Liburan sekolah lalu saya menyempatkan diri bersilaturahmi ke rumah kepala sekolah di kecamatan lain. Ibu Umi begitu ia biasa disapa, salah satu kepala sekolah yang juga tokoh berpengaruh di kecamatan tetangga tempat saya mengajar. “Mumpung lagi tidak ngajar, silaturahmi saja lah,” itu yang ada dalam pikiran saya. Sekitar satu jam waktu yang saya perlukan untuk sampai di kediamannya. Sebuah rumah yang cukup mewah untuk ukuran pedesaan.
Bersama Arga, rekan satu penempatan mengajar, kami mengobrol hangat dengan Ibu Umi. Siang itu ditemani oleh teh hangat dan kue-kue kering kami menghabiskan waktu mengobrol banyak hal. Bermula dari obrolan politik ala warung kopi kami menyerempet bicara soal televisi.
“Pemerintah itu aneh sekarang ini, ada aja kasus macem-macem, malah orang-orang di desa yang kurang mampu enggak diurus,” ujarnya standar. Saya hanya manggut-manggut kecil karena sudah terbiasa dengan topik obrolan tersebut. Sampailah sebuah pernyataan darinya yang membuat saya menghentikan anggukan dan berpikir panjang. “Malah yang peduli itu anak-anak muda di tv itu lho, yang suka ngasih sembako ke orang miskin, acara Jika Aku Menjadi itu Mas,” ujarnya dengan penuh keyakinan. “Harusnya banyak lho acara kaya gitu, biar banyak yang dibantu,” tambahnya. Saya hanya menelan ludah mendengar pernyataannya.
Sayangnya saya harus menelan ludah kembali beberapa hari kemudian. Penjaga sekolah saya, Pak Kardi, kembali menyatakan hal serupa. Ia bicara soal televisi yang hanya bicara soal korupsi. “Malah seng cah-cah enom ngenei-ngenei beras kui lho apik (Malah acara di mana anak muda memberi beras itu lho bagus),” ujarnya merujuk pada acara yang sama dengan yang dibicarakan Ibu Umi.
Ia menambahkan dengan sedikit bernostalgia bahwa di Jaman Pak Harto dulu keadaan tidak separah saat ini. Televisi selalu mengabarkan hal yang menyenangkan. “Itu lho Pak Ardi sering ada kunjungan tani, tiap daerah mamerin hasil pertaniannya, desa kita pernah masuk tv waktu panen singkongnya, bagus itu beritanya,” ujarnya sambil mengenang masa lalu.
Dua pendapat senada tersebut membawa saya pada sebuah pertanyaan ,apakah tugas utama media? Menjadi donatur beras? Menjadi sebuah pembawa pesan penuh gincu?
***
Saya tiba-tiba teringat dengan senyum khas Harmoko tatkala berpidato di acara Liputan Khusus. Biasanya acara ini disiarkan setelah Dunia Dalam Berita. Saya ingat betul karena ketika sedang asyik menonton Layar Emas di RCTI justru wajah pemilik harian ibukota itu yang muncul. Mungkin ini yang dirindukan oleh Pak Kardi dan Bu Umi, sebuah media yang penuh gincu.
Pesan-pesan semacam laporan khusus tujuannya jelas, negeri ini makmur sentosa dan persatuan adalah segalanya. Ia lebih menyerupai monolog ketimbang pola komunikasi top down. Pesan ini memanipulasi secara baik apa yang diungkapkan Hans Kohn. Bagi Kohn unsur terpenting nasionalisme adalah kemauan hidup bersama yang nyata. Kata kuncinya pada kemauan, dan liputan khusus ini tak lagi mengajak orang untuk sekedar mau, tapi memaksa orang untuk mengakui secara absolut. Sebuah pesan taken for granted, tanpa interupsi.
Lantas jika Pak Kardi, Bu Umi dan entah berapa ribu orang merindukan pesan media seperti itu apakah kita perlu berpikir ulang tentang konsep “berita baik”? Bagi saya jawabnya iya. Permasalahannya bukan kuantitas berita baik atau buruk yang tampil di media. Atau terminologi bad news is a good news. Bukan soal itu.
Ada satu elemen penting jurnalisme yang selalu saya suka dari pendapat Kovach. Dalam salah satu poin sembilan elemen tersebut Kovach menulis, “Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi”. Dengan peran jurnalis seperti itu sewajarnya media menjadi sebuah ruang dialog, bukan pesan monolog.
Bukan salah Pak Kardi atau Bu Umi jika ia merindukan masa kejayaan “berita baik” ala Harmoko sebab selama puluhan tahun mereka diterpa infomasi macam itu. Media tak memberi sebuah ruang dialog bagi masyarakat. Akibatnya tak ada sebuah dialektika yang terbangun.
Peluang mewujudkan dialektika tersebut sebenarnya sangat terbuka luas di periode ini. Pertanyaannya apakah kita berhasil menjawab peluang tersebut? Mungkin kita harus berpikir ulang untuk menjawabnya.
***
Adalah sebuah media dalam tanda kutip alternatif yang ingin bicara tentang berita baik negeri ini. Namanya begitu besar, sebesar ambisinya, “Good News From Indonesia” (GNFI). Platformnya sudah jelas, media-media besar di Indonesia lebih banyak memberitakan perihal kebobrokan negeri ini. Ya mari kita mengabsen konten media soal bobroknya negeri ini, pertama pasti anda menjawab isu korupsi, oke tak perlu kita lanjutkan, semua sudah paham.
GNFI hadir mencoba menawarkan alternatif baru. Prinsip GNFI mungkin negeri ini juga masih punya harapan. Maka hadirlah berita-berita baik seputar negeri ini. Dari mulai soal klise negeri ini yakni kekayaan alam. Juga soal kekuatan ekonomi semisal produk Indonesia yang menguasai pasar asing. Pun soal remeh temeh macam kakeknya si ini ternyata orang Indonesia atau si pesepakbola anu ternyata keturunan Indonesia, ya mari ucapkan salam pada “Jurnalisme Pulang Kampung Obama”.
Tak dapat saya pungkiri semangat ala GNFI pasti dimiliki oleh banyak orang di luar sana. Namun bagi saya ada yang aneh dengan media ini. Secara konten misalnya, apa pentingnya berita si kakeknya anu keturunan Indonesia. Atau apa pentingnya si pemusik negara anu pakai nama khas Indonesia. Apa yang mau diperjuangkan dari itu? Pun tatkala memuat kekayaan alam Indonesia, oh iya admin GNFI anda dapat salam dari lukisan Mooi Indie.
Sebagai sebuah berita baik atau dalam istilah mereka Good News jelas iya. Namun pertanyaannya kemudian lantas apa setelah itu? Tak ada sebuah ruang dialog yang coba dilayangkan ke publik. GNFI seperti sebuah ustad dengan kita sebagai pendengar yang hanya boleh mengamini, tanpa interupsi. Ah jadi teringat Harmoko, maaf.
Keabaian menciptakan dialog dan forum di publik ini membuat nasionalisme yang dihadirkan GNFI sama saja dengan pola yang diciptakan menteri penerangan era orba dahulu. Semuanya serba taken for granted. Simpelnya cara pandang melihat negeri ini sebagai sebuah kenyataan yang patut kita terima. Padahal di era seperti ini justru perihal “Menjadi Indonesia” yang lebih esensial. Proses bagaimana kita menerima negara ini baik dan buruknya yang lebih penting. Kabar baik sama sekali tak menjawab kebutuhan itu.
Saya menulis ini karena permasalahan ini bukan sekedar optimisme dan pesimisme belaka. Seperti kicauan @GNFI semalam “Pesimis boleh saja, tapi mohon jangan ajak2. Selamat malam.” Ada sebuah ruang dialog yang hendak dibungkam di kicauan tersebut. Penutupan ruang dialog untuk sebuah berita baik bagi saya sama sekali bukan berita baik.
Tengok bagaimana Pak Kardi dan Bu Umi dan entah berapa orang lagi di luar sana yang berpuluh tahun merasa berita baik adalah sebuah tujuan utama, tapi nyatanya? Apakah kita semakin baik? Apakah Good News itu menghadirkan sebuah perbaikan? Bagi para penganut GNFI mungkin iya. Tapi bagi saya ada yang lebih esensial ketimbang mengumbar berita penuh gincu tentang negeri ini. Karena menciptakan ruang dialog lebih penting dari sekedar bermonolog soal kebaikan. Berita baik tak selamanya baik bung!
Hi Awe, ini Pea, hehehe, penggemar lagu Opak dirimu 🙂
Sebagai salah satu bagian dari GNFI, I do really appreciate this kind of note 🙂 It helps us to improve a lot.
Kalau mau ngasih pembelaan, tentulah banyak hal yang bakal Pea tulis, tapi biarkan waktu yang menjadi pembuktian 🙂
Satu hal yang pasti, mau dengan sistem monolog ataupun dialog, mari kita bangung pemikiran generasi muda Indonesia 🙂
BTW, apa Awe ada rencana buat lagu judul Raginang?
LikeLike
aku suka sekali tulsianmu we. tapi tapi tapi aku di media mainstream tapi juga ga melulu nulis berita buruk kok. hehe…
intinya buatku sebagai juru ketik di koran ekonomi, aku ga bisa menulis sekadar ngasih kabar. Contohnya aja Reuters dan Bloomberg, mereka berorientasi pada investor non-residen, jadi saat indonesia goyang sedikit, mereka warning habis-habisan. Katanya risiko kita tinggilah, paparan lembaga keuangan rendahlah, ya berbagai alasanlah. Jadi saat defisit kita 3,1% investor uda diminta hati-hati melalui tulisan mereka, padahal Turki saat defisit 8%, media-media asing itu tenang-tenang aja.
Sebagai koran lokal, begitu rupiah goyang, aku ga bisa semata nulis lead rupiah akan sampai level Rp10.000, eyecatching sih, pasti banyak yang baca. Tapi, aku pikir aku ga mau investor pada keluar dari indonesia cuma karena 1 berita bombastis. Lagian kalau banyak dana keluar, terus rush, terus likuiditas mengetat, yg rugi kan kita juga.
jadi aku cuma pingin bilang, kadang kita ga bisa sekadar lihat berita baik atau buruk, karena dari setiap berita yang ditulis, pasti ada pipa ujungnya, ada kebijakan besarnya, kebijakan yang berbeda-beda untuk setiap media. tergantung keberpihakannya. Karena semua hal di dunia ini subjektif, tidak ada yg benar-benar objektif murni.
dan ternyata setelah di dalamnya, aku baru sadar media punya peran yg lebih complicated dari apa yang aku pelajari di kampus kita tercinta itu.
LikeLike
@Viera: Halo Pea, senang mendapat respon dari salah satu bagian GNFI. Yup ini memang ditujukan sebagai masukan terkait konten GNFI dan bagaimana sikap GNFI sebagai “media”. Tentunya mari bersama-sama membangun rengginang eh bangsa :))
LikeLike