Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Sambil membenarkan jilbabnya yang miring, pagi itu Putri berbicara pelan dan sedikit malu. “Pak, kunci perpustakaannya mana?” ujar siswi kelas enam ini malu-malu. Pagi itu saya memang datang sedikit terlambat dari waktu biasa tiba di sekolah. Saya mengangguk pelan dan segera mengambil kunci perpustakaan di ruang guru. “Mau baca apa Put?” tanya saya memulai perbincangan dengannya. Dibuka dengan tawa kecil khas anak-anak ia menjawab, “Baca buku cerita yang tentang es krim itu pak,” jawabnya singkat. Sedetik kemudian ia sudah berlari menuju perpustakaan.
“Perpustakaan wes (sudah) dibuka,” teriak Widodo, siswa kelas enam, ketika tahu Putri sudah berhasil membuka kunci perpustakaan. Beberapa murid kemudian berlarian menuju ruangan mungil itu. Sudi, Ariq, dan Rino seperti sedang dikejar anjing pelacak saat menuju perpustakaan. Mereka lantas duduk di ruangan itu. Ada yang membaca buku, mengambil pianika dan memainkannya, yang lain hanya duduk santai sambil mengganggu teman-temannya. Saya tersenyum melihat itu semua. Sembari tersenyum pikiran saya melompat pada beberapa bulan silam, ketika ruangan itu hanya sebuah gudang sekolah yang tak terpakai.
***
Murid-murid dibantu fasilitator membuat maket perpustakaan.
Perpustakaan di sekolah dasar adalah sebuah gambaran paling ironis pendidikan di negeri ini bagi saya. Kita tahu pada perpustakaan lah kita titipkan generasi setelah kita. Ia diburu dengan cara meminta bantuan bangunan dinas pendidikan, ia diburu untuk akreditasi sekolah, ia menjadi begitu birokratis, kering. Perpustakaan yang kita kenal adalah sebuah tembok empat sisi, diisi buku lantas murid diminta membaca dengan pesan klise buku adalah jendela dunia, ia menjadi sekedar bangunan. Kita tak mengenal perpustakaan yang berdialog, pada perpustakaan yang disebut gudang ilmu itu kita mewariskan iklim birokratis yang begitu kering, ironis.
Saya percaya kultur membaca adalah soal pengalaman personal. Perpustakaan adalah ruang komunal yang harus bisa mewadahi pengalaman personal tersebut. Ia tak bisa dibuat langsung jadi, karena tak ada personalisasi di perpustakaan tersebut. Dalam wawancaranya dengan Tempo edisi April 2011, Yandri Andri Yatmo memiliki istilah yang tepat untuk perpustakaan sekolah, ia menyebutnya, “the heart of the school”. Untuk itu penciptaannya butuh lebih dari sekedar membangun tembok empat sisi, kita butuh sebuah sentuhan hati, sentuhan dialog di dalamnya.
Masing-masing kelompok mempresentasikan konsep mereka.
Perpustakaan sebagai sebuah ruangan tentunya harus menganut konsep bagaimana manusia menikmati sebuah ruang. Pengalaman dan kedekatan dengan ruang adalah kata kunci di dalamnya. Selama ini pembangunan perpustakaan melupakan hal tersebut. Siswa sebagai pemakai perpustakaan diaggap sebagai entitas pasif yang begitu saja mau membaca di perpustakaan. “The heart of the school” itu menjadi begitu berjarak dengan siswa.
Pengalaman mengenai sebuah ruang dalam hal ini perpustakaan penting untuk diciptakan sebab dari situlah akan muncul perasaan dan pemikiran. Dengan pengalaman personal dengan sebuah ruang pula maka kita akan dapat bertinggal (to dwell) di dalamnya.
Artinya kemudian adalah penciptaan sebuah perpustakaan harus melibatkan siswa sebagai pihak yang aktif menggunakan perpustakaan. Dengan itu maka ia dapat bertinggal (to dwell) dan menikmati perpustakaan tersebut. Siswa lah yang semestinya menjadi arsitek utama dalam penciptaan sebuah perpustakaan. Tapi apakah siswa SD ini mampu menjadi arsitek untuk diri mereka sendiri? Dengan yakin saya akan menganggukkan kepala saya.
