Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Li, jadi pindah rumah?” tanya Didi datar. “Tuan saya belum tahu arti penting pindah rumah Di,” jawab Lili sambil tetap melihat beberapa foto lama. Sebuah sudut kampus terlihat di sana. Dalam foto itu beberapa orang duduk di pojok sebuah gang. Warna gang itu coklat kekuning-kuningan, dengan beberapa daun kering berbentuk kapal cadik di lantai-lantainya. Bila dilihat dari bayangan yang membentuk cahaya khas Rembrandt dengan segitiga di bagian bawah mata mungkin foto itu diambil sore hari. “Ah saya selalu suka dengan foto tuanmu bagian itu Li,” kali ini Didi ikut nimbrung melihat foto tersebut.
“Tuan pernah bilang ia akan mewariskan foto ini untuk anaknya kelak,” balas Lili tanpa menoleh pada rekan mengobrolnya. “Ah tuanmu itu, ia selalu suka berkhayal soal dua anak perempuannya kelak, ia suka menuliskan kisah mereka bukan di rumahmu?”. Anggukan kepala Lili cukup membuat Didi sadar tak ada yang salah dengan pernyataannya. “Entah kenapa ia suka nama saya Di, ia memilih nama saya untuk rumahnya ini, padahal ia punya hobi mengoleksi nama,” ungkap LIli sambil menurunkan alisnya saking penasaran. “Mungkin ia merasa kamu anaknya, ia tahu untuk momen ini hanya rumah ini anaknya. Tetangga kita ada yang membuat rumahnya laksana warung, ada yang membuatnya menjadi gerai keju yang begitu ceria, ia memilih rumah ini menjadi anaknya mungkin?”. “Kalau kau dianggap apa oleh tuanmu Di?”. “Mungkin hanya tuan kita yang bisa menjawabnya Li.” “Iya, mungkin,” balas Lili sedikit malas.
Bunyi dentingan jam membuat Didi menoleh ke arah kanan bawah. “Li, sudah pukul sebelas malam, tinggal satu jam lagi,” kali ini Didi mencoba mengingatkan. Lili bukan tak tahu perihal sisa waktunya, ia masih asyik melihat deretan foto dan teks itu. “Kenapa tuanmu lebih suka memajang foto di dinding rumahmu Di?”. “Mungkin memang cocok untuk jadi sebuah dekorasi ruangan,” ujar Didi asal. “Bercanda kamu, apa yang bagus dari sebuah foto yang tak ada orangnya? Tuanmu tak butuh dekorasi ruangan, ia butuh seseorang yang bakal ada dalam foto-fotonya,” balas Lili sedikit meledek. Didi hanya tersenyum kecut menerima jawaban dari Lili.
Lili dan Didi kembali mencermati rumah itu. “Tuanmu senang bercerita ya Li,” gumam Didi saat melihat beberapa cerita soal anak kecil, sepeda maupun teman-teman sang tuan. “Ia senang bercerita sampai lupa mendengar Di,” balas Lili dengan wajah murung. “Sesil pernah bilang pada saya, tuanmu menutup kedua kupingnya tatkala bercerita, ia tak pernah mendengar saat bercerita,” kali ini Didi menolehkan wajahnya ke arah komplek sebelah. “Itu karena ia hanya bisa menulis kalau mendengar lagu, bukan karena tak mendengar,” balas Lili ketus. “Lagu seleranya bukan? Berarti ia cuma mau mendengar apa yang ia mau dengar, jangan-jangan teman tuanmu yang dulu kerap main ke sini juga lelah tak didengarkan,” kali ini Didi sadar ucapannya terlalu menyudutkan Lili. “Mungkin,” balas Lili sangat dingin.
Tanpa sadar mereka berdua sudah mengelilingi hampir seluruh bagian rumah Lili. Mereka kemudian menengok ke beberapa rumah di komplek tersebut. Rumah yang jadi warung dua puluh empat jam itu sudah sepi. Tak ada pembeli di sana, tak ada guru yang sering belanja di tiap hari sabtu sambil menenteng pemutar musik. Pun tak ada pemuda setempat yang suka nongkrong di warung sesuka hati. Papan nama warung yang bertuliskan dua puluh empat jam itu juga sudah rubuh. “Ia pindah ke komplek sebelah,” tutur Didi ketika mengetahui pandangan mata Lili menuju warung tersebut.
Rumah yang dijadikan toko keju itu juga sepi dari hiruk pikuk muda-mudi yang dulu biasa ramai. Dulu di sana kerap menjadi sumber banyak gosip perihal penghuni komplek tersebut. Sang pemuda tak jelas juga kerap nongkrong di sana sekedar untuk melihat remaja putri yang lalu lalang. Kadang  ia membuat sebal pemilik toko. Sampai sang pemilik toko kerap mengusirnya dari halaman. “Toko keju itu lucu, seperti pemiliknya dulu ya Di,” ujar Lili mencoba mengalihkan topik.
Komplek itu tak terlalu besar memang. Sejauh mata memandang kita hanya akan menemui orang yang itu-itu saja, Hanya ada beberapa rumah di komplek tersebut. Namun bukan keramaian yang membuat komplek ini menyenangkan. Komplek ini terasa hangat karena mayoritas diisi oleh para pemula. Mereka yang mulai membangun rumah dari awal, dari kecil. Sebagian dari mereka kini sudah menuai hasilnya.
Sekitar satu tahun lalu komplek ini semakin sepi. Terlalu banyak pedagang asongan lalu lalang di gang. Ketika tuan di rumah Didi sibuk memotret, pedagang asongan masuk hingga ke halaman tengah. Saat sang pemilik warung sibuk mendengarkan lagu, pedagang nasi goreng terlalu keras memukul centong ke penggorengan. Begitu bising.
“Kamu kenapa betah di sini Di?” tanya Lili tiba-tiba. “Terlalu banyak pigura foto yang harus saya pindahkan Li,” balas Didi sambil mengalihkan perhatian ke komplek sebelah. “Tuan kamu kenapa punya rumah baru Li?” kali ini giliran Lili yang harus memikirkan jawaban. “Pertanyaan diajukan untuk sesuatu yang belum terjawab kan Di?” Lili mencoba bertahan. Mereka berdua lantas tertawa.
Di tengah derai tawanya mereka sadar waktu mereka tinggal sepuluh menit lagi. “Tuanmu mungkin masih mengurus Nixie, kalian kembar tapi kenapa tuanmu lebih suka dengan Nixie ya?” tanya Didi dengan bola mata yang dipicingkan. Mendengar itu Lili hanya menggelengkan kepalanya. Ia tahu Nixie tak seperti dirinya, ia tahu Nixie lebih ceria. Tapi ia juga tahu tuannya rindu mengunjungi rumahnya. “Setiap orang memang butuh Nixie Di, seperti semua orang butuh rumah di sini,” jawab Lili sedikit lirih. “Butuh pergi maksudmu?’. “Asal tak lupa pulang Di”. Dan mereka berdua kembali tertawa, kali ini Lili tertawa sambil menyeka bagian bawah matanya.
Waktu mereka tinggal lima menit lagi dan beberapa penghuni mulai menyeret koper dari rumahnya masing-masing. Lili dan Didi hanya melambaikan tangan sambil melihat ke kajauhan. Beberapa dari mereka menyeka air mata saat menyeret koper. Juga ada yang menempelkan surat di pintu rumahnya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya. Yang lain mengunci dan pergi begitu saja. Komplek ini semakin sepi.
Waktu Lili dan Didi tinggal satu menit lagi. Bunyi “Klik” terdengar di kepala Didi. “Li, maaf …” belum selesai Didi dengan kalimatnya Lili sudah tahu tujuan permintaan maaf tersebut. “Silakan, tuanmu tahu memindahkan pigura ke rumah baru itu penting, meski …” kali ini giliran Didi yang menyambar omongan Lili. “Meski kenangan di dalamnya tak bisa dipindahkan bukan? Tiap orang punya pilihan, tuanku memilih itu, mungkin tuanmu lebih suka menghapus kesedihan ketimbang memindahkannya ke rumah yang lebih nyaman”.
“Kalau kita tak mengarsipkan kesedihan lantas dari mana kita belajar merayakan kesenangan Di?” balas Lili. Sayang Didi sudah menggeret koper-koper berisi pigura untuk pergi dari komplek itu. Lili tahu ia tak punya waktu lagi.
***
Kedai jus kecil itu sudah ditinggalkan beberapa pelanggannya di malam selarut ini. Dua orang pelanggan masih menatap komputer jinjingnya lamat-lamat. Seorang diantara mereka kemudian bergegas pamit sebelum kalender di komputer jinjingnya menunjukkan pergantian bulan. “Bulan baru, blog baru, pamit ya besok ke galeri pagi-pagi soalnya,” tutur laki-laki berkepala plontos sambil menekan sebuah tombol di komputer jinjingnya. “Klik” terdengar bunyi itu oleh mereka berdua.
Sedetik kemudian tinggal satu orang duduk di pojokan. Layar komputer jinjing masih menyorot wajahnya dengan sinar yang lumayan terang. Ia menatap layar dan menyadari bulan telah berganti.
*Postingan ini saya dedikasikan untuk ditutupnya Multiply sebentar lagi. Juga untuk Didi, Jaki, Nadia, Dwi dan semua anak multiply lain. Lili dan Nixie adalah dua nama anak perempuan saya kelak. 

3 thoughts on “Lili di Bulan Desember

  1. dan lili itu nama penyu hijau yang saya lepas ke laut. jadi kangen :'( *malah curcol

    Like

  2. ddiiannn says:

    selamat beradaptasi di rumah baru ya, Lili…

    Like

  3. Ardi Wilda says:

    @ddiiannn: makasih Dian, eh malam ini Lili bakal punya rumah baru lho 🙂

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: