“Di Dunkin Buaran aja Wil, ada wifi-nya kok,” balas Niko ketika saya mengajaknya ngobrol untuk sekedar melepas rindu. Malam itu kami tiba di Dunkin Buaran, Niko bersama dengan Rizky, keduanya rekan saya saat SMA dulu. Niko dan Rizky memesan kopi hangat sementara saya memesan es coklat. Kami menghabiskan waktu cukup lama ditemani oleh sambungan internet dan beberapa kudapan pengisi perut. Mungkin saat SMA dulu kami takkan pernah menyangka di tempat ini berdiri sebuah gerai makanan waralaba yang lumayan besar.
Sekitar enam tahun lalu, tempat yang kami duduki saat ini adalah pangkalan martabak. Saya ingat jika bapak dan ibu ingin martabak maka saya akan memacu motor ke tempat itu. Kini setelah enam tahun dari usaha mengantungi sebuah martabak di kantung plastik hitam tempat itu berubah. Dunkin Donuts salah satu waralaba makanan besar berdiri di sana. Di tempat saya biasa membeli martabak dalam kantung plastik hitam, kini berganti jejeran donat yang siap merayu calon pembeli.
Dunkin tidak sendiri berdiri di Buaran, di depannya berdiri Seven Eleven sebuah minimarket yang juga cukup besar. Di luar pro kontra mengenai berdirinya Seven Eleven di beberapa tempat, dalam laporan Sara Schonhardt seperti dimuat dalam New York Times ada satu bagian yang menarik. Sara menulis, “Ten years ago, young people in Indonesia gathered at street-side food stalls called warung to hang out and gossip. But with rapid economic growth has come social change”. Seven Eleven adalah sebuah tanda adanya pergeseran tak hanya ekonomi tapi juga budaya berkumpul di sebuah kawasan.
Sekitar dua kilometer dari Dunkin dan Seven Eleven berdiri McDonalds dan Burger King. Dua restoran waralaba ini berdiri bersebelahan diantara perempatan Buaran menuju arah Casablanca. Saya tak membayangkan di daerah sub-urban seperti Buaran dua restoran cepat saji itu bisa berdampingan. Saya mengira hanya kawasan Sarinah yang bisa mewujudkan McD dan BK begitu sebutan populer untuk dua restoran itu bisa berdampingan. Kini keduanya berdampingan di Buaran, sebuah daerah sub-urban Jakarta.
Buaran adalah sebuah simpul menarik di Jakarta Timur bagi saya. Di kawasan ini berdiri beberapa perumahan lumayan mewah untuk ukuran daerah Timur Jakarta. Di bagian lain ia bersebelahan dengan Kampung Jembatan dan Pisangan, sebuah daerah yang diisi oleh mayoritas kalangan menengah ke bawah. Daerah ini juga bersebelahan dengan Perumnas Klender, kawasan yang banyak didominasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan ekonomi menengah. Buaran adalah sebuah simpul diantara beragam variasi mayarakat tersebut. Perubahan signifikan pada Buaran juga berarti adalah perubahan berarti pada bagian-bagian kecil dari kawasan ini.
Adalah sebuah pekerjaan gegabah ketika perubahan pada Buaran hanya dimaknai sekadar sebuah invasi restoran cepat saji atau waralaba saja. Hal itu seperti mengamini seorang pemuda melakukan pemerkosaan hanya karena menonton film biru. Perubahan Buaran lebih luas dari itu, sub-urban yang sangat “Ngurban” tapi menjadi begitu klise.
Dalam sebuah pidatonya di “Union Internationale des Architectes” (UIA) Region IV – Asia di Tokyo 1980, Robi Sularto memiliki opini yang menarik. Dalam menyikapi sebuah perubahan ia memilih melihatnya dalam kacamata reflektif. Ia menulis, “Within this situation, most of the architectural works are a loyal mirror of one culture as it is today”. Pendapat Robi agaknya mirip dengan peraih Aga Khan asal Prancis, Jean Nouvel yang terkenal dengan pendapatnya “Each new situation requires a new architecture”.
Kedua pendapat tersebut memang masih bisa didebat layaknya kajian soal televisi. Baik pembahasan televisi maupun arsitektur kerap memiliki perdebatan yang mirip. Apakah posisi mereka sebagai sebuah cermin atau bertugas mengkontruksi masyarakat. Sebagai cermin ia reflektif terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, sebagai sebuah agen perubahan maka kedua hal tersebut mengambil peran di depan. Jalan tengah yang diambil tentu saja keduanya tak mutlak terjadi, transaksi antar keduanyalah yang membuat baik televisi maupun arsitektur dapat terjadi. Dan transaksi inilah yang menghasilkan perubahan.
Pendapat Robi dan Nouvel juga menarik bagi saya dalam melihat Buaran. Tesis mengenai perubahan hanya terjadi karena invasi McD, Dunkin, Burger King maupun Seven Eleven misalnya harus kita kaji ulang. Dalam wawancaranya dengan Sara Schonhardt, Henri Honoris selaku Presiden Direktur waralaba Seven Eleven mengatakan bahwa mereka percaya orang masih senang berkumpul dan masih suka bergosip. “Now we give them an alternative. It’s a warung with better quality”.
Ada yang menarik dari pernyataan Henri Honoris. Adalah sebuah kejelian melihat bagaimana interaksi masyarakat berubah. Ketika misalnya Seven Eleven kemudian menempatkan dirinya di Buaran tentu waralaba ini melihat bahwa interaksi warga Buaran juga banyak berubah. Menyalahkan invasi restoran cepat saji dan waralaba sekali lagi seperti menyalakkan mata di depan anjing.
Ya mungkin masyarakat Buaran memang telah berubah. Simpul penting itu telah berubah. Kini kawasan penting ini bagaikan sebuah mercusuar di antara kawasan lainnya, ia tak lagi sebuah simpul, kawasan ini terasing jauh. Bagai melihat sebuah mercusuar, kami yang tak berada di kawasan tersebut hanya bisa melihat sambil mendongakkan kepala.
Saya kemudian teringat apa yang dikatakan Umar Kayam mengenai perubahan arsitektur dalam sebuah kawasan. “Tidak mengherankan bila semuanya nampak serba cair, serba fluid, serba mencari-cari. Dialog budaya merupakan suatu multi usaha yang sangatlah kompleksnya.” Kayam benar, kami seperti Wisanggeni yang bertanya pada Arjuna siapa bapak kami. Juga seperti Lantip yang tak tahu ia hidup sebagai seorang anak kandung tradisional atau modernisme. Di Buaran kami bertanya itu.
Di depan kami beberapa pasangan muda-mudi hilir mudik memilih donat. Beberapa diantaranya menyalakan komputer jinjing untuk mengembara di dunia maya. Yang lain asyik mengobrol dengan sesekali melihat ke smartphone yang mereka bawa. Tak ada asap mengebul dari kompor pedagang martabak seperti enam tahun lalu, tak ada kantung plastik hitam berisi martabak istimewa dengan dua telur. Semua berganti dengan restoran waralaba.
Es coklat di depan saya tinggal seperempat gelas. Kopi Niko dan Rizky juga tak lagi hangat. Kami mulai berbincang perihal lama, soal kawan-kawan, soal kebodohan saat remaja dan soal Buaran yang berubah. Saat itu mungkin secara tak sadar kami sedang merindukan Buaran yang lama. Namun kami juga menikmati Buaran yang baru. Menikmatinya lewat sebuah es coklat, kopi hangat dan sebuah restoran waralaba yang menyejukkan. Dalam tegukan es coklat yang terakhir kami tak tahu apakah kami mengutuk atau mensyukuri Buaran yang baru.