Siang itu ditemani oleh rekan-rekan Mahasiswa KKN UNILA kami mengajak siswa kelas 5 dan 6 di sekolah untuk workshop menciptakan perpustakaan. Workshop ini diadakan dua kali, pertemuan pertama untuk menampung aspirasi mereka dengan cara meminta mereka membuat maket rancangan perpustakaan. Semua impian mereka bisa dituangkan di maket tersebut. Di pertemuan ini juga diberi pengantar singkat mengenai profesi arsitek dan bagaimana mempresentasikan sebuah desain di depan kelas.
Pertemuan kedua adalah perwujudan dari rancangan tersebut. Gambar-gambar yang mereka ciptakan di maket kini diwujudkan di dinding perpustakaan. Mulai dari gambar matahari terbit, jerapah, burung dan bunga yang sebelumnya mereka gambar di maket kini menjadi kenyataan di dinding perpustakaan mereka. Di pertemuan kedua ini pula mereka belajar mengklasifikasikan buku dan menatanya di perpustakaan. Viki, Widodo, Neli, Nika dan murid-murid lainnya belajar bahwa arsitektur adalah sebuah ilmu yang bisa berguna bagi mereka, begitu dekat dengan keseharian mereka.
Penyusunan buku berdasarkan klasifikasi yang sudah murid buat.
Penciptaan kedekatan dengan ruang itulah yang kerap kita lupakan dalam pembangunan perpustakaan. Kita lupa bahwa arsitektur adalah seni yang (bisa dibilang) paling fungsionaris. Ia memiliki peran nyata untuk manusia dan hidup bersama di dalamnya. Pembangunan perpustakaan yang satu arah sejatinya menghancurkan dengan banal prinsip tersebut.
Mengajak siswa untuk ikut terlibat dalam pembuatan perpustakaan setidaknya menjawab dua hal penting. Pertama ia adalah metode untuk membuat mereka bertinggal (to dwell) di dalam ruang perpustakaan. Hal ini berimplikasi pada poin penting kedua yakni perpustakaan menjadi tak berjarak dengan mereka. Ruangan itu bukan lagi menara gading yang tiba-tiba hadir di sekolah, mereka berproses bersama. Di perpustakaan dengan ditemani buku-buku mereka belajar berproses dan membangun bersama, adakah yang lebih indah dari hal tersebut kawan?
***
Rak buku dinamakan dengan nama-nama penulis.
Kini saya menatap lagi perpustakaan tersebut. Putri sedang asyik membaca sebuah buku tentang cerita seorang anak pengantar es krim. Widodo berebut pianika dengan Sudi, mereka begitu membaur dengan ruangan itu. Mereka tahu ruangan itu milik mereka, hasil jerih payah mereka. Ada aspirasi dan imajinasi mereka di tiap sisi tembok perpustakaan. “The heart of the school” itu kini ada di hati tiap siswa.
Saya kemudian menatap rak buku nomor 10, ada wajah Romo Mangun di sana. Saya ingat semangatnya mengenai arsitektur yang berpihak pada rakyat. Hari itu saya mengamini semangat beliau. Suara beberapa murid saat membaca membuat pikiran saya melompat pada ucapan Romo Mangun yang jarang diketahui banyak orang. Selain seorang arsitek dan penulis ia ternyata memiliki cita-cita menjadi seorang guru sekolah dasar. Romo Mangun pernah mengatakan, “When I die, let me die as a primary school teacher,” ucapnya. Saya tak tahu apa ia pernah menjadi seorang guru sekolah dasar sebelum menghela nafas terakhir. Yang saya tahu anak-anak di depan saya mengamini ucapan Romo Mangun, mereka tahu sejatinya arsitektur memang untuk semua, tanpa kecuali.
Catatan:
Video mengenai proyek ini dapat dilihat disini.
Proyek ini mengadopsi program “Space For The Community” yang digagas oleh Yandri Andri Yatmo. Mengenai proyek ini sila lihat disini. 
Beberapa konsep dalam tulisan ini penulis dapat dari tulisan “My Cooking Journey” karya Wayan Jatasya, tulisan dapat dilihat disini. 

4 thoughts on “Romo Mangun di Perpustakaan Kami

  1. nissa says:

    Awe, tulisan ini akan kubagi ke seorang teman yg jadi pustakawan, semoga ia tak sinis lagi.

    Like

  2. Syafiatudina says:

    Kamu memang cocok jadi penulis di koran Minggu we. Tulisanmu hangat dan bijaksana. Cocok mempersiapkan orang untuk menghadapi pahitnya hari Senin. Tsaaah..

    Like

  3. tulisannya tentang satu hal. tetapi terasa kaya. bikin iri membacanya

    Like

    1. ardiwilda says:

      terima kasih 🙂

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: