik sederhana. “Bukan, bukan masalah itunya Pik,” jawab Dina. Setelah itu Dina kemudian menjelaskan panjang lebar. “Kalau kita inget-inget KKN tuh setelah tiga tahun kita kuliah, tiga tahun kita di kampus terus, kuliah lah, atau macem-macem. Enggak ada waktu jeda dari itu. KKN tuh kaya waktu jeda buat kita, jeda buat mikir ulang. Kalau enggak ada KKN mungkin kita akan langsung skripsi, terus lulus terus kerja. Alurnya gitu. KKN itu satu-satunya jeda buat mikir ulang gimana kita ke depannya. Ketemu orang kampung, ketemu orang yang selama ini enggak pernah kita temuin, rasanya bener-bener jeda dari semua aktivitas kita. Jeda tapi penting,” jelasnya panjang lebar.

Dina ada benarnya. KKN adalah jeda yang penting bagi mahasiswa. Ia satu-satunya kesempatan bagi mahasiswa melihat sekitar. Pun ketika KKN hanya dihabiskan untuk “menyampah” tak penting dan banyak hal kurang esensial misalnya. Tetap saja secara tak langsung kita akan merasakan jeda, merasakan lompatan dari apa yang dirasakan sehari-sehari sebagai mahasiswa. Di titik itu KKN menjadi penting bagi mahasiswa menurut Dina.

Tiga tahun setelah itu kini saya berdiri di sini. Berdiri di sudut lain sebuah KKN. Saya tak lagi yang “meninggalkan” melainkan menjadi yang “ditinggalkan”. Saya menjadi orang yang menatap kepergian KKN. Aneh rasanya, seperti berubah dari dadu putih menjadi dadu hitam. Di luar keanehan itu saya belajar beberapa hal.

Bagi masyarakat desa khususnya murid-murid saya KKN adalah pengisi absen negara yang abai. Kita lupa membangun jembatan besar antara kota dan desa. Kampus menjadi menara gading yang angkuh dari lingkungan masyarakat. Hanya oleh mahasiswa ini kami merasa diperhatikan. Kami tahu ada tangan baik yang hendak menolong kami. Meski baik ia sesaat, ia datang untuk kemudian pamit.

Mungkin KKN seperti sebuah transit. Datang untuk kemudian menuju destinasi selanjutnya. Ia bukan sebuah destinasi akhir, leih dari itu ia hanya tempat menunggu dan merenung. Seperti konsep jeda ala Dina. Kita akan selalu mencoba mengintip kemana akan pergi setelah jeda. Kemana destinasi selanjutnya.

Di hari terakhir sebelum kepulangan mereka saya diundang berbuka puasa bersama di pondokan KKN UNILA. Suasananya hangat, muncul lawakan-lawakan khas mahasiswa. Saya tak terlibat dalam lawakan itu. Saya hanya berpikir tiga tahun lalu saya berada di posisi mereka dan kini saya memandang mereka. Memandang dari sudut pandang lain.

Saya kemudian pamit pulang. Di jalan saya tahu, Astrini, Hawin, KKN UGM pun banyak anak KKN UNILA lain akan merindukan suasana kebersamaan mereka. Suasana saat mereka bertransit di desa untuk menuju ke destinasi selanjutnya. Kini mereka tak lagi duduk termenung di ruang tunggu transit. Mereka pergi, pergi menuju destinasi berikutnya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